Riset terkait sawit bisa didorong dan diimplementasikan untuk mendapatkan produk turunan yang memiliki nilai tambah tinggi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Indonesia dinilai cukup terlambat mengelola sawit menjadi produk hilir bernilai tambah tinggi. Padahal, Indonesia memiliki potensi dalam meningkatkan nilai tambah sawit dengan teknologi yang lebih baik dan berbasis riset.
Perencana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Puspita Suryaningtyas mengatakan, dalam dokumen Peta Jalan Sawit 2019-2045 telah dimuat langkah-langkah untuk mencapai visi pembangunan komoditas sawit yang berkelanjutan.
Puspita menjelaskan, langkah-langkah tersebut terbagi menjadi tiga kategori utama, yakni peningkatan produktivitas, pengembangan industri hilirisasi sawit, serta penguatan ekosistem dan tata kelola. Tiga jalur utama hilirisasi sawit akan difokuskan pada produk pangan dan kesehatan, biomassa, serta biofuel.
Sampai saat ini permintaan sawit masih tetap tinggi di pasar global dan adanya komitmen pemerintah untuk menggunakan produk dalam negeri.
Puspita mengakui saat ini masih terdapat masalah dan tantangan terkait hilirisasi sawit. Salah satunya, tidak ada lembaga khusus di Indonesia yang fokus menangani rantai nilai dari petani hingga ke pengolahan oleh industri.
”Di Malaysia ada lembaga khusus yang menangani industrialisasi kelapa sawit. Sementara di Indonesia sepertinya belum ada dan kita masih kurang menerjemahkan bagaimana hasil-hasil riset bisa diimplentasikan untuk mendorong industrialisasi,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Industrialisasi Sawit Nasional: Realitas dan Tantangan”, Rabu (30/6/2021).
Guna mengatasi permasalahan ini, salah satu langkah kebijakan ke depan yang akan dilakukan adalah mengoptimalkan dana penelitian sawit untuk dapat difokuskan ke tematik hilirisasi produk. Hal ini diharapkan membuat hasil penelitian sawit dapat diimplementasikan.
”Di sini juga perlu adanya kolaborasi penguatan SDM (sumber daya manusia) di bidang hilirisasi. Kemudian aplikasi dan inovasi teknologi terbaru pengolahan sawit untuk penurunan kehilangan dan peningkatan diversifikasi produk turunan,” katanya.
Peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) Kementerian Pertanian, Delima Hasri Azahari, juga melihat masih adanya tantangan dalam pengembangan sawit. Tantangan itu antara lain masih rendahnya produktivitas milik pekebun mandiri atau swadaya, belum terpenuhinya aspek legalitas lahan, basis data kebun belum optimal, lemahnya kelembagaan dan pembinaan serta capaian sertifikasi sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO).
”Masih ada masalah dalam aspek legalitas lahan yang terindikasi masuk kawasan hutan sehingga hak atas tanah belum banyak terpenuhi. Ini menyulitkan sertifikasi sawit berkelanjutan seperti yang diharapkan oleh negara-negara konsumen, terutama Eropa dan Amerika,” ungkapnya.
Di sisi lain, Indonesia masih tetap memiliki peluang pengembangan sawit dan produk turunannya. Sebab, sampai saat ini permintaan sawit masih tetap tinggi di pasar global dan adanya komitmen pemerintah untuk menggunakan produk dalam negeri. Peluang energi terbarukan dari sawit juga masih sangat besar.
Delima menyebut industri minyak sawit memberikan kontribusi yang signifikan pada perekonomian, kesempatan kerja, peningkatan ekspor dan neraca perdagangan, serta mendukung energi terbarukan atau ketahanan energi. Dukungan sawit dalam ketahanan energi ini ditunjukkan lewat program mandatori biodiesel B30 dan sumber listrik terbarukan dari biogas.
Gotong royong
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menyatakan, industrialisasi sawit nasional harus berbasis gotong royong yang bertumpu pada pemberdayaan petani sawit rakyat. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui koperasi sawit, pemanfaatan sumber daya lokal, penguatan pasar dalam negeri, dan penggunaan teknologi informasi serta akses keuangan yang mudah bagi petani sawit.
Namun, Darto memandang fakta saat ini menunjukkan petani sawit swadaya belum terkoneksi dengan industri pengolahan sawit dan hilir, terutama B30. Secara politik, tidak ada juga cetak biru sawit nasional dan peta jalan industrialisasi sawit nasional yang berkerakyatan.
”Perlu ada strategi jangka pendek dalam program industrialisasi sawit nasional. Jadi, perlu gap analisis rantai pasok di tingkat lokal, penguatan kelembagaan tani dan SDM, serta pembangunan pabrik untuk petani bersama BUMN (badan usaha milik negara),” katanya.
Indonesia merupakan produsen sawit nomor satu di dunia dengan kontribusi 37,3 persen, diikuti Malaysia 19,3 persen. Adapun market share atau total penjualan secara global mencapai 55 persen. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, tutupan kelapa sawit nasional tahun 2019 mencapai 16,3 juta hektar. Dari total luas lahan tersebut, sebanyak 53 persen merupakan milik swasta, 41 persen milik rakyat, dan 6 persen milik negara.