Pemberian Izin Perkebunan Sawit di Papua Dikaji Ulang
Pemerintah Provinsi Papua Barat saat ini masih meninjau ulang izin-izin perkebunan sawit di wilayahnya. Lahan yang terlantar akan dikembalikan ke negara dan dialokasikan untuk hutan adat ataupun perhutanan sosial.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Papua Barat saat ini masih meninjau ulang izin-izin perkebunan sawit di wilayahnya. Dari sekitar 80 persen data yang dimiliki pemerintah setempat saat ini, terdapat indikasi lahan terlantar yang bisa dikembalikan kepada negara untuk dialokasikan baik sebagai hutan adat atau perhutanan sosial maupun wilayah adat.
Hingga saat ini belum satu pun hutan adat di Tanah Papua yang mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum dari negara. Itu membuat posisi mereka lemah akan iming-iming investasi perusahaan berbasis lahan, seperti perkebunan sawit maupun hutan tanaman atau pembalakan sehingga tersingkir dari ruang hidupnya.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Papua Barat Benidiktus H Wijayanto, Kamis (14/5/2020), dalam diskkusi virtual yang diselenggarakan Eco Nusa, di Jakarta, mengatakan, saat ini terdapat 18 perkebunan kelapa sawit yang mengantongi izin usaha perkebunan seluas 490.191 hektar. Dari jumlah itu, empat perkebunan dalam tahap operasional atau memproduksi minyak sawit (CPO) seluas 119.781 hektar dan lima perkebunan dalam tahap pembangunan/belum berproduksi seluas 168.569 hektar.
Kemudian, ada delapan pemegang IUP yang sama sekali belum melakukan pembangunan seluas 179.656 hektar. Bila ditotal berjumlah 17 perkebunan karena satu perusahaan, yaitu PT Yongjing Investindo, telah dinyatakan pailit, dilelang, dan dibeli Medco Group sehingga datanya dimasukkan dalam perusahaan Medco yang masuk kategori tahap operasional.
Data ini diperoleh sejak 2018 saat Komisi Pemberantasan Korupsi mengadakan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam terkait sawit di Papua Barat. Mulai dari situ, pemprov aktif mengumpulkan dan meminta data dari perusahaan ataupun kementerian/lembaga terkait.
”Awalnya tidak ada (data) izin-izin, sekarang 80-90 persen data terkumpul,” tuturnya.
Beberapa data yang masih dikoordinasikan datanya ialah dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang terkait penerbitan hak guna usaha (HGU). Terdapat 30 IPKH dan izin lokasi yang terbit di Papua Barat.
Nur Amalia, pengacara publik dan pegiat lingkungan, mengatakan, lahan-lahan terlantar bila kembali ke negara, dalam konteks ke Papua, pada kawasan nonhutan bisa dialokasikan Gubernur menjadi wilayah adat. Bila area tersebut merupakan hutan, lebih cocok untuk dialokasikan kepada masyarakat adat/orang asli Papua sebagai hutan adat maupun perhutanan sosial.
”Kalau masyarakatnya masih asli lebih pas hutan adat, kalau masyarakatnya sudah mix dengan pendatang bisa gunakan perhutanan sosial,” katanya.
Tanah terlantar sudah diatur dalam aturan. ”Bila belum terjadi penanaman, kembali pada enforcement apakah instansi mau melakukan pengawasan dan penindakan akan pelanggaran di perkebunan,” ujar Nur Amalia.
Keberpihakan
Terkait peninjauan ulang perizinan kelapa sawit di Papua Barat juga menyasar historis keadilan saat pelepasan ulayat, Benidiktus mengatakan, untuk sementara pihaknya hanya mendasarkan pada aspek formalitas/legalitas.
”Untuk langkah selanjutnya sangat baik bila melihat historis pelepasan tanah adat. Ini masuk pada rencana selanjutnya,” ujarnya.
Hampir semua perusahaan yang telah memiliki izin konsesi telah memiliki dokumen pelepasan tanah adat. Namun, diakuinya, pada proses di masa lalu tidak ada pendampingan bagi masyarakat adat untuk bernegosiasi dengan perusahaan.
Proses ini yang akan diperbaiki di masa mendatang agar perusahaan tak hanya mengajak bicara tokoh-tokoh adat atau kepala suku dalam pembebasan tanah ulayat. Sebab, warga setempat memiliki penguasaan hak ulayat berdasarkan marga atau keluarga.
”Ke depan, kita harus dampingi masyarakat dalam perjanjian kemitraan. Kalau warga tidak mau, pemerintah tidak boleh memaksakan,” ujarnya.
Sulistyanto, peneliti pada Komisi Pemberantasan Korupsi, mengatakan, saat proses penilaian usaha perkebunan (PUP) pemerintah bisa mengecek implikasi kehadiran kebun sawit pada masyarakat adat. Sebagai contoh, kesesuaian kewajiban 20 persen pembangunan plasma.
Ke depan, ia mendorong agar dalam konteks kebijakan Satu Peta di Papua, memasukkan lapisan peta wilayah adat selain berbagai lapisan peta perizinan dan peruntukan ruang.
”Khawatirnya kalau fokus pada tumpang-tindih izin, faktual masih ada konflik dengan masyarakat, tidak akan selesaikan permasalahan. Ada ketelanjuran yang harus dituntaskan,” katanya.