Jumlah Penularan Melebihi Laporan Kasus, Pemeriksaan Perlu Lebih Masif
Jumlah kasus Covid-19 di masyarakat diprediksi lebih besar daripada jumlah kasus yang dilaporkan. Karena itu, pemeriksaan harus lebih masif agar pelacakan kasus dan penanganan kasus menjadi lebih baik.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemeriksaan yang tidak optimal menyebabkan banyak kasus Covid-19 tidak terdeteksi, terutama pada kasus tanpa gejala. Hal ini menyebabkan penularan sulit dihentikan. Jumlah pemeriksaan yang kurang tersebut juga membuat intervensi penanganan menjadi kurang tepat.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, menyampaikan, berbagai perhitungan epidemiologi telah memprediksi kasus penularan yang terjadi di masyarakat jauh lebih besar dari jumlah kasus yang dilaporkan oleh pemerintah. Akibatnya, banyak kasus positif yang tidak terdeteksi sehingga berisiko menularkan virus ke lebih banyak orang.
”Artinya, masyarakat banyak yang tidak tahu kalau dirinya positif Covid-19 tetapi mereka tetap beraktivitas. Ini menyebabkan terjadinya penularan ke orang lain,” katanya dalam diskusi panel yang diikuti secara daring dari Jakarta, Kamis (17/6/2021).
Kesenjangan antara jumlah kasus yang terjadi di masyarakat dan jumlah kasus yang dilaporkan oleh pemerintah juga tergambar dari hasil survei terkait Prevalensi Serologi Antibodi SARS-CoV-2 di Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang dilakukan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Dari survei tersebut menemukan, estimasi penularan kasus di masyarakat 12 kali lebih besar dari kasus yang terlaporkan.
Survei yang dilakukan pada 3.196 orang tersebut dilakukan pada November 2020-Februari 2021 dengan tes serologi dengan alat Roche Elecsys Anti SARS-CoV-2. Sampel yang diambil yaitu darah vena dari responden yang kemudian diuji di laboratorium. Dari survei yang dilakukan ada 29,91 persen responden atau 956 orang yang hasil tesnya reaktif. Jumlah kasus ini 12 kali lebih banyak dari jumlah kasus yang dilaporkan pada periode sama di Kecamatan Tanjung Priok.
Survei serupa sebelumnya juga pernah dilakukan di Surabaya dan Jombang, Jawa Timur. Dari laporan survei berjudul ”Seroepidemiological Study of SARS-CoV-2 Infection in East Java, Indonesia” itu ditemukan dari 1.819 responden, 13,1 persen responden di Surabaya dan 9,9 persen responden di Jombang menunjukkan hasil reaktif. Hasil survei yang dilakukan WHO dan Kementerian Kesehatan pada 10.200 masyarakat umum juga memperlihatkan kasus yang ditemukan 37,5 kali lebih banyak dari yang dilaporkan.
Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda menyampaikan, survei ini menunjukkan masih banyak orang yang terinfeksi virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 yang tidak terdeteksi. Dari survei ini juga ditemukan bahwa 70 persen responden pernah terinfeksi dan tidak bergejala.
”Dengan demikian, dibutuhkan peningkatan tes serta optimalisasi upaya pelacakan kasus di masyarakat. Survei seroprevalensi ini diharapkan juga bisa dilakukan di daerah lain untuk mengevaluasi upaya respons Covid-19 yang sudah berjalan,” tuturnya.
Olivia menambahkan, survei seroprevalensi direkomendasikan pula untuk dilakukan selama proses vaksinasi berlangsung. Survei ini bisa dimanfaatkan untuk melihat tingkat kekebalan yang telah terbentuk dari populasi sehingga bisa dimanfaatkan sebagai basis kebijakan vaksinasi selanjutnya.
Penasihat Senior Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Bidang Jender dan Pemuda, Diah Saminarsih, mengatakan, hasil survei seroprevalensi dapat digunakan juga sebagai pemetaan kondisi penularan di suatu daerah. Pemetaan ini bisa digunakan sebagai dasar bagi pembuat kebijakan.
Selama ini, kebijakan yang diambil belum sepenuhnya didasarkan pada kondisi nyata di suatu daerah sehingga intervensi yang dijalankan lebih bersifat reaktif. Padahal, menurut Diah, kebijakan untuk mengendalikan pandemi harus antisipatif.
”Jadi, kita jangan hanya bereaksi terhadap apa yang sedang terjadi, tetapi sudah ada kesiapan sebelumnya. Kebijakan pun sudah pada tahap kebijakan antisipatif dan prediktif,” katanya.
Jadi, kita jangan hanya bereaksi terhadap apa yang sedang terjadi, tetapi sudah ada kesiapan sebelumnya. Kebijakan pun sudah pada tahap kebijakan antisipatif dan prediktif.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan, sejumlah kendala ditemukan di lapangan yang membuat proses pemeriksaan dan pelacakan tidak optimal. Kendala itu antara lain masyarakat yang menolak diperiksa karena merasa tidak ada gejala ataupun ada masyarakat yang takut untuk diperiksa.
Meski begitu, setiap daerah tetap didorong untuk bisa lebih memasifkan pemeriksan dan pelacakan kasus. Selama ini, pemeriksaan kasus dilakukan pada orang dengan gejala dan orang yang menjadi kontak erat kasus.
”Dengan pemeriksaan yang lebih baik, diharapkan kita bisa tahu beban yang ada di suatu daerah. Dengan begitu, kita pun bisa melakukan perencanaan penanganan secara lebih baik. Karena ke depan, penanganan Covid-19 tidak lagi dianggarkan dalam kondisi pandemi, tetapi sudah menggunakan anggaran rutin yang butuh estimasi,” ujarnya.
Lonjakan kasus
Secara terpisah, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, sejumlah strategi telah disiapkan untuk mengatasi lonjakan kasus yang terjadi. Pemerintah telah menerapkan kebijakan untuk 75 persen karyawan melakukan kerja dari rumah pada wilayah dengan zona merah. Selain itu, kegiatan ibadah dan pesta pernikahan di wilayah dengan zona merah juga harus ditiadakan.
Ia mengatakan, peningkatan kasus yang terjadi pada minggu keempat setelah Idul Fitri 2021 lebih tinggi dari peningkatan kasus pada 2020. Pada 2020, kasus meningkat 93,11 persen pada minggu keempat setelah Idul Fitri, sementara pada 2021 peningkatan kasus mencapai 112,22 persen.
Karena itu, pemerintah daerah diminta untuk terus menguatkan penanganan Covid-19 sampai ke level terkecil di masyarakat dengan melakukan tindakan-tindakan konkret. Secara bersamaan, masyarakat juga perlu meningkatkan kedisiplinan melakukan protokol kesehatan.
”Semakin dini intervensi pencegahan Covid-19 dilakukan, dampak pada kurva kasus semakin baik. Selain itu, 3M secara disiplin juga harus dijalankan disertai upaya 3T yang masif. Vaksinasi juga terus diperluas, terutama pada populasi berisiko serta memperbaiki manajemen pelayanan kesehatan dan sistem kerja tenaga kesehatan,” tuturnya.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pada 17 Juni 2021 melaporkan, penambahan kasus baru Covid-19 mencapai 12.624 kasus dengan 277 kematian. Adapun kasus aktif bertambah 4.997 kasus sehingga total kasus aktif saat ini menjadi 125.303 kasus.