Bersiaplah, Titik Kritis Iklim Sudah di Depan Mata
Krisis iklim tak terelakkan. Kajian ilmiah para ahli yang bocor ke media pekan lalu seharusnya menyadarkan kita untuk sama-sama bertindak menurunkan risiko kerusakan yang lebih besar.
Seiring perubahan iklim yang memanaskan Bumi, pencairan lapisan es dan gejolak arus laut dapat menyebabkan efek domino hingga melampaui titik kritis. Selain meningkatnya permukaan laut yang pasti terjadi, kita bakal melihat hutan hujan Amazon menjadi sabana dan hancurnya terumbu karang serta meningkatnya cuaca ekstrem di Indonesia.
Draf laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang bocor ke media pada 24 Juni 2021 menyingkap titik kritis iklim yang sudah di depan mata dan kehancuran besar sepertinya menjadi mustahil dicegah lagi. Indonesia termasuk negara yang bakal terdampak krisis iklim ini sehingga harus bersiap dengan kemungkinan terburuk.
Laporan IPCC setebal 4.000 halaman yang dibuka Agence France-Presse (AFP) itu menunjukkan perubahan iklim akan membentuk ulang kehidupan di Bumi dalam beberapa dekade mendatang. Ini pun akan terjadi meskipun emisi gas rumah kaca berhasil dibatasi.
Laporan tersebut menguraikan beberapa dampak buruk dari perubahan iklim, seperti kepunahan spesies, penyakit yang lebih luas, panas ekstrem, kenaikan permukaan laut, dan keruntuhan ekosistem yang semakin cepat akan melanda jika titik kritis iklim terlampaui.
Titik kritis iklim dipicu ketika suhu mencapai tingkat tertentu, di mana satu benturan dengan cepat menyebabkan serangkaian peristiwa berjenjang dengan dampak yang signifikan. Misalnya, karena kenaikan suhu menyebabkan pencairan permafrost Arktik dan tanah yang mencair melepaskan metana. Titik kritis lain termasuk mencairnya lapisan es kutub dan kemungkinan Amazon berubah menjadi sabana.
Saat ini penduduk Bumi naik pesawat dan pilotnya sudah mengumumkan pesawat akan jatuh.
Seperti diketahui, IPCC tengah mempersiapkan laporan penting yang akan diterbitkan sebagai bahan pertimbangan para pembuat kebijakan di Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim (UNFCCC COP) ke-26 pada November di Glasgow.
Draf laporan IPCC merinci setidaknya 12 titik kritis potensial. ”Yang terburuk akan datang, memengaruhi kehidupan anak-anak dan cucu-cucu kita lebih dari kehidupan kita sendiri,” tertulis dalam laporan itu.
Disebutkan, dengan peningkatan 1,1 derajat celsius pemanasan di atas tingkat pra-industri sejauh ini, titik kritis iklim tak lama lagi akan segera terlampaui. Sebelumnya, para ilmuwan percaya membatasi pemanasan global hingga 2 derajat celsius di atas suhu pada pertengahan abad ke-19 pada 2100 akan cukup untuk melindungi masa depan.
Namun, dengan tren pemasan saat ini, dunia diperkirakan menuju peningkatan 3 derajat celsius pada akhir abad ini. Maka, bencana besar bahkan bisa terjadi lebih cepat.
Disebutkan, sebelum seorang anak yang lahir hari ini berusia 30 tahun, bencana besar itu akan melanda. Dengan kata lain, dampaknya akan jauh lebih dekat daripada yang disadari kebanyakan orang.
Dampak di Indonesia
Peneliti iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Siswanto, yang turut menjadi peninjau laporan IPCC ini mengatakan, ”Substansi draf yang bocor di media ini memang tidak ada yang salah.”
Akan tetapi, draf laporan ini, menurut dia, merupakan versi awal. ”Saat ini IPCC masih dalam tahap mendapat masukan dari para reviewer dari setiap negara,” kata Siswanto, yang turut meninjau dokumen Special Report on Ocean Climate Change dan Summary for Policy Maker dalam laporan IPCC sebelumnya.
Dalam laporan ini disebutkan, jika titik kritis iklim terlampaui, misalnya mencairnya lapisan es kutub yang sekali berlangsung mungkin hampir mustahil untuk dibalik, bahkan jika emisi karbon berkurang dengan cepat. Ini bakal menaikkan permukaan laut secara dahsyat selama beberapa dekade, dan kemungkinan hutan hujan Amazon tiba-tiba beralih ke sabana, yang menurut para ilmuwan bisa datang dengan cepat dan dengan kenaikan suhu yang relatif kecil.
Baca juga: Pergolakan Iklim yang Berkelanjutan
”Kalau dari draf laporan ini, umumnya yang paling terdampak masih di wilayah kutub dan lintang tinggi. Sementara perubahan hutan tropis menjadi sabana tidak sesuai dengan kondisi Indonesia sebab variabilitas hujan masih tinggi dan rezim temperatur lebih panas,” kata Siswanto.
Jadi, untuk Indonesia, menurut Siswanto, dampak terbesar yang akan dirasakan dari krisis iklim mendatang adalah peningkatan hujan ekstrem dan kekeringan ekstrem, sehingga tren bencana hidrometerologi bakal meningkat. ”Kenaikan permukaan laut pasti juga bakal jadi masalah serius, terutama kita kepulauan. Tetapi, ini merupakan bencana yang slow onset (perlahan),” katanya.
Dampak terbesar di sektor kelautan, tambah Siswanto, justru bakal terjadi pada penurunan biodiversitas karena peningkatan suhu perairan. Selain itu, pemanasan suhu lautan juga bakal menyebabkan matinya terumbu karang, dan ini bakal menjadi pukulan besar bagi Kepulauan Indonesia.
Adaptasi
Peneliti di Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCC UI), Sonny Mumbunan, mengatakan, kita tidak bisa lagi mengelak bahwa titik kritis iklim akan segera terlampaui. ”Yang perlu dilakukan saat ini adalah menerima dulu bahwa ini tak terhindarkan dan berikutnya menyiapkan adaptasi,” katanya.
Dia mengibaratkan, saat ini penduduk Bumi naik pesawat dan pilotnya sudah mengumumkan pesawat akan jatuh. ”Dari titik diumumkan mungkin akan ada sedikit waktu, jadi mari siapkan risiko terburuk. Mental ini yang harus dibangun saat ini,” katanya.
Sonny mengakui, upaya membangun kesadaran terhadap ancaman krisis ini tidak akan mudah, terutama di kalangan penentu kebijakan yang kerap kali hanya memikirkan periode jabatannya saja.
”Harus ada kesadaran bahwa tindakan kita saat ini adalah hidup dan matinya anak-anak kita sendiri, masa depan kita,” katanya.
Dari segi perencanaan pembangunan lima tahun, menurut Sonny, sebenarnya Indonesia sudah cukup progresif mengantisipasi krisis iklim ini. ”Tetapi ketika diterjemahkan ke pendanaan dan implementasinya, masih ada gap. Kerangka makro fiskal tahun lalu tidak mencerminkan dokumen RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) itu,” katanya.
Dia mencontohkan sektor batubara dan sawit yang jelas kontraproduktif dengan upaya mengatasi perubahan iklim, masih juga menjadi andalan, bahkan mendapat penguatan dengan Undang-Undang Cipta Kerja. ”Cara kita menangani dua sektor ini belum sinkron dengan upaya mengatasi krisis iklim. Ada dua dunia paralel, sains begini sementara kebijakan kita di duni lain,” katanya.
Baca juga: Perubahan Iklim Menjadi Krisis Iklim
Menurut Sonny, selain perubahan yang pasti terjadi secara perlahan seperti kenaikan muka air laut, krisis iklim ke depan juga akan ditandai dengan ketidakpastian dan perubahan ekstrem, yang akan menyulitkan antisipasi. ”Ini lebih mirip dengan ranjau darat yang akan meledak kalau kita injak. Kalau beruntung tidak keinjak tidak meledak. Seperti siklon tropis Seroja di NTT, itu sulit diantisipasi, tetapi meledak,” katanya.
Perubahan lain yang sulit diantisipasi di antaranya pergeseran pola hujan yang akan mempengaruhi masa tanam. Karena ketidakpastiannya tingggi, lanjutnya, persiapan yang dilakukan harus lebih baik, termasuk memperkuat teknologi pemantauan dan prediksi iklim.
Sonny menyarankan, untuk mengantisipasi dampak krisis iklim ini, Indonesia harus fokus pada sektor dan subsektor penting yang menjadi hajat hidup orang banyak. ”Dalam konteks Indonesia, sektor kelautan dan pertanian menjadi sangat penting untuk diperkuat,” katanya.
Adaptasi pasti bakal lebih mahal biayanya dibandingkan mitigasi. Bukan hanya biaya ekonomi, melainkan juga pada keberlangsungan hidup banyak orang.
Kita perlu belajar dari penanganan pandemi, tidak adanya sense of crisis dan keterlambatan antisipasi di kalangan pengambil kebijakan bisa membuat penanganan wabah yang berlarut-larut. Dampaknya, menyebabkan bukan hanya korban jiwa yang berjatuhan, melainkan juga keterpurukan ekonomi.
Sekali lagi, kepempimpinan nasional dan internasional akan diuji untuk menyelamatkan Bumi dan seisinya dari kehancuran, dan pandemi ini bisa diibaratkan sebagai latihan kecil, sebelum krisis lebih dahsyat itu akan melanda.
Baca juga: Manusia Tak Berubah, Malapetaka Iklim Datang Lebih Cepat