Memutus ”Lingkaran Setan” Persoalan Gizi Tiga Generasi
Kekurangan gizi pada remaja putri bisa berdampak panjang pada kualitas generasi mendatang. Pandemi Covid-19 yang sekarang melanda jangan sampai menghentikan upaya perbaikan gizi yang telah dibangun.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Indonesia dihadapkan dengan persoalan gizi yang pelik. Setidaknya, tiga beban gizi terjadi saat ini, yaitu anak yang kurus, tengkes, serta obesitas. Tak hanya itu, masalah gizi ini juga dialami mulai dari kalangan anak, remaja, hingga dewasa.
Prevalensi tengkes pada anak balita mencapai 30,8 persen dari laporan Riset Kesehatan Dasar 2018. Jumlah ini di atas rata-rata global sebesar 22,2 persen dan di atas ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu kurang dari 20 persen. Selain itu, prevalensi anak balita wasting (kurus dan sangat kurus) sebesar 10,2 persen.
Data lain menunjukkan, prevalensi perempuan hamil yang mengalami kurang energi kronis mencapai 17,3 persen dan anemia 48,9 persen. Bahkan, pada ibu hamil dengan usia 15-24 tahun, angka anemia 84 persen. Sementara pada remaja usia 15-24 tahun, prevalensi anemia 32 persen.
Ketika remaja mengalami anemia, ia berisiko dua kali lipat mengalami anemia ketika hamil. Jika tidak segera diatasi, ibu hamil akan rentan mengalami pendarahan ketika melahirkan sehingga risiko kematian menjadi tinggi. Anak yang dilahirkan juga berpotensi memiliki berat badan serta panjang lahir rendah. Itu dapat menghambat pertumbuhan bayi.
Ini bisa berdampak jangka panjang. Selain mengalami masalah gizi, tingkat kecerdasan anak akan menurun.
Pada usia dewasa, ia juga akan berisiko menderita penyakit tidak menular, seperti jantung dan stroke. Dampak buruk ini juga bisa terjadi pada anaknya kelak.
”Jadi, akibat dari anemia bisa sampai tiga generasi, dari ibu, anak, dan berlanjut sampai cucunya,” tutur Endang L Achadi, Guru Besar llmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, pekan lalu.
Anemia terjadi ketika kadar hemoglobulin dalam sel darah merah kurang dari yang seharusnya. Pada perempuan dewasa, kadar hemoglobulin yang dimiliki minimal 12 gram per desiliter (g/dL). Hemoglobulin atau Hb ini diperlukan untuk membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh, termasuk otak dan otot. Karena itu, seseorang yang mengalami anemia biasanya akan mudah letih, lesu, lelah, pusing, dan memiliki napas yang pendek.
Asupan gizi
Pada dasarnya, anemia bisa disebabkan rendahnya asupan zat gizi yang penting untuk membentuk darah serta meningkatnya pengeluaran zat gizi yang bisa terjadi akibat pendarahan karena kecacingan. Pada remaja putri, anemia juga bisa terjadi karena menstruasi.
Menurut Endang, sebagian besar anemia di Indonesia akibat dari defisiensi atau kekurangan zat besi. Ini karena pola makan rendah zat besi. Sumber zat besi paling baik didapatkan dari pangan hewani, seperti daging, ikan, dan unggas. Sayangnya, konsumsi masyarakat terhadap sumber pangan itu masih rendah.
Data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang dirilis 2018 menunjukkan, konsumsi daging masyarakat Indonesia pada 2017 baru mencapai rata-rata 1,8 kilogram (kg) daging sapi, 7 kg daging ayam, dan 0,4 kg daging kambing. Ini jauh tertinggal dari konsumsi negara lain di Asia Tenggara, seperti Malaysia 4,8 kg daging sapi, 46 kg daging ayam, dan 1 kg daging kambing; Filipina 3,1 daging sapi, 12,6 kg daging ayam, dan 0,5 kg daging kambing; serta Vietnam 9,9 kg daging sapi, 13 kg daging ayam, dan 1,7 kg daging kambing.
Rendahnya konsumsi daging berpengaruh pada asupan protein hewani yang menjadi sumber zat besi terbaik untuk tubuh. Konsumsi ini dinilai semakin menurun akibat pandemi Covid-19. Data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada Maret 2020 meningkat 0,56 poin dari September 2019 menjadi 9,78 persen.
Pendapatan yang berkurang, akan berdampak pada penurunan kemampuan memenuhi kebutuhan gizi sehingga pola konsumsi cenderung asal kenyang tanpa memperhatikan gizi seimbang. Kondisi ini berpotensi memperburuk pemenuhan gizi pada keluarga, terutama anak, ibu hamil, dan ibu menyusui.
Hari gizi pada tahun ini juga menekankan pentingnya pencegahan anemia pada remaja. (Kartini Rustandi)
Kepala Unit Gizi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) Indonesia Jee Hyun Rah mengatakan, pandemi juga telah berdampak buruk pada asupan nutrisi pada remaja putri. Survei daring oleh Unicef bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saat pandemi menunjukkan, sekitar 50 persen remaja putri mengaku mengurangi konsumsi makanannya selama masa pandemi, termasuk protein hewani. Sebanyak 50 persen remaja juga tidak melakukan aktivitas fisik serta hanya sedikit mengonsumsi sayur dan buah.
Selain itu, masih menurut survei, 89 persen remaja putri tidak lagi mengonsumsi tablet tambah darah (TTD) yang dibutuhkan untuk meningkatkan kadar zat besi dalam tubuh. Setidaknya, remaja putri harus mengonsumsi 1 tablet setiap minggu. Namun, selama masa pandemi dengan sistem pembelajaran jarak jauh, program yang telah lama digalakkan pemerintah ini terhenti di beberapa sekolah.
Jee berpendapat, memastikan kebutuhan gizi remaja terpenuhi dengan baik amat penting untuk menjamin perbaikan gizi generasi di masa mendatang. Intervensi sejak dini mulai dari remaja dibutuhkan untuk mencegah ia mengalami kurang gizi ketika hamil sehingga dapat melahirkan anak dengan kondisi nutrisi yang adekuat.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Kartini Rustandi menyampaikan, modifikasi pemberian TTD pada remaja putri telah diupayakan melalui berbagai cara. Setiap dinas kesehatan di daaerah telah diimbau untuk tetap memastikan program tersebut berjalan dengan baik. Sebagian sekolah sudah menerapkan pemberian TTD ketika anak ataupun orangtua datang ke sekolah untuk mengumpulkan tugas.
Puskesmas pun diminta untuk mendata keberadaan remaja di wilayahnya. Monitoring serta evaluasi akan dilakukan melalui puskesmas tersebut.
”Kami juga pastikan ketersediaan TTD tetap ada. Masalah anemia ini menjadi fokus pemerintah saat ini. Karena itu, hari gizi pada tahun ini juga menekankan pentingnya pencegahan anemia pada remaja,” tuturnya.
Pandemi yang terjadi bukan berarti bisa menghentikan program perbaikan gizi yang berjalan. Jika dibiarkan, kondisi masyarat justru kian memburuk sehingga penanganannya akan semakin berat dengan dampak yang semakin panjang.
Yang tak kalah penting, memutus ”lingkaran setan” permasalahan gizi bisa dimulai dengan menyasar para remaja.