Bumi dalam Bombardir Meteoroid
Unggahan foto meteor yang seolah terlihat jatuh di puncak Gunung Merapi baru-baru ini ramai jadi perbincangan warganet. Sebenarnya setiap saat, siang dan malam, Bumi dihantam batuan antariksa dalam berbagai ukuran.
Setiap saat, siang dan malam, Bumi dihantam batuan antariksa dalam berbagai ukuran. Sebagian besar, batuan yang berukuran kecil habis terbakar di atmosfer bagian atas. Namun, hanya sebagian kecil batuan meteoroid itu yang berubah menjadi meteor cukup terang, apalagi tidak habis terbakar saat jatuh ke tanah.
Unggahan foto meteor yang seolah terlihat jatuh di puncak Gunung Merapi ramai jadi perbincangan warganet. Foto itu diambil pehobi fotografi asal Jakarta, Gunarto (44), dari kawasan wisata Batu Alien, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta atau di sisi selatan Merapi pada Kamis (27/5/2021) pukul 23.07 WIB.
Gunarto dan temannya memotret Merapi sejak pukul 21.30 WIB. Cuaca saat itu sangat bagus dan langit cukup terang karena baru lewat satu hari pascapurnama. Akibatnya, Merapi terlihat jelas. Saat akan pulang, ia melihat banyak awan berkumpul di atas puncak Merapi hingga membuatnya ingin memotret Merapi kembali.
”Saat itu saya melihat cahaya datang dari bawah awan, lalu jatuh ke arah puncak Merapi,” kata Gunarto, Minggu (30/5/2021). Ia pun mengunggah foto tersebut di akun Instragramnya @gunarto_song pada Jumat (28/5/2021), dengan keterangan ”Meteor Jatuh di Puncak Gunung Merapi??”. Foto itu kemudian viral dan banyak dibagikan warganet melalui media sosial.
Baca juga : Selasa Dini Hari Ini Puncak Hujan Meteor Leonid
Kilatan cahaya hijau itu juga terdeteksi melalui kamera pemantau (CCTV) milik Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) yang ada di wilayah Deles, Klaten, Jawa Tengah atau sisi timur Merapi. Cahaya itu terekam pukul 23.08 WIB. Meski demikian, tidak ada suara dan sinyal kegempaan signifikan yang terekam di Merapi.
Karena itu, ”Kami menyimpulkan tidak ada benda jatuh di sekitar Merapi. Sampai saat ini, kejadian itu juga tidak berpengaruh pada aktivitas Merapi,”kata Kepala BPPTKG Hanik Humaida dalam keterangan tertulis, Jumat.
Berdasar informasi tersebut, peneliti asteroid dan komet di Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Budi Dermawan, menduga kilatan cahaya hijau itu adalah meteor atau bintang alihan. Cahaya meteor itu ditimbulkan oleh batuan luar angkasa yang masuk dan bergesekan dengan atmosfer Bumi hingga terbakar dan memunculkan kilatan cahaya yang bergerak cepat.
Kami menyimpulkan tidak ada benda jatuh di sekitar Merapi. Sampai saat ini, kejadian itu juga tidak berpengaruh pada aktivitas Merapi.
Jika meteor adalah sebutan untuk batuan yang bercahaya di atmosfer, sebelum menjadi meteor atau saat batuan itu masih di luar angkasa, itu disebut meteoroid. Sementara saat jatuh ke Bumi dan masih ada sisa batuan yang tidak terbakar, batuan itu dinamakan meteorit.
”Citra yang terlihat mengindikasikan kilatan cahaya itu berasal dari benda kukuh dan beraturan yang terbakar di atmosfer. Kemungkinan benda itu bukan buatan manusia, seperti sisa roket atau satelit bekas yang jatuh,” ujarnya.
Setiap saat, Bumi memang dibombardir batuan angkasa berbagai ukuran, baik siang maupun malam. Meteor yang masuk ke Bumi pada siang hari tentu tidak bisa diamati dengan mata telanjang, tetapi biasanya dideteksi melalui pemantauan gelombang radio.
Baca juga : Hujan Meteor Perseid Mencapai Puncaknya
Namun, batuan yang masuk ke atmosfer Bumi saat malam pun belum tentu menimbulkan kilatan cahaya atau menjadi meteor yang bisa diamati manusia. Meteor biasanya hanya terlihat saat langit bersih dan gelap sempurna serta jauh dari polusi kota. Karena itu, meteor dalam kondisi tidak ada hujan meteor umumnya mudah diamati di daerah pegunungan yang gelap.
Meski masuknya meteoroid ke Bumi adalah fenomena umum, kehadiran meteoroid yang berukuran cukup besar hingga menjadi meteor yang cukup terang relatif jarang terjadi. Apalagi, meteoroid yang sangat besar hingga tidak habis terbakar di atmosfer dan menjadi batu meteorit saat jatuh di muka Bumi.
Hujan meteor
Sementara itu, peneliti Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Bandung, Andi Pangerang, dalam keterangan tertulisnya, menyebut meteor hijau yang terlihat di Merapi kemungkinan terkait hujan meteor Eta Aquarid yang berlangsung 19 April-28 Mei 2021 dan hujan meteor Arietid pada 14 Mei-24 Juni 2021.
”Puncak hujan meteor Eta Aquarid terjadi pada 6 Mei dengan intensitas mencapai 50 meteor per jam dan meteor bergerak dengan kecepatan 66 kilometer per detik. Sementara Arietid berpuncak pada 7 Juni mendatang dengan intensitas 30 meteor per jam dan meteor bergerak dengan laju 38 kilometer per detik,” katanya.
Hujan meteor adalah peristiwa munculnya banyak meteor yang seolah bersumber dari titik tertentu di langit. Batuan luar angkasa yang jadi sumber hujan meteor ini biasanya berasal dari sisa-sisa pembakaran komet yang tertinggal pada lintasan tertentu ketika komet itu mendekati Matahari.
Pada satu waktu tertentu, Bumi yang sedang dalam perjalanan mengitari Matahari akan memasuki lintasan bekas komet tersebut. Akibatnya, batuan sisa komet itu akan tertarik gravitasi Bumi dan terbakar saat memasuki atmosfer Bumi hingga akhirnya menjadi hujan meteor.
”Warna hijau kebiruan atau cyan yang terlihat dari meteor menunjukkan unsur utama di dalam meteor tersebut adalah magnesium,” kata Andi.
Meski demikian, sulit untuk memastikan apakah ada bagian dari meteor yang terlihat di Merapi tidak habis terbakar di udara dan jatuh ke Bumi. Menurut Budi, bisa jadi meteor hijau itu habis terbakar di udara. Namun, karena sudut pengambilan fotonya dari bawah, terlihat seolah-olah meteor itu jatuh ke puncak Merapi.
Baca juga: Peneliti Itera: Batu yang Jatuh di Lampung Tengah adalah Meteorit
Kalaupun ada yang tersisa, kemungkinan ukuran meteorit yang terbentuk sangat kecil hingga tidak terdeteksi sebagai suara atau sinyal kegempaan oleh BPPTKG. Meteor yang jatuh di dekat Bumi umumnya akan menimbulkan gelombang kejut hingga menimbulkan suara gemuruh yang bisa menggetarkan bangunan di sekitarnya. Seumpama ada bagian yang jatuh pun, ukurannya dipastikan akan sangat kecil hingga membuat meteorit itu akan sulit ditemukan.
Namun, berdasar lintasan yang terlihat di citra, Andi memprediksi andaikan masih ada meteorit dari meteor hijau tersebut, meteorit itu akan jatuh di sekitar puncak Gunung Merbabu, di sebelah utara Gunung Merapi.
Terkepung
Bombardir meteor terhadap Bumi merupakan konsekuensi dari lingkungan sekitar Bumi yang dikepung oleh banyak batuan luar angkasa dalam berbagai ukuran. Batuan itu bisa berasal dari debu-debu komet yang terbakar dan tertinggal di lintasan, asteroid, komet atau pecahan asteroid dan komet, hingga batuan luar angkasa lain sisa pemebentukan Tata Surya 4,6 miliar tahun lalu.
Jumlah batuan luar angkasa di dekat Bumi itu tak terhitung jumlahnya, apalagi yang berukuran kecil. Akibatnya, jatuhnya meteorit berukuran kecil sering kali menjadi tak terduga, seperti jatuhnya meteorit yang menimpa rumah warga di Lampung Tengah, Lampung, pada Januari 2021 dan di Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Agutus 2020.
Namun, untuk batuan luar angkasa berukuran cukup besar atau asteroid yang berpotensi membahayakan Bumi sudah dalam pemantauan sejumlah lembaga antariksa.
Data Pusat Studi Obyek Dekat Bumi (CNEOS), Laboratorium Propulsi Jet-Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (JPL-NASA), menyebutkan, lebih dari 90 persen obyek dekat Bumi (NEO) dengan diamater lebih dari 1 kilometer sudah ditemukan. Kini, para ahli sedang fokus untuk mendata 90 persen NEO yang memiliki diamater lebih dari 140 meter.
Hingga Minggu (30/5/2021), sebanyak 888 obyek dekat Bumi dengan diameter lebih dari 1 kilometer sudah ditemukan. Sementara obyek dekat Bumi dengan diamater 30-100 meter yang ditemukan sudah mencapai 8.143 buah.
Namun, jangan remehkan obyek dekat Bumi dengan diameter kurang dari 30 meter. Meteorit yang jatuh di Chelyabinsk, Rusia, dan merusak 7.200 bangunan serta melukai lebih dari 1.500 orang pada Februari 2013 diperkirakan hanya memiliki diamater awal sebesar 17-20 meter. Adapun batuan antariksa yang menghantam Tunguska, Rusia, pada 1908 dan meratakan lebih dari 2.000 kilometer persegi hutan mempunyai diamater awal 40 meter.
Dikutip dari Kompas, 6 Juli 2018, batuan luar angkasa yang saat memasuki atmosfer Bumi kemungkinan akan habis terbakar adalah batuan yang berdiamater kurang dari 10 meter. Adapun batuan yang memicu hujan meteor umumnya berukuran 10-100 sentimeter.
Karena itu, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir dengan meteoroid, asteroid, atau komet beserta pecahannya yang kemungkinan bisa menubruk Bumi. Meteorit bisa saja jatuh di beberapa tempat, mulai dari laut, hutan, gurun, hingga perkebunan yang jauh dari tempat tinggal manusia.
Risiko kematian akibat jatuhnya meteor sangat kecil. Stephen A Nelson dari Universitas Tulane, AS, dalam dokumen yang diperbarui terakhir pada 2018 menyebutkan, risiko seseorang mati akibat hantaman asteroid atau komet di tingkat regional hanya mencapai 1 banding 1.600.000 kejadian. Peluang itu jauh lebih besar dibandingkan dengan kematian akibat kecelakaan kendaaran bermotor yang mencapai 1 banding 90 kejadian.
Daripada khawatir, Budi mengajak masyarakat untuk menjaga langit malam agar tetap gelap. Polusi cahaya yang makin meluas dan parah membuat keindahan meteor sudah jarang dinikmati manusia modern. Untuk itu, langit gelap yang telah melahirkan ide, ilham, dan cerita peradaban manusia perlu terus diwariskan kepada generasi yang akan datang.