Jalan Trans-Papua Dinilai Korbankan 22.000 Hektar Tutupan Hutan
Pada tahun 2001-2019, tutupan hutan seluas 22.009 hektar hilang akibat pembangunan jalan trans-Papua. Tutupan hutan itu, antara lain, berada di hutan lindung dan konservasi.
JAKARTA, KOMPAS — Studi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menunjukkan pembangunan jalan trans-Papua pada periode 2001-2019 telah mengurangi tutupan hutan seluas 22.009 hektar serta merusak 2.195 hektar gambut dan karst. Di sisi lain, dampak sosial berupa degradasi relasi maupun perubahan perilaku perlu diwaspadai karena dapat menjadi modal timbulnya konflik.
Terkait hal itu, pemerintah diminta mengkaji ulang rencana pembangunan jalan trans-Papua dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk meminimalkan dampak ini. Beberapa di antaranya ialah agar pembangunan mengedepankan partisipasi publik atau tak bersifat top-down.
Hal itu mengemuka dalam peluncuran laporan Analisis Pengaruh Rencana Pembangunan Major Project Jalan Trans Papua terhadap Aspek Sosial-Ekologis Papua, di Jakarta, Selasa (6/7/2021).
Dengan alasan pandemi Covid-19, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menjalankan studi ini dengan memakai pendekatan berbasis data sekunder. Data yang digunakan meliputi data spasial, data statistik, dan dokumen sekunder lainnya, seperti laporan, hasil riset, dan dokumen kebijakan seperti dokumen kebijakan proyek prioritas 31 (Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024).
Dalam RPJMN 2020-2024, pemerintah akan melanjutkan pembangunan jalan trans-Papua di Papua Barat dan Papua. Trans-Papua terdiri dari sembilan ruas, yaitu Enarotali-Ilaga-Mulia-Wamena, Wamena-Elelim-Jayapura, Fakfak-Windesi, Oksibil-Seredala, SP3 Moyana-Tiwara-Bofuwer, SP3 Moyana-Wanoma, Waghete-Timika, Wamena-Habema-Mumugu, dan Wanggar-Kwatisore-Kampung Muri.
Kami mengkhawatirkan proyek jalan trans-Papua akan memunculkan dampak berantai akibat pembukaan wilayah tersebut. (Nur Hidayati)
Berdasarkan data pemetaan, satu ruas telah ada sebelum tahun 2001, yaitu ruas Wamena-Elelim-Jayapura. Ruas ini telah terhubung seluruhnya sejak sebelum tahun 2001 meskipun kemudian terjadi kerusakan jalan atau terdampak tanah longsor yang membuat kondisi jalan ini kembali terputus.
Lima ruas jalan dibuka sebelum tahun 2005 dan tiga ruas lainnya baru dibuka antara tahun 2006 dan 2008. Pembangunan jalan mengalami peningkatan cukup masif pada tahun 2010 ke atas.
Puncaknya tahun 2014-2016 dalam bentuk pembangunan jalan di tiga ruas dengan masing-masing lebih dari 120 kilometer. Tiga ruas ini berada di wilayah pegunungan tengah, yaitu Enarotali-Ilaga-Mulia-Wamena, Wamena-Habema-Mumugu, dan Oksibil-Seredala.
Hasil digitasi Walhi menunjukkan bahwa sebagian besar kondisi jalan sudah terbuka dan terhubung. Sekitar 97 persen dari total panjang seluruh koridor (seluas 2.287 km) telah terbuka, sedangkan sisanya (74 km) masih terputus. Dari sembilan ruas, tiga di antaranya telah terhubung sepenuhnya, sedangkan enam ruas jalan masih terputus.
Adapun tiga ruas jalan yang telah tersambung sepenuhnya yaitu di ruas SP3 Moyana-Tiwara-Bofuwer, Wanggar-Kwatisore-Kampung Muri, dan Wamena-Elelim-Jayapura. Sebagai catatan, meskipun telah tersambung, kondisi jalan umumnya masih berupa perkerasan.
Anggota tim penulis laporan Walhi tersebut, Umi Ma’rufah, menunjukkan semua ruas jalan yang sudah tersambung berdampak pada hilangnya tutupan hutan di sekitar jalan. Dalam periode 2001-2019, tutupan hutan yang hilang sebesar 22.009 hektar dengan rincian 22,29 persen terjadi di kawasan lindung dan konservasi; 43,76 persen di kawasan hutan produksi; dan 33,94 persen di non-kawasan hutan.
Walhi pun mengalkulasi 74 kilometer panjang jalan yang belum tersambung, bila dibuka sedikitnya akan mengurangi hutan seluas 57 hektar. Hal itu berasal dari lebar jalan rata-rata 9 meter. Lalu bila 100 meter kanan kiri jalan itu turut terbuka akibat peruntukan lain, 1.290 hektar tutupan hutan akan hilang. Selanjutnya dalam jangka panjang, akses jalan yang berakibat okupansi lahan akan membuat 12.649 hektar tutupan hutan hilang saat setidaknya satu kilometer ke kiri dan satu kilometer ke kanan jalan terbuka.
Keuntungan perusahaan
Temuan mereka pun menunjukkan sejumlah 39 perusahaan berbasis lahan baik logging, perkebunan, hutan industri, dan pertambangan mendulang keuntungan saat konektivitas antarwilayah itu tercapai. Perusahaan-perusahaan ini berkontribusi atas 10-11 persen kehilangan tutupan hutan dari pembukaan jalan.
Kedekatan lokasi dan keberadaan akses langsung berpotensi mempercepat distribusi hasil ekstraksi perusahaan berbasis lahan, menimbulkan alih fungsi kawasan hutan, dan kehilangan tutupan hutan yang tidak bisa diperbaiki/direhabilitasi.
Anggota penulis lain, Bagas Yusuf Kausan, menyebut bukti konkret keterkaitan ini. Sebuah perusahaan perkebunan berinisial RSP, satu tahun setelah segmen jalan di ruas Fakfak-Windesi terhubung, langsung menanam kelapa sawit seluas 180 hektar di salah satu areal konsesi. Luasan perkebunan kelapa sawit milik RSP terus bertambah, pada 2014 hanya 180 hektar, lima tahun berselang (2019) total luas perkebunan kelapa sawit RSP telah mencapai 15.682 hektar di empat areal konsesi.
Kehilangan luasan tutupan hutan di areal konsesi RSP pun meningkat. Di tahun 2012, sebelum jalan tersambung, total tutupan hutan yang hilang di areal konsesi RSP seluas 99 hektar. Tahun 2013, jalan mulai tersambung dan sejak itu luasan kehilangan tutupan hutan alam di areal konsesi RSP meningkat tajam.
Baca juga: Potret Jalan Lintas Manokwari-Pegunungan Arfak
Akhirnya, enam tahun setelah segmen jalan Onim Sari-Aroba terhubung (2019), totalnya bahkan telah mencapai 5.015 hektar. Dengan demikian, RSP hanya membutuhkan waktu tujuh tahun (2012-2019) untuk menebang hutan alam sekitar 7.000 kali lipat lebih lapangan sepak bola atau seluas 4.916 hektar.
Flora dan fauna
Dari sisi keanekaragaman hayati, pembangunan jalan trans-Papua mengusik habitat sejumlah flora dan fauna terancam punah di Papua. Misalnya, anggrek kantung/kasut ungu (Paphiopedilum violascens). Tanaman ini diketahui hidup di TWA Teluk Youtefa. Keberadaannya berpotensi terdampak oleh pembangunan jalan ruas Wamena-Elelim-Jayapura.
Kemudian, sejumlah fauna yang terancam ialah kanguru pohon mbaiso (Dendrolagus mbaiso), penyu sisik (Eretmochelys imbricate), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea).
Kanguru pohon mbaiso hidup di Taman Nasional (TN) Lorentz dan Cagar Alam (CA) Enarotali. Sementara keempat spesies penyu tersebut hidup di TN Laut Teluk Cenderawasih, TN Lorentz, dan CA Enarotali yang dilewati langsung oleh ruas jalan Wamena-Habema-Mumugu dan ruas Enarotali-Ilaga-Mulia-Wamena. Sementara TNL Cenderawasih mendapat efek tepi dari pembangunan ruas jalan Wanggar-KwatisoreKampung Muri.
Dari sisi sosial, studi ini menganalisis data podes dan susesnas di tujuh kabupaten yang terdapat di tiga ruas (Enarotali-Ilaga-Mulia-Wamena, Wamena-Habema-Mumugu, dan Oksibil-Seredala). Hasilnya, peningkatan akses jalan memberikan pilihan bagi masyarakat untuk mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan di kota terdekat.
Namun, hal ini belum mendorong peningkatan fasilitas dan outcome kesehatan dan pendidikan di tingkat lokal (desa dan kabupaten/kota). ”Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan konektivitas tidak secara signifikan menguntungkan masyarakat adat Papua,” kata Bagas.
Beberapa kasus pembangunan jalan bahkan merusak wilayah adat yang mereka miliki, seperti yang terjadi di wilayah adat di Tambrauw, Nabire, dan Fakfak. Pemilik hak ulayat tidak dilibatkan dalam keputusan pembangunan jalan yang kemudian memengaruhi penghidupan mereka.
Baca juga: Pemberian Izin Perkebunan Sawit di Papua Dikaji Ulang
Dalam konteks relasi jender, meski jalan meningkatkan mobilitas perempuan menuju pasar dan memberikan kesempatan lebih kepada mereka untuk mendapatkan hasil jual-beli di pasar, meningkatnya mobilitas laki-laki ke kota yang distimulus oleh peningkatan konektivitas, dan memperberat beban tugas perempuan di ladang. Selain itu, peningkatan konektivitas juga berisiko membuat perempuan adat kehilangan ladang atau lahan bertani karena elite laki-laki adat lebih terdorong untuk menjual lahan untuk investasi.
Sebanyak 58 suku asli
Menanggapi hasil studi ini, akademisi Universitas Cenderawasih, Elisabeth Veronika Wambrauw, mengapresiasinya. Ia memberikan sejumlah masukan, antara lain, pembangunan jalan yang memicu migrasi perlu mendapatkan perhatian. Ruas jalan trans-Papua ini berdampak langsung pada 58 suku asli di Papua.
Disebutkannya, sejumlah masyarakat di Papua memiliki totem yang memercayai flora dan fauna tertentu sebagai ”nenek moyang”. Bila flora dan fauna ini punah akibat habitat yang rusak atau hilang, masyarakat akan kehilangan identitas diri.
Di sisi lain, akses jalan tak dibarengi dengan penyediaan angkutan umum. Ia mencontohkan anak-anak di pinggiran mengandalkan tumpangan mobil bak terbuka untuk pergi bersekolah. Di wilayah di sekitar Jayapura, ibu kota Papua, ia menunjukkan warga Kampung Moso lebih suka berbelanja di Papua Niugini karena kemudahan mendapatkan angkot.
Baca juga:Masyarakat Adat di Papua Terus Berupaya Menjaga Sumber Daya Alam
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati menilai, pembangunan jalan trans-Papua masih bersifat top down, tak ubahnya pada masa pemerintahan Orde Baru. Karena itu, ia meminta agar baik pembangunan jalan maupun infrastruktur lainnya berbasis pada kebutuhan dan persetujuan masyarakat adat yang disertai analisis menyeluruh.
Papua merupakan wilayah terakhir dari hutan alam yang masih tersisa di asia tenggara. Ini merupakan warisan dunia sebenarnya karena fungsi hutan alam sangat besar terhadap stabilitas iklim, keanekaragaman hayati, dan lain-lain.
”Di tengah laporan-laporan panel ahli yang menunjukkan kondisi iklim global dan keanekaragaman hayati dunia berada dalam ancaman, kami mengkhawatirkan proyek jalan trans-Papua akan memunculkan dampak berantai akibat pembukaan wilayah tersebut,” tuturnya.
Baca juga: Melongok ”Food Estate” di Malind Anim