Penuhi Sejumlah Persyaratan Sebelum Sekolah Tatap Muka Digelar
Ada sejumlah syarat yang seharusnya dipenuhi sebelum sekolah tatap muka dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran kasus Covid-19 di sekolah.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebelum pelaksanaan sekolah tatap muka, semua persyaratan kesehatan harus dipenuhi. Sekolah ini memiliki risiko yang sangat besar, baik bagi anak maupun komunitas. Selain syarat adanya penurunan kasus, sekolah juga wajib menjalankan protokol kesehatan dengan ketat dan pemerintah penyiapkan tes dan lacak serta fasilitas perawatan yang memadai untuk anak.
”Kami mendukung agar sekolah tatap muka bisa secepatnya dimulai, tetapi syarat-syaratnya harus dipenuhi,” kata Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman B Pulungan dalam diskusi daring yang diselenggarakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Minggu (13/6/2021).
Sejumlah syarat yang diajukan IDAI, di antaranya, rasio tes positif (test positivity rate) Covid-19 di bawah 5 persen dan angka kematiannya menurun. Selain itu, guru dan orangtua murid harus sudah divaksinasi. Sistem tes dan lacak juga harus diperbaiki, termasuk apabila ada kasus harus bisa dilacak hingga ke kontak ke-30.
Sebagai perbandingan, rasio tes positif di Indonesia dalam sepekan terakhir masih 11,48 persen dengan kapasitas tes yang tidak merata. Di sisi lain, kasus Covid-19 di Indonesia cenderung meningkat seiring dengan penyebaran varian baru yang lebih menular.
”Tes kita sangat terbatas, masih sepersepuluh Malaysia. Di bawah Thailand, Pakistan, dan negara-negara lain di Asia. Padahal, tanpa tes yang baik, kita seperti orang buta melawan Covid-19,” katanya.
Syarat lainnya, pendidik dan tenaga pendidikan yang akan menjalani pembelajaran tatap muka juga harus negatif Covid-19 berdasarkan tes polimerase rantai ganda (PCR). Sekolah disarankan bisa di luar ruangan dan kalau di dalam ruangan tertutup harus ada penyaring partikel udara (HEPA filter).
”Tolong syarat-syarat ini jangan ditawar-tawar. Sebagai bangsa yang besar, kita harus bisa menyelamatkan anak-anak kita saat pandemi ini,” katanya.
Aman mengakui, penutupan sekolah terlalu lama menyebabkan banyak masalah pada perkembangan anak. Di sisi lain, sejumlah studi juga menunjukkan bahwa pembukaan sekolah, baik bagi perkembangan ekonomi.
”Tetapi, ini data di negara-negara maju yang sudah siap infrastrukturnya untuk pembukaan sekolah. Di negara berkembang yang pendapatannya rendah seperti kita, kalau kita menunda pembukaan sekolah, bisa menyelamatkan nyawa,” katanya.
Tolong syarat-syarat ini jangan ditawar-tawar. Sebagai bangsa yang besar, kita harus bisa menyelamatkan anak-anak kita saat pandemi ini
Kepala Kesehatan Unicef Indonesia Sowmya Kadandale mengatakan, pandemi Covid-19 telah menyebabkan disrupsi kesehatan bagi anak-anak. Banyak orangtua tidak membawa anaknya ke fasilitas kesehatan sehingga cakupan imunisasi menurun.
Selain itu, pandemi Covid-19 telah menyebabkan gangguan pada pendidikan anak. Sekitar 75 persen orangtua khawatir dengan hilangnya kesempatan belajar anak dan 57 persen keluarga melaporkan akses internet yang terbatas.
Sebanyak 45 persen keluarga melaporkan perilaku anak yang berubah, terutama karena adanya kecanduan pada internet. Masalah lainnya, ada kecenderungan meningkatnya pernikahan dini selama 2020.
Dengan kondisi ini, Kadandale merekomendasikan perbaikan sistem pembelajaran jarak jauh. Jika sekolah tatap muka dijalankan, diprioritaskan pada tingkat awal dan harus dipastikan keamanannya.
Aman mengatakan, risiko penularan dan kematian anak karena Covid-19 di Indonesia sangat tinggi, tetapi selama ini cenderung terabaikan. ”Kasus Covid-19 pada anak di Indonesia berkisar 11-12 persen dari total kasus, ini salah satu yang paling tinggi di dunia. Namun, datanya tidak tersedia dengan baik,” katanya.
Dengan jumlah kasus Covid-19 di Indonesia saat ini mencapi 1,9 juta, menurut Aman, seharusnya ada sekitar 220.000 kasus Covid-19 anak di Indonesia. Namun, data yang berhasil dikumpulkan IDAI dari seluruh anggotanya di Indonesia baru terdata 113.000 anak yang terkonfirmasi positif Covid-19. ”Berarti ada sekitar 100 ribuan yang belum terlapor karena terbatasnya data. Selama data kita masih seperti ini, saya kira kita belum berani buka sekolah. Setiap minggunya ada ribuan yang meninggal,” katanya.
Selain kasusnya yang tinggi, tingkat kematian anak karena Covid-19 di Indonesia juga sangat tinggi. Penelitian tim Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RS Dr Cipto Mangunkusumo di International Journal of Infectious Diseases menunjukkan, 40 persen pasien anak di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo yang terkonfirmasi Covid-19 meninggal dunia.
”Kalau suspek termasuk diperhitungan, tingkat kematian Covid-19 pada anak di Indonesia sekitar 10 persen. Selain itu, yang juga harus diperhitungkan adalah adanya long Covid-19 (Covid-19 berkepanjangan) pada anak. Kalau melihat banyaknya kasus anak tidak terdeteksi, bisa banyak long Covid-19,” paparnya.
Kajian dari Henry Surendar dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit dan tim di jurnal The Lancet pada Maret 2021 menemukan, kematian karena Covid-19 di antara anak-anak di bawah 5 tahun di Jakarta mencapai 11 persen atau 7 dari 61 kasus positif yang diteliti.
Proporsi kematian terkait Covid-19 dalam penelitian di IJID dan The Lancet ini lebih tinggi daripada tingkat kematian kasus Covid-19 di 42 negara bagian di Amerika Serikat sebesar 0-0,23 persen per 22 Oktober 2020, berdasarkan data American Academy of Pediatrics. Angka ini juga lebih tinggi dari angka kematian anak secara nasional sebesar 1,9 persen, seperti dilaporkan Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Pulungan di Asia Pacific Pedriatic Association Bulletin (2020).
Dokter spesialis anak dari RS Pertamina Pusat Sutji Astuti Mariono mengatakan, melihat tingginya risiko pada anak, upaya pencegahan penularan juga harus diutamakan. ”Protokol kesehatan pada anak harus dijalankan. Langkah utama mencuci tangan, memakai masker, menghindari kontak, termasuk menutup saat batuk. Face shield tidak memberi proteksi optimal,” katanya.
Sutji menambahkan, masker pada anak juga harus dipilih yang sesuai ukurannya dan tidak longgar. ”Anak-anak juga harus diajari agar tidak menyentuh bagian depan dari masker,” katanya.