Vaksin Covid-19 Membentuk Respons Imun pada Penderita Kanker
Menurut penelitian di Amerika Serikat dan Swiss, sebagian besar penderita kanker merespons imun yang baik atas pemberian vaksin Covid-19 berbasis mRNA, seperti Pfizer dan Moderna.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian di Amerika Serikat dan Swiss menunjukkan, hampir semua pasien dengan kanker mengembangkan respons imun yang baik terhadap vaksin Covid-19 berbasis mRNA. Namun, terdapat sekitar 6 persen pasien yang tidak menunjukkan respons imun, yang menjadi tanda tanya bagaimana melindungi mereka ke depan.
Kajian yang ditulis oleh para peneliti dari Mays Cancer Centre dan University of Geneva ini dipublikasikan di jurnal Cancer Cell pada edisi Juni 2021 dan dirilis pada Jumat (2/7/2021). Dari 131 pasien dengan kanker yang diteliti, 94 persen mengembangkan antibodi terhadap virus korona. Namun, tujuh pasien berisiko tinggi tidak mengembangkan antibodi.
”Kami tidak dapat menemukan antibodi terhadap virus pada (mayoritas) pasien tersebut,” kata Dimpy P Shah, peneliti Mays Cancer Center, yang menjadi peneliti utama kajian ini. ”Itu memiliki implikasi untuk masa depan. Haruskah kita memberikan dosis vaksin ketiga setelah terapi kanker selesai pada pasien berisiko tinggi tertentu?”
Anggota tim peneliti Direktur Eksekutif Mays Cancer Center, Ruben Mesa, mengatakan, dalam sejumlah kasus infeksi lain, pasien dengan kanker terbukti tidak mengembangkan respons kekebalan yang kuat seperti populasi umum jika mendapatkan vaksin. Misalnya, pasien dengan keganasan hematologi, seperti myeloma dan limfoma Hodgkin, lebih kecil kemungkinannya untuk merespons vaksinasi dibandingkan lainnya.
”Oleh karena itu, masuk akal untuk berhipotesis bahwa kelompok pasien berisiko tinggi tertentu tidak memiliki respons antibodi terhadap vaksin Covid-19,” katanya.
Di antara kelompok berisiko tinggi, pasien yang menerima terapi yang disebut Rituximab dalam waktu enam bulan setelah vaksinasi tidak mengembangkan antibodi. Rituximab adalah antibodi monoklonal yang digunakan dalam pengobatan kanker hematologi dan penyakit autoimun.
Pasien yang menjalani kemoterapi yang bersifat toksik terhadap sel mengembangkan respons antibodi, tetapi respons tersebut sangat kecil dibandingkan dengan populasi umum. Sedangkan bagaimana kaitannya dengan perlindungan terhadap Covid-19, sejauh ini banyak yang belum diketahui.
Dalam kajian ini, varian Delta dan mutan lain dari virus Covid-19 tidak diperiksa. Tim juga tidak menganalisis respons sel T dan sel B yang melawan infeksi pada pasien kanker. Catatan lainnya, pengujian menggunakan vaksin berbasis mRNA seperti Pfizer dan Moderna.
Setidaknya untuk pasien kanker, dua dosis sangat penting untuk respons antibodi yang kuat. (Dimpy Shah)
Usia rata-rata pasien dalam penelitian ini adalah 63 tahun. Sebagian besar pasien (106 orang) memiliki kanker padat dibandingkan dengan keganasan hematologi (25 orang). Populasi penelitian adalah 80 persen kulit putih non-Hispanik, 18 persen Hispanik, dan 2 persen Hitam.
”Kami merekomendasikan agar penelitian selanjutnya dilakukan pada pasien kulit hitam, Asia dan Hispanik, juga, untuk melihat apakah ada perbedaan dalam respons imun vaksinasi,” kata Mesa.
Butuh dua dosis
Dimpy Shah mengatakan, di negara-negara di mana tidak ada vaksinasi, ada pembicaraan bahwa satu dosis mungkin memberikan perlindungan yang memadai, tetapi ini mungkin tidak benar dalam kasus pasien kanker. ”Kami mengamati perbedaan respons yang signifikan ketika dua dosis diberikan,” kata Shah. ”Setidaknya untuk pasien kanker, dua dosis sangat penting untuk respons antibodi yang kuat.”
Shah mengatakan penelitian ini unik. Tidak seperti beberapa penelitian yang dilakukan di masa lalu yang mengevaluasi respons imun pada hari dosis kedua atau dalam tujuh hari, penelitian ini menunggu tiga sampai empat minggu untuk mendapatkan hasil.
Pasien dengan kanker berisiko tinggi, terutama mereka yang menerima antibodi anti-CD20, harus terus mengambil tindakan pencegahan bahkan setelah divaksinasi, menurut studi tersebut. ”Mereka masih perlu memiliki kesadaran bahwa mereka berpotensi berisiko karena tubuh mereka belum merespons vaksinasi,” kata Pankil Shah.