Kondisi kesehatan dan status gizi perempuan saat remaja menentukan kualitas kesehatan dan gizi generasi penerus bangsa. Karena itu, keberlanjutan program penanganan anemia pada remaja mesti dipastikan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan anemia pada remaja menjadi kunci keberhasilan menuntaskan masalah malnutrisi di masyarakat. Karena itu, keberlanjutan program perlu dipastikan melalui penguatan regulasi, anggaran, dan sumber daya manusia.
Ketua Pusat Penelitian Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia (FKM UI), Rita Damayanti mengatakan, komitmen pemerintah daerah amat penting untuk mengatasi persoalan anemia pada remaja di wilayahnya. Anemia tidak bisa dituntaskan dengan sekadar menyediakan tablet tambah darah, tetapi butuh intervensi menyeluruh, terutama terkait edukasi dan peningkatan kesadaran akan gizi.
”Strategi utama untuk mengatasi persoalan anemia, yaitu dengan memperkuat komitmen pemerintah terhadap program kesehatan bagi remaja putri. Komunikasi serta edukasi harus terus dilakukan agar perubahan perilaku remaja bisa terjadi sehingga kepatuhan mengonsumsi TTD (tablet tambah darah) juga meningkat,” ucapnya dalam acara Diseminasi Praktik Baik dan Hasil Pembelajaran Program Pencegahan Anemia pada Remaja Putri di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur, Kamis (27/5/2021), di Jakarta.
Ia menambahkan, inovasi dari pemerintah daerah diperlukan agar penanganan anemia tetap bisa berlanjut di masa pandemi Covid-19. Di Jawa Timur, misalnya, petugas puskesmas diminta datang memberikan TTD kepada siswa putri setiap bulan ketika para siswa datang ke sekolah untuk mengumpulkan tugas. Selama pandemi, TTD yang biasanya diberikan seminggu sekali menjadi terkendala karena sebagian besar siswa harus menjalani pembelajaran jarak jauh.
Selain memberikan TTD di sekolah, orangtua juga semakin dilibatkan. Ketika TTD dikonsumsi di rumah, orangtua diminta untuk merekam video yang kemudian dikirimkan ke petugas puskesmas. Ini diperlukan untuk memastikan TTD yang diberikan benar-benar dikonsumsi.
Anemia tidak bisa dituntaskan dengan sekadar menyediakan tablet tambah darah, tetapi butuh intervensi menyeluruh, terutama terkait edukasi dan peningkatan kesadaran akan gizi.
Tablet tambah darah merupakan suplemen gizi yang mengandung zat besi dan asam folat. Apabila TTD diminta secara rutin, remaja putri bisa terhindar dari anemia gizi. Sebagai langkah pencegahan, TTD harus dikonsumsi seminggu sekali.
Anemia pada remaja menjadi persoalan serius karena bisa menimbulkan dampak jangka panjang. Remaja anemia berisiko dua kali lipat mengalami anemia ketika hamil. Jika tidak diatasi, anak yang dilahirkan bisa mengalami berat badan dan panjang lahir rendah. Selain itu, risiko pendarahan ketika melahirkan juga rentan terjadi.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi anemia pada remaja berusia 15-24 tahun sebesar 32 persen. Sementara prevalensi perempuan hamil yang mengalami anemia 48,9 persen dan pada ibu hamil dengan usia 15-24 tahun, angka anemia mencapai 84 persen.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Vitria Dewi menuturkan, keberhasilan untuk meningkatkan konsumsi tablet tambah darah juga ditentukan oleh pendekatan yang dilakukan. Setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda sehingga pendekatannya pun berbeda.
”Masyarakat di Madura akan berbeda pendekatannya dengan masyarakat di Banyuwangi, juga di Surabaya dengan budaya areknya. Inovasi yang keluar di setiap daerah pun merupakan inovasi yang mengangkat kearifan lokal yang barangkali tidak bisa diterima di tempat lain,” katanya.
Inovasi yang keluar di setiap daerah pun merupakan inovasi yang mengangkat kearifan lokal yang barangkali tidak bisa diterima di tempat lain.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian Proboyekti menuturkan, investasi kesehatan pada remaja merupakan investasi strategis untuk menyelesaikan isu gizi di Indonesia. Remaja putri merupakan kelompok sasaran prioritas dalam rencana pembangunan nasional karena kesehatan dan gizi saat remaja akan memengaruhi status kesehatan dan gizi pada generasi berikutnya.
Asupan gizi
Masalah tengkes (stunting) atau gagal tumbuh kembang di Indonesia menduduki posisi ke-115 dari 151 negara di tingkat global. Selain itu, jika dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara, Indonesia menduduki posisi ke-8 dari 10 negara.
Menurut Dhian, dengan mencukupi kebutuhan gizi remaja putri, kejadian anemia dapat dicegah sehingga kualitas kesehatan mereka akan meningkat. Hal ini secara tidak langsung akan berkontribusi terhadap penurunan tengkes karena bayi yang lahir di masa depan merupakan bayi yang lahir dari ibu yang sehat.
”Upaya ini tentu membutuhkan kerja bersama secara multisektoral mulai dari pemerintah, swasta, mitra pembangunan, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, hingga seluruh masyarakat, baik di pusat maupun daerah. Kolaborasi dengan berbagai pihak akan terus kami perkuat,” ucapnya.