Hentikan Gangguan terhadap Satwa Liar Cegah Kemunculan Zoonosis Baru
Covid-19 seharusnya menyadarkan kita untuk tidak mengganggu habitat dan kehidupan satwa liar. Itu berisiko zoonosis yang merugikan manusia sendiri.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit infeksi baru yang ditularkan dari hewan ke manusia atau zoonosis diprediksi masih banyak terjadi seiring belum terkendalinya perdagangan satwa liar. Guna mencegah terjadinya penyakit infeksi baru ke depan, penting untuk menghentikan gangguan terhadap satwa liar dengan cara menjaga populasi, tidak mengonversi habitat, dan tidak mengonsumsinya.
Peneliti Pusat Studi Satwa Primata IPB University, Joko Pamungkas, mengemukakan, kejadian penyakit infeksi baru yang muncul selama ini, seperti ebola, SARS, MERS, hingga Covid-19 memang awalnya diketahui di manusia. Namun, setelah ditelusuri, peran satwa liar cukup besar dalam kemunculan penyakit infeksi baru ini.
”Setelah diidentifikasi, salah satu yang perlu disoroti sebagai pemicu kemunculan penyakit infeksi baru ini adalah perubahan fungsi hutan yang ada di bumi. Terdapat juga perubahan industri pertanian dan perilaku manusia dalam mengonsumsi satwa liar,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Panggilan untuk Memulihkan Keseimbangan Manusia, Biodiversitas, dan Lingkungan”, Sabtu (7/8/2021).
Selain itu, kata Joko, perdagangan satwa liar yang masih banyak terjadi saat ini, termasuk di Indonesia, juga memicu kemunculan penyakit infeksi baru. Beberapa aktor yang berperan dalam perdagangan satwa liar, di antaranya pemburu, pengepul, pihak perantara, penjual di pasar, dan konsumen.
Padahal, menurut Joko, sebelum banyak merebak penyakit infeksi baru, sejumlah teori telah menyebut bahwa peningkatan interaksi antara satwa liar, manusia, dan hewan ternak akan memicu lompatan patogen atau spillover. Teori lain juga menyebut penyakit infeksi baru terjadi karena perubahan dinamika ekologi inang dan patogennya.
Hasil studi tentang prediksi penyakit zoonosis dari Kevin Olival dan rekan yang terbit di jurnal Nature pada 2017 menunjukkan, terdapat tiga taksa yang paling banyak dilaporkan menularkan penyakit ke manusia. Tiga taksa tersebut adalah Chiroptera (kelelawar), Primates (monyet), dan Rodentia (tikus).
”Transmisi virus dari satwa liar ke manusia bisa dilakukan dengan direct contact atau satwa perantara. Artinya, satwa liar ini membawa virus yang siap untuk menginfeksi manusia bisa melalui gigitan atau kontaminasi, sedangkan virus lain seperti korona membutuhkan satwa perantara agar berevolusi sebelum menular ke manusia,” tutur Joko.
Guna mencegah terjadinya penyakit infeksi baru ke depan, Joko menekankan pentingnya menghentikan gangguan terhadap satwa liar. Seluruh pihak menjaga populasi, tidak mengonversi habitat dan lahan untuk sumber pakan ternak, serta tidak mengonsumsi satwa liar. Pencegahan lain yang juga bisa dilakukan adalah dengan surveilans virus rutin pada satwa liar, ternak, atau manusia.
Nilai pemanfaatan
Ketua Kelompok Penelitian Zoologi Eksperimental Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Taufik Purna Nugraha mengatakan, sejak dulu hingga saat ini, satwa liar sudah diperdagangkan untuk keperluan seni, gaya hidup, makanan, hobi, peliharaan, obat-obatan tradisional, hingga uji coba penelitian. Namun, terdapat aturan di sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang melegalkan perdagangan satwa liar untuk keperluan khusus, tetapi tetap harus dengan persyaratan yang sangat ketat dan terbatas.
Menurut laporan kinerja Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), nilai ekspor dan pemanfaatan tumbuhan, satwa liar, dan bioprospecting secara legal pada tahun 2019 sebesar Rp 10 triliun. Khusus untuk satwa liar, nilai ekspor dan pemanfaatan Rp 2,6 triliun.
Taufik menegaskan, masih tingginya kegiatan perdagangan satwa liar, khususnya yang ilegal, sangat berkontribusi pada risiko zoonosis. Sebab, sebelum sampai ke penjual, satwa liar ini melalui sejumlah proses perdagangan yang tidak memiliki kontrol dan keamanan. Ini berbeda dengan perdagangan satwa liar secara legal. Meski sama-sama berbahaya, perdagangan legal masih mengedepankan kontrol hingga pengawasan.
”Selain surveilans, ke depan perlu terus dilakukan edukasi terutama operator potong satwa liar, pengumpul pedagang, dan pemelihara satwa eksotis. Kemudian perlu meningkatkan pengawasan dan perdagangan satwa liar serta pendekatan one health,” ucapnya.