Kasus Covid-19 di Desa Seolah Kecil, tapi Kematian Tinggi
Banyak kasus Covid-19 di tingkat desa yang tidak teridentifikasi dalam sistem pelaporan nasional karena berbagai sebab. Selain terbatasnya tes dan pelacakan, masyarakat juga tidak ingin di-Covid-kan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran kasus Covid-19 di perdesaan menyerupai fenomena gunung es karena terbatasnya tes dan pelacakan serta perilaku masyarakat yang menghindari rumah sakit. Kondisi ini menyebabkan jumlah kasus Covid-19 yang terkonfirmasi di perdesaan seolah kecil, tetapi terjadi lonjakan kematian.
”Laporan rekan-rekan di jejaring epidemiolog lapangan, saat ini Covid-19 meluas di desa-desa. Banyak warga yang sakit dengan gejala Covid-19 tidak dilacak karena terbatasnya pemeriksaan sehingga kasusnya seolah kecil, tetapi penyebarannya masif,” kata epidemiolog lapangan dari Universitas Jenderal Soedirman, Yudhi Wibowo, Selasa (3/8/2021).
Penyebaran Covid-19 di desa-desa, menurut Yudhi, lebih sulit terdeteksi oleh sistem pelaporan nasional. Selain karena terbatasnya tes dan pelacakan hingga ke desa, banyak warga di desa yang menghindari pemeriksaan atau datang ke rumah sakit.
”Masyarakat di desa banyak yang percaya mereka akan di-Covid-kan kalau ke rumah sakit. Butuh pendekatan sosial dan dukungan dari pemerintah daerah untuk atasi hal ini. Tidak mungkin hanya diserahkan ke tenaga kesehatan di puskesmas,” katanya.
Menurut Yudhi, saat ini secara nasional kasus Covid-19 seolah turun, termasuk di wilayah Banyumas, Jawa Tengah. ”Seminggu terakhir kasus di Banyumas turun 56,2 persen. Ini perlu diwaspadai karena terjadi bersamaan dengan penurunan jumlah tes. Yang jelas angka kematian masih sangat tinggi sehingga bisa jadi ada kasus yang tak terlaporkan,” katanya.
Lonjakan kematian karena Covid-19 di Banyumas terjadi selama Juli dengan total mencapai 777 orang dalam sebulan. Jumlah kematian ini sudah lebih dari separuh total kematian karena Covid-19 di wilayah ini sejak Maret 2020 yang mencapai 1.263 orang. Sebelumnya, puncak kematian dalam sebulan tertinggi terjadi pada Desember 2020, sebanyak 138 orang.
”Baru tiga hari di bulan Agustus, jumlah korban jiwa sudah mencapai 24 orang. Ini padahal korban meninggal yang terkonfirmasi. Kalau excess mortality (kematian berlebih) pasti lebih besar dan ini belum terdata,” ujar Yudhi.
Masyarakat di desa banyak yang percaya mereka akan di-Covid-kan kalau ke rumah sakit. Butuh pendekatan sosial dan dukungan dari pemerintah daerah untuk mengatasi hal ini. Tidak mungkin hanya diserahkan ke tenaga kesehatan di puskesmas.
Menurut laporan Kementerian Kesehatan, jumlah kasus Covid-19 nasional dalam sehari bertambah 33.900 orang dan kasus aktif bertambah 978 orang sehingga total kasus aktif mencapai 524.142 orang. Sedangkan jumlah korban yang meninggal bertambah 1.598 jiwa sehingga totalnya mencapai 98.889 jiwa.
Situasi di desa
Ketua Satgas Covid-19 Pemuda Desa Ngale, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Dodi Kurniadi Wibowo mengatakan, lonjakan kasus Covid-19 dan kematian di desanya mulai terjadi sejak minggu terakhir Juni 2021. ”Awalnya 22 Juni 2021, ada satu warga yang positif Covid-19 meninggal di Jakarta dan jenazahnya dibawa pulang. Di rumah diadakan acara tahlilan. Dari 38 orang yang ikut acara tahlilan ini kemudian pada sakit dan 12 orang di antaranya meninggal dunia,” katanya.
Warga yang meninggal tersebut umumnya sakit dengan gejala sama, yaitu demam dan sesak napas. Sebagian besar tidak diperiksa dan dimakamkan seperti biasa. ”Hari ketiga setelah tahlilan itu adik almarhum yang meninggal di Jakarta sakit dan dibawa ke rumah sakit. Malamnya ayahnya meninggal dan kemudian berturut-turut tetangga serta kerabatnya. Ada yang berbarengan dalam sehari,” ujarnya.
Kluster berikutnya, lanjut Dodi, bermula dari kunjungan salah satu warga desanya ke Bangkalan, Madura, pada awal Juli 2021. ”Pulang dari sana, suaminya sakit parah sehingga dibawa ke rumah sakit. Tapi, besoknya istrinya meninggal tanpa sakit. Besoknya tetangga sebelah rumah dan begitu seterusnya,” tuturnya.
Selama Juli 2021, setidaknya 38 warga di Desa Ngale meninggal. Padahal, menurut Dodi, biasanya dalam sebulan orang yang meninggal di desa berpenduduk 6.500 jiwa ini hanya satu atau dua orang. ”Kami sampai membuka lahan kuburan baru. Kasus terus meluas, tetapi pemeriksaan terbatas karena puskesmas biasanya membatasi jumlah yang dites antigen. Desa-desa tetangga di sini juga mengalami hal sama,” katanya.
Luar Jawa
Lonjakan kematian juga mulai terjadi di luar Jawa. Kepala Desa Labuhan Sumbawa, Kecamatan Labuhan Badas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamiruddin mengaku terkejut dengan kematian empat warganya dalam sehari pada 2 Agustus 2021. ”Tidak pernah begini, empat orang meninggal dalam satu hari,” katanya.
Dua dari empat orang yang meninggal itu terkonfirmasi positif Covid-19, sedangkan dua orang lainnya meninggal di rumah dan tidak sempat dites. ”Kebanyakan warga desa di sini tidak mau ke rumah sakit. Mereka takut dengan isu di-Covid-kan. Banyak warga lebih takut disebut Covid-19,” katanya.
Kamiruddin mengaku kesulitan meminta warga yang sakit untuk melapor dan memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit. ”Banyak warga memang sakit demam dan seperti pilek, tapi tidak mau periksa. Bahkan, ada yang sudah parah tetap tidak mau diperiksa. Banyak yang bilang, lebih baik mati di rumah daripada mati di rumah sakit tidak diurus keluarga. Susah mengubah sikap warga ini,” katanya.
Keluhan serupa disampaikan Kepala Desa Karang Dima, Kecamatan Labuhan Badas, Ibrahim. ”Mayoritas warga memang menghindari rumah sakit. Padahal, banyak yang seisi rumahnya sakit. Akhirnya memang banyak meninggal di rumah dan tidak sempat diperiksa,” ujarnya.
Peningkatan kematian, menurut Ibrahim, mulai dirasakan sejak pertengahan Juli 2021. ”Beberapa hari terakhir, hampir setiap hari ada warga yang meninggal. Pernah bersamaan dua orang, kami belum tahu apa sebabnya, tetapi ini tidak pernah terjadi sebelumnya,” katanya.