Risiko kematian karena Covid-19 di Indonesia tergolong tinggi sejak usia 50 tahun ke atas. Karena itu, pemerintah perlu memperluas sasaran prioritas vaksinasi dengan menurunkan batas usia target prioritas imunisasi.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan mengubah kelompok usia yang menjadi sasaran prioritas vaksin dari sebelumnya di atas 60 tahun menjadi 50 tahun. Selain untuk mempercepat cakupan vaksinasi, hal ini karena risiko kematian karena Covid-19 di Indonesia tergolong tinggi sejak usia 50 tahun ke atas.
”Dari analisis saya, case fatality rate (tingkat kematian dibandingkan kasus) Covid-19 di Indonesia untuk usia 50-59 tahun termasuk tinggi, yaitu 1,3 persen. Oleh karena itu, saya usulkan mereka harus segera masuk dalam kelompok prioritas vaksin,” kata epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, secara daring, Jumat (21/5/2021).
Dengan perhitungan ini, menurut Dicky, potensi kematian karena Covid-19 di Indonesia dari kelompok 50-59 tahun jika 10 persen populasi terinfeksi bisa mencapai 37.871 orang.
Sesuai dengan rencana pemerintah sebelumnya, tahap kedua pelaksanaan vaksinasi Covid-19 setelah tenaga kesehatan adalah kelompok lanjut usia, yaitu yang berusia di atas 60 tahun.
Namun, menurut data di vaksin.kemkes.go.id, cakupan vaksinasi untuk warga lansia masih amat rendah. Dari 21,5 juta kelompok lanjut usia ini, baru 2,9 juta orang yang mendapat suntikan dosis pertama (13,8 persen), sedangkan yang mendapat suntikan dosis kedua baru 2 juta orang (9,31 persen).
Dicky mengatakan, Indonesia harus mempercepat vaksinasi untuk kelompok berisiko, yaitu di atas 50 tahun. Selain memperbaiki pasokan dan rantai distribusi, juga harus meningkatkan kepercayaan dan penerimaan publik terhadap vaksinasi. ”Untuk meningkatkan kepercayaan, salah satunya adalah transparansi dan mitigasi risiko KIPI (kejadian ikutan pascaimunisasi),” katanya.
Kejadian ikutan
Secara terpisah, Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pascaimunisasi (Komnas KIPI) Hindra Irawan Satari, dalam keterangan pers, menegaskan, sampai saat ini tidak ada yang meninggal karena vaksinasi Covid-19. Menurut data Komnas KIPI, sejauh ini ada 27 kasus kematian diduga akibat vaksinasi dengan Sinovac. Namun, setelah diinvestigasi, kematian tersebut tidak terkait dengan vaksinasi.
Untuk meningkatkan kepercayaan, salah satunya adalah transparansi dan mitigasi risiko KIPI (kejadian ikutan pascaimunisasi).
Menurut Hindra, dari kasus tersebut, 10 kasus akibat terinfeksi Covid-19, lalu 14 orang karena penyakit jantung dan pembuluh darah, 1 orang karena gangguan fungsi ginjal secara mendadak, serta 2 orang karena diabetes melitus dan hipertensi tidak terkontrol.
”Kenapa kami bisa membuat diagnosis itu? Karena datanya lengkap. Diperiksa, dirawat di-rontgen, diperiksa lab, di CT scan, dapat diagnosisnya,” kata Hindra. Sementara yang meninggal diduga akibat vaksinasi dengan AstraZeneca ada tiga orang. Namun, hal ini juga tidak diakibatkan oleh vaksinasi, tapi lebih karena penyakit lain.
Namun, Dicky mengingatkan, pemerintah harus memitigasi risiko vaksin AstraZeneca dan vaksin lain berbasis adenovirus. Hal ini karena ada bukti bahwa vaksin ini bisa memicu terjadinya vaccine-induced thrombotic thrombocytopenia (VITT) atau pembekuan darah karena vaksin yang diduga terkait vaksin. ”Walaupun persentase kasusnya kecil, tetap dimitigasi agar masyarakat percaya,” tuturnya.
”Di Australia dan di banyak negara lain, penggunaan vaksin AstraZeneca sudah sangat dibatasi. Salah satunya hanya direkomendasikan untuk kelompok usia di atas 50 tahun dengan skrining (penapisan) yang ketat,” katanya.