Rencana penerapan PPKM darurat akan membantu menurunkan mobilitas masyarakat. Namun, pembatasan ini dinilai belum cukup kuat untuk menekan laju penularan Covid-19 yang telanjur sangat tinggi dan luas skalanya.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat dinilai masih belum cukup kuat menekan laju penularan Covid-19. Indonesia harus bersiap menghadapi risiko lonjakan kasus dan kematian yang lebih tinggi karena kolapsnya fasilitas kesehatan.
Laporan Kementerian Kesehatan, kasus Covid-19 harian di Indonesia pada Kamis (1/7/2021) bertambah 24.836 orang dan jumlah kasus aktif mencapai 253.826 orang. Sedangkan korban jiwa bertambah 504 orang sehingga total menjadi 58.995 orang.
Penambahan kasus dan kematian dalam sehari ini merupakan yang tertinggi selama pandemi. Padahal, jumlah ini dinilai masih lebih rendah di bawah kondisi penularan dan kematian di masyarakat.
Kalau PPKM darurat ini gagal menekan mobilitas penduduk, situasi akan semakin terpuruk.
Data yang dikumpulkan Laporcovid-19 menunjukkan, banyaknya laporan kematian masyarakat di luar rumah sakit dengan status isolasi mandiri mencapai 175 orang. Korban rata-rata meninggal di rumah karena kesulitan mengakses fasilitas kesehatan dengan jumlah terbanyak yang dilaporkan di Kota Bekasi 72 orang, Sleman 41 orang, dan Lamongan 7 Orang, serta sisanya dari sejumlah daerah di Pulau Jawa.
Sukarelawan data LaporCovid-19, Fariz Hibban, mengatakan, data ini didapatkan dari laporan keluarga korban dan data sekunder yang dikumpulkan dari pemberitaan media. ”Data ini kemungkinan masih puncak gunung es karena banyak yang belum lapor,” katanya.
Amanda Tan, juga dari Laporcovid-19, mengatakan, sejak seminggu terakhir pihaknya telah kewalahan melayani permintaan bantuan warga untuk mendapatkan rumah sakit. Hal ini karena banyak di antara mereka telah ditolak di beberapa rumah sakit. Adapun sistem informasi ketersediaan tempat tidur di rumah sakit dari Kementerian Kesehatan yang bisa diakses secara daring tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya.
Padahal, kondisi pasien rata-rata sudah bergejala sedang hingga berat dan butuh perawatan intensif. ”Pasien akhirnya meninggal saat menunggu antrean di rumah sakit,” katanya.
Kesulitan juga dialami pasien yang membutuhkan tempat isolasi mandiri. Amanda mencontohkan, pada 29 Juni, pihaknya menerima laporan dari pasien berusia 26 tahun di Tangerang Selatan yang diusir dari indekos karena positif Covid-19.
Pasien juga ditolak saat datang ke tiga puskesmas terdekat dengan ambulans dan dalam kondisi kesakitan. Pasien baru keesokan harinya mendapatkan kamar isolasi di Rusun Nagrak di Cilincing, Jakarta.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, tingginya tingkat kematian di rumah-rumah warga ini menjadi indikator nyata kolapsnya layanan fasilitas kesehatan. ”Harus diingat, situasi saat ini belum puncak penularan. Kita masih akan menghadapi situasi lebih buruk selama Juli ini,” katanya.
Butuh lebih ketat
Rencana pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, menurut Dicky, akan membantu menurunkan mobilitas masyarakat. Namun, pembatasan ini dinilai belum cukup kuat untuk menekan laju penularan Covid-19 yang telanjur sangat tinggi dan luas skalanya.
”Rencana PPKM darurat ini masih kategori pembatasan menengah karena masih ada pergerakan orang dan bekerja dari rumah belum 100 persen,” katanya.
”Idealnya, seharusnya total lockdown dulu untuk Jawa, untuk memendekkan jarak kita dengan laju penularan virus yang sudah jauh di depan,” katanya.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan, kalau PPKM darurat ini gagal menekan mobilitas penduduk, situasi akan semakin terpuruk. Apalagi, saat ini semakin banyak tenaga kesehatan berkurang, baik karena positif maupun meninggal akibat Covid-19.
Ari juga menyampaikan seruan dari para guru besar FK UI yang meminta agar dilakukan pembatasan lebih ketat serta peningkatan tes dan lacak. Pembatasan tanpa peningkatan tes dan lacak akan sulit menekan penularan.
Selain itu, sistem pembayaran insentif untuk rumah sakit, tenaga kesehatan, dan sumber daya pendukungnya di seluruh tingkat pelayanan kesehatan harus diperbaiki. ”Rumah sakit, tenaga kesehatan, dan sumber daya manusia pendukungnya harus mendapatkan hak yang sesuai dan tepat waktu. Tenaga kesehatan yang terkonfirmasi positif juga perlu difasilitasi dengan perawatan isolasi mandiri ataupun rumah sakit dengan perawatan yang sesuai standar,” katanya.
Belajar dari India
Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara 2018-2020 Tjandra Yoga Aditama mengatakan, Indonesia perlu belajar dari India dalam menurunkan kasusnya yang memuncak saat mengalami serangan varian Delta. Pemerintah New Delhi pada 19 April 2021 melarang pergerakan individu dengan pengecualian tertentu.
”Jadi, istilah resmi yang digunakan adalah curfew, yang pada dasarnya memang membatasi orang untuk tidak pergi ke mana-mana atau dalam arti kata lain adalah lockdown, yang diperpanjang sampai 30 Mei 2021. Jadi, total sekitar 1,5 bulan,” kata Tjandra.
Sektor yang dikecualikan dan masih dapat melakukan aktivitas di dalam kota, menurut Tjandra, hanyalah petugas pelayanan publik tertentu, seperti petugas kesehatan. ”Anggota diplomat juga dikecualikan sehingga tahun yang lalu waktu saya masih di New Delhi saya dapat keluar rumah menggunakan mobil pelat nomor resmi WHO. Yang juga dikecualikan adalah wanita hamil yang akan mendapat pertolongan kesehatan dan mereka yang harus melakukan tes Covid-19 dan atau vaksinasi,” katanya.
Dalam masa pembatasan ini, menurut Tjandra, kegiatan pemakaman sampai 20 orang tetap diperkenankan, tempat ibadah berbagai agama juga boleh dibuka, tetapi tidak boleh ada pengunjung yang datang. ”Praktis semua aktivitas sosial, politik, olahraga, hiburan, budaya, perkantoran, restoran, taman di Kota New Delhi semua ditutup, dengan beberapa pengecualian,” katanya.
Pengecualian itu meliputi toko yang menjual makanan, obat, dan kebutuhan dasar lain yang tidak di dalam mal. Selain itu, yang masih buka yaitu bank, pelayanan internet dan telekomunikasi lainnya, pom bensin, dan pelayanan antar makanan ke rumah-rumah.
”Kebijakan lockdown ini berlangsung di beberapa negara bagian dan juga kota-kota besar di India. Dengan upaya keras dan pembatasan sosial amat ketat ini, kasus di New Delhi dan di India turun dengan amat drastis,” katanya.
Dalam waktu satu bulan saja, ujar Tjandra, angka kasus baru per hari turun delapan kali lipat, dari lebih dari 400.000 sehari pada awal Mei 2021 menjadi hanya 50.000 sehari pada Juni 2021. ”Angka positif di India pun turun amat tajam, dari sekitar 22 persen sebelum ada curfew menjadi hanya sekitar 3 persen,” katanya.