Indonesia harus lebih siap dalam menghadapi ancaman kesehatan di masa mendatang. Penguatan pada sarana dan prasarana serta sumber daya kesehatan amat dibutuhkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Krisis kesehatan yang terjadi saat ini bukan kali pertama dialami oleh Indonesia. Sejumlah epidemi ataupun pandemi akibat penularan virus pernah terjadi sebelumnya. Itu seharusnya bisa menjadi pembelajaran agar Indonesia bisa lebih siap menghadapi ancaman penyakit lain di masa depan.
Nafsiah Mboi, aktivis kesehatan yang juga Menteri Kesehatan RI periode 2012-2014 mengatakan hal itu ketika menerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2021 secara virtual di Jakarta, Senin (28/6/2021). Secara bersamaan, penghargaan tersebut juga juga diberikan pada Samsuridjal Djauzi. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Ulang Tahun Ke-56 Kompas.
“Tidak mustahil jika akan muncul berbagai ancaman baru berupa mutasi atau pandemi baru. Dari pengalaman sendiri dan pembelajaran dari negara-negara lain, kita harus bisa mempertimbangkan aksi terbaik untuk meningkatkan kesiagaan bangsa Indonesia,” ujarnya.
Nafsiah menyampaikan, kesiagaan tersebut bisa dilakukan dengan memperkuat sistem kesehatan di masyarakat. Sistem surveilans virologis yang ada perlu diperkuat menjadi lebih andal dan terkini.
Selain itu perlu juga disiapkan tim khusus yang bisa bergerak cepat bekerja ketika terjadi persoalan kesehatan baru. Tim tersebut terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta sektor lainnya. Secara terkoordinasi, seluruh pihak bisa berkerja sama dalam agenda keamanan kesehatan global (GHSA), baik terkait upaya pencegahan, deteksi, dan penanganan.
Tidak mustahil jika akan muncul berbagai ancaman baru berupa mutasi atau pandemi baru. Dari pengalaman sendiri dan pembelajaran dari negara-negara lain, kita harus bisa mempertimbangkan aksi terbaik untuk meningkatkan kesiagaan bangsa Indonesia.
Kesiagaan juga perlu dibangun dengan lebih memberdayakan seluruh masyarakat. Penguatan pelayanan kesehatan dasar pun bisa dilakukan agar ancaman penyakit yang berasal dari luar bisa dihadapi dengan baik.
Nafsiah menuturkan, sebelum pandemi Covid-19 terjadi, Indonesia pernah menghadapi ancaman virus lainnya, seperti dengue yang menjadi penyebab demam berdarah, HIV, serta flu burung. Ketiganya kini sudah terkendali dengan upaya penanggulangan yang baik. Gerak cepat dan komunikasi yang efektif menjadi kunci penanganan yang dilakukan.
Sementara di masa pandemi Covid-19 sekarang, menurut dia, kepemimpinan dalam manajemen krisis kurang terbangun dan tidak merata. Terdapat beberapa hal yang harus segera diperbaiki, antara lain pemeriksaan kasus termasuk pelacakan dan surveilans, vaksinasi, serta membangun kedisiplinan masyarakat dalam protokol kesehatan.
Pengalaman dari India dalam menghadapi lonjakan kasus bisa menjadi pembelajaran. Pada Maret-April 2021, kasus di India bisa mencapai 400.000 kasus per hari dengan 5.000 kematian per hari.
Namun, pada 24 Juni 2021 ini dilaporkan kasus baru bertambah kurang dari 50.000 kasus per hari dengan 1.200 kematian. Intervensi yang dilakukan yakni dengan peningkatan kesehatan masyarakat dan gerakan sosial.
Karantina wilayah atau lockdown dijalankan dengan pengawasan ketat. Komunikasi yang efektif juga dibangun dari pemerintah pusat dengan negara bagian.
Komunikasi risiko ini juga dilakukan dengan optimal untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam menghadapi penularan Covid-19. Pemeriksaan dan pelacakan kontak juga dilakukan secara luas sebanyak 1-2 juta orang per hari. Cakupan vaksinasi juga tinggi.
“Penyakit (Covid-19) ini sebenarnya bisa dicegah. Gelombang penularan baru seperti sekarang juga seharusnya tidak terjadi di Indonesia. Namun mengapa masyarakat seakan-akan tidak percaya. Pemerintah juga seakan tidak mau,” tuturnya.
Pendidikan dokter
Samsuridjal Djauzi, Guru Besar Tetap Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia menuturkan, berbagai perkembangan yang terjadi akibat kemajuan teknologi menuntut adanya perubahan dalam bidang pendidikan, pelayanan, dan penelitian kedokteran. Bahkan, perubahan terjadi pada profesionalisme dan etika kedokteran.
Menurut dia, teknologi kesehatan akan semakin diperlukan dalam bidang kedokteran. Keberadaan pakar di bidang itu pun perlu dipertimbangkan dalam organisasi di fakultas kedokteran. Berbagai inovasi di bidang kedokteran juga sudah dihasilkan, antara lain klinik kesehatan jarak jauh serta aplikasi deteksi gangguan retinopati diabetik.
“Namun, hal-hal yang mendasar di bidang kedokteran harus tetap dipertahankan dan diperkuat. Profesionalisme yang harus dijaga itu seperti mengutamakan kepentingan pasien di atas kepentingan dokter itu sendiri,” tuturnya yang saat ini juga aktif mengasuh rubrik Konsultasi Kesehatan di Harian Kompas sejak 1999.
Setiap dokter pun harus bersedia untuk menjalani kewajibannya, terutama dalam melaksanakan tugas dokter dengan mengutamakan sisi kemanusiaan dan menghormati hak setiap pasien. Pertolongan yang diberikan pada pasien juga tidak boleh dipengaruhi oleh honorarium yang diberikan. Dokter pun diharapkan untuk mengikuti perkembangan terakhir ilmu kedokteran dan memegang teguh prinsip kedokteran bukan mencari kepopuleran.