Menanamkan nilai-nilai baik kepada anak harus dilakukan sejak dini. Salah satu contohnya, memberikan contoh dan mengajarkan memilah dan mengelola sampah akan membangun literasi anak terhadap persoalan lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak perlu diajarkan mengelola sampah sejak dini sebab pengelolaan sampah sangat berkaitan dengan budaya, perilaku, dan kesadaran masyarakat. Dengan memberikan contoh dan mengajarkan pengelolaan sampah pada anak, anak akan tumbuh menjadi pribadi berwawasan lingkungan hingga mendorong perubahan di Indonesia.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar mengatakan, pengelolaan sampah sangat berkaitan dengan budaya, perilaku, dan kesadaran. Oleh karena itu, menyelesaikan persoalan sampah harus dimulai dengan membangun perilaku yang benar di masyarakat.
”Membangun perilaku ini tidak mudah dan membutuhkan waktu yang panjang dari generasi ke generasi. Terpenting, kesadaran mengelola sampah juga harus dibangun sejak kecil atau bahkan saat masih di rahim dengan cara mengomunikasikannya,” ujarnya dalam webinar memperingati Hari Anak Nasional, Jumat (23/7/2021).
Menurut Novrizal, semua pihak perlu membangun literasi baru tentang persoalan sampah. Sebab, mayoritas masyarakat Indonesia masih tidak peduli dengan persoalan ini. Literasi lama, seperti membuang sampah pada tempatnya, harus diubah menjadi setiap orang harus bertanggung jawab terhadap sampahnya masing-masing.
Selain itu, kepada anak-anak juga perlu ditanamankan budaya minim dan mengelola sampah. Contohnya, berbelanja tanpa menggunakan kemasan sekali pakai, memilah sampah dari rumah, dan menghabiskan makanan agar tidak menghasilkan sampah baru.
”Jika kita ingin Indonesia yang maju dan berwawasan lingkungan, memang harus dibangun dengan investasi sejak masa anak-anak. Jadi, kita harus membangun literasi baru terhadap persoalan sampah dan 10 atau 20 tahun ke depan anak-anak ini akan menjadi kekuatan dalam mendorong perubahan besar di Indonesia,” katanya.
Founder Zero Waste Indonesia Maurilla S Imron juga senantiasa berusaha menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dan mengelola sampah sebagai strategi mengajarkan perilaku kepada anak. Ia meyakini anak akan selalu mencontoh segala perilaku yang dilihat atau diajarkan oleh kedua orangtuanya.
“Di umur nol sampai tiga tahun merupakan masa anak meniru dan memasukkan perilaku baik ataupun buruk ke dalam otak mereka. Jadi, ini sangat tergantung dari bagaimana orangtua mau mencontohkan perilakunya,” ujarnya.
Psikolog Klinis Anak Rumah Dandelion, Reti Oktania, mengatakan, anak-anak sejak dini perlu mendapatkan nilai-nilai (value) kehidupan yang universal. Contohnya, anak dibiasakan untuk menahan diri dalam mendapatkan sesuatu. Saat besar nanti, anak akan terbiasa mengantre atau menunggu sesuatu hingga memiliki sikap menghormati orang lain.
”Perlu juga mengajarkan rasa syukur, misalnya, tidak membuang makanan. Beri anak kepercayaan untuk tahu kebutuhan makanannya yang bisa dihabiskan. Mengajarkan nilai sedini mungkin kepada anak ini sangat penting karena akan menjadi inner voice (kata hati) dan membentuk pemikiran hingga perilaku saat dewasa,” ungkapnya.
Membangun perilaku ini tidak mudah dan membutuhkan waktu yang panjang dari generasi ke generasi. Terpenting, kesadaran mengelola sampah juga harus dibangun sejak kecil atau bahkan saat masih di rahim dengan cara mengomunikasikannya.
Selain itu, untuk mengajarkan anak memilih sampah, orangtua terlebih dulu bisa mengenalkan jenis-jenis benda dan teksturnya saat anak masih anak balita. Setelah anak menginjak usia sekolah, orangtua dapat mulai menanamkan nilai-nilai edukasi ramah lingkungan dengan cara diskusi ataupun kegiatan-kegiatan yang menarik.
Menurut Reti, nilai-nilai tersebut dapat dikenalkan kepada anak sejak usia satu setengah tahun karena anak sedang dalam tahap membentuk otonomi dalam dirinya. Memperkenalkan nilai-nilai yang baik ini akan mendukung dan menjadi pedoman bagi anak saat dewasa.
”Karakter seseorang terbentuk dari sebuah kebiasaan berperilaku. Selama kita mengulang aksi yang sama dan konsisten, maka akan terbentuk rutinitas dan pola pikir berbasis nilai-nilai yang diajarkan tersebut,” katanya.