Vaksinasi Covid-19 Berbayar Bisa Memicu Ketidakadilan Akses
Vaksin berbayar oleh individu dinilai sejumlah kalangan tidak adil. Ini karena jumlah vaksin yang terbatas dan masih ada kaum rentan yang belum semuanya divaksin.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program vaksinasi gotong royong individu yang berbayar dinilai tidak tepat karena dapat menyebabkan ketidakadilan bagi masyarakat. Apalagi, jumlah penduduk yang sudah mendapatkan vaksin saat ini masih minim.
Penasihat Senior Bidang Gender dan Pemuda untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Diah Saminarsih di Jakarta, Senin (12/7/2021), mengatakan, pemberian vaksinasi Covid-19 di Indonesia belum merata. Dengan keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia harus dipastikan kelompok rentan, seperti tenaga kesehatan dan warga lansia, bisa mendapatkan vaksinasi terlebih dulu.
”Tidak ada alasan untuk membebankan biaya vaksin kepada masyarakat dalam kondisi sekarang ini. Seharusnya, semua orang, terutama populasi rentan, sudah mendapatkan vaksin terlebih dahulu,” katanya.
Kemudian, jika jumlah vaksin sudah mencukupi atau bahkan berlebih dalam jangka panjang, lanjutnya, opsi berbayar memungkinkan dibuka. Namun, kondisi itu masih jauh dari saat ini.
Diah mengungkapkan, sejak awal sudah diperkirakan bahwa kapasitas produksi vaksin tidak akan bisa memenuhi kebutuhan bagi seluruh dunia dalam waktu singkat. Karena itu, WHO selalu menggaungkan prinsip keadilan dalam vaksinasi.
Menurut dia, pihak swasta memang harus berperan untuk mendukung pelaksanaan vaksinasi. Itu bisa dilakukan dalam proses distribusi. Meski begitu, seluruh biaya yang dikeluarkan tidak boleh dibebankan kepada publik.
Tidak ada alasan untuk membebankan biaya vaksin kepada masyarakat dalam kondisi sekarang ini. Seharusnya, semua orang, terutama populasi rentan, sudah mendapatkan vaksin terlebih dahulu.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ekonom Faisal Basri. Vaksinasi merupakan barang publik. Dengan jumlah yang masih terbatas, vaksinasi harus diberikan berdasarkan tingkat risiko dari masyarakat bukan berdasarkan kemampuan untuk membayar.
”Vaksinasi gotong royong untuk perusahaan saja sebenarnya sudah tidak adil karena hanya perusahaan yang mampu membayar saja yang bisa mengaksesnya. Apalagi, dengan vaksinasi gotong royong individu ini yang artinya hanya bisa diakses oleh masyarakat yang mampu. Vaksin bukan produk yang bisa diprivatisasi,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, juru bicara Kementerian Kesehatan untuk Vaksinasi Covid-19 Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, pemberlakuan kebijakan vaksinasi gotong royong individu diharapkan bisa mempercepat program vaksinasi nasional. Vaksinasi ini juga hanya bersifat sebagai opsi bagi masyarakat sehingga tidak wajib dan dinilai tidak akan menghilangkan hak masyarakat untuk memperoleh vaksin gratis melalui vaksinasi pemerintah.
Selain itu, vaksinasi gotong royong individu tidak akan mengganggu vaksinasi program pemerintah karena jenis vaksin, fasilitas kesehatan, dan tenaga kesehatannya akan berbeda.
”Vaksinasi gotong royong individu hanya akan menggunakan vaksin merek Sinopharm sementara vaksin pemerintah menggunakan merek Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, dan Novavax,” katanya.
Sebelumnya, Kimia Farma yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah mengumumkan akan mulai membuka layanan vaksinasi gotong royong untuk individu pada 12 Juli 2021. Harga pembelian vaksin tertinggi ditetapkan sebesar Rp 321.660 per dosis dengan tarif layanan maksimal Rp 117.910 per dosis. Adapun jenis vaksin yang akan diberikan yakni vaksin Sinopharm sehingga setidaknya butuh dua dosis pemberian per orang.
Namun, Sekretaris PT Kimia Farma Tbk Ganti Winarno menyatakan, jadwal pelaksanaan vaksinasi gotong royong individu tersebut ditunda hingga pemberitahuan selanjutnya. Keputusan ini diambil dengan menimbang besarnya animo masyarakat sehingga dibutuhkan perpanjangan dalam masa sosialisasi dan pengaturan pada pendaftaran calon penerima vaksinasi.
Wakil Ketua Komis IX DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nihayatul Wafiroh menyampaikan, pelaksanaan vaksinasi gotong royong individu seharusnya tidak hanya ditunda, tetapi dibatalkan. Program vaksinasi berbayar ini telah menyalahi kesepakatan terkait vaksinasi yang seharusnya diberikan secara gratis kepada masyarakat.
Alasan pemerintah untuk mempercepat program vaksinasi melalui vaksinasi individu juga tidak tepat. Saat ini masih banyak daerah yang masih terbatas untuk mendapatkan vaksinasi.
”Banyak daerah yang masyarakatnya sangat antusias untuk mendapatkan vaksin tetapi mereka kehabisan kuota. Kebijakan vaksinasi individu ini pun tidak pernah ada pembicaraan dengan Komisi IX (DPR),” ucapnya.
Selain itu, Nihayatul juga menyoroti terkait adanya keganjilan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Pandemi Covid-19. Pada Pasal 3 Nomor (5) disebutkan, karyawan/karyawati, keluarga dan individu lain terkait dalam keluarga, dan individu/orang perorangan sebagai penerima vaksin Covid-19 dalam pelaksanaan vaksinasi Gotong Royong tidak dipungut bayaran/ gratis. “Artinya Kimia Farma sudah melakukan kesalahan,” katanya.
Sementara itu, jika ditilik lebih lanjut, ada ketidaksinkronan dengan pasal tersebut. Pada pasal 1 nomor 5 disampaikan Vaksinasi Gotong Royong adalah pelaksanaan vaksinasi kepada individu atau orang perorangan yang pendanaannya dibebankan kepada yang bersangkutan, sementara karyawan/karyawati atau keluarga pendanannya ditanggung badan usaha/ badan hukum.