Sistem Pernapasan Dinosaurus Afrika Selatan Terungkap
Hasil studi tentang spesimen Heterodontosaurus yang telah dipublikasikan di jurnal eLife, 6 Juli 2021 ini menunjukkan adanya keragaman kehidupan di Bumi pada ratusan juta tahun yang lalu.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Tim ilmuwan di European Synchrotron berhasil menunjukkan bagaimana sistem pernapasan dari dinosaurus Afrika Selatan yang berusia 200 juta tahun Heterodontosaurus tucki dengan menggunakan sinar-X bertenaga tinggi. Temuan ini juga menegaskan bahwa tidak semua dinosaurus bernapas dengan cara yang sama.
Studi untuk mengungkap sistem pernapasan Heterodontosaurus tucki dimulai saat para ilmuwan dari Evolutionary Studies Institute di University of the Witwatersrand, Johannesburg, Afrika Selatan, datang ke Fasilitas Radiasi Sinkroton Eropa (ESRF) di Grenoble, Perancis pada tahun 2016.
Kunjungan tersebut dilakukan untuk memindai kerangka lengkap dinosaurus kecil pemakan tumbuhan berusia 200 juta tahun itu. Fosil Heterodontosaurus tucki sendiri ditemukan pada 2009 di Eastern Cape Afrika Selatan oleh Billy de Klerk, salah satu peneliti dari Museum Albany, Makhanda, Afrika Selatan.
Beberapa tahun setelah kunjungan tersebut, tim ilmuwan menggunakan pemindaian dan algoritma baru yang dikembangkan oleh para ilmuwan ESRF untuk merekonstruksi kerangka Heterodontosaurus secara virtual. Hasil rekonstruksi kemudian memperlihatkan dengan detail setiap organ dari Heterodontosaurus dan menunjukkan bagaimana salah satu jenis dinosaurus ini bernapas.
“Spesimen ini merupakan titik balik dalam memahami bagaimana dinosaurus berevolusi,” ungkap Viktor Radermacher, penulis utama studi ini sekaligus peneliti di Departemen Ilmu Lingkungan dan Bumi, University of Minnesota, Amerika Serikat, dikutip dari laman resmi ESRF, Sabtu (10/7/2021).
Spesimen ini merupakan titik balik dalam memahami bagaimana dinosaurus berevolusi.(Viktor Radermacher)
Viktor menyatakan, hasil studi tentang spesimen Heterodontosaurus yang telah dipublikasikan di jurnal eLife, 6 Juli 2021 ini menunjukkan adanya keragaman kehidupan di Bumi pada ratusan juta tahun yang lalu. Sebab, tidak semua dinosaurus menggunakan teknik dan organ yang sama untuk bernapas.
Heterodontosaurus terungkap memiliki tulang rusuk berbentuk dayung dan tulang kecil seperti tusuk gigi. Mereka kemudian bernapas dengan cara melebarkan dada dan perutnya. Para ahli paleontologi sebelumnya berasumsi bahwa semua dinosaurus bernapas seperti burung karena mereka memiliki anatomi pernapasan yang serupa.
Ilmuwan di Natural History Museum London, Inggris, Vincent Fernandez mengatakan, mengungkap organ dari fosil dinosaurus hanya bisa dilakukan dengan sinkrotron. Karakteristik sinar-X dari ESRF yang dikombinasikan dengan konfigurasi beamline energi tinggi memungkinkan pemindaian dinosaurus seukuran kalkun ini.
Heterodontosaurus merupakan salah satu ornithischia (dinosaurus mirip unggas) tertua dan yang pertama kali berevolusi. Heterodontosaurus hidup pada periode Jurassic awal –sekitar 200 juta tahun yang lalu– dan bertahan dari kepunahan pada akhir periode Triassic (252 juta-199 juta tahun lalu) sebelumnya.
“Kami sudah lama mengetahui bahwa kerangka dinosaurus ornithischia sangat berbeda dari dinosaurus lain. Fosil baru yang menakjubkan ini membantu kita memahami mengapa ornithischia begitu khas dan sukses berevolusi,” kata Richard Butler dari Sekolah Geografi, Bumi, dan Ilmu Lingkungan University of Birmingham, Inggris.
Studi ini merupakan hasil kolaborasi antara ahli paleontologi yang berbasis di Afrika Selatan dan di ESRF. Teknik non-invasif telah dikembangkan secara khusus untuk studi paleontologi. Memahami bagaimana dinosaurus bernafas juga dapat membantu ahli paleontologi mengetahui fitur biologis apa yang memungkinkan dinosaurus tertentu bertahan hidup.
Perbedaan dalam sistem pernapasan juga dapat menjadi salah satu faktor kepunahan beberapa garis keturunan hewan. Hal ini sekaligus dapat menjelaskan mengapa beberapa spesies mampu bertahan hidup dalam kondisi stres, seperti ketika iklim lebih hangat atau tingkat oksigen menurun.
“Studi seperti ini menyoroti bagaimana catatan fosil Afrika Selatan sekali lagi membantu kita memahami asal usul evolusi,” kata Profesor di Institut Studi Evolusi, Universitas Witwatersrand, Afrika Selatan, Jonah Choiniere.