Polusi Udara di Jakarta Masih Lampaui Baku Mutu Nasional
Polusi udara di Ibu Kota Jakarta hingga kini masih tinggi dan beberapa kali melebihi baku mutu nasional. Perlu pengelolaan sumber pencemaran udara secara ketat untuk melindungi kesehatan warga di Jakarta.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Kabut inversi permukaan menyelimuti sebagian besar wilayah Jakarta pada Selasa (9/6/2020) pagi.
JAKARTA, KOMPAS — Data resmi kualitas udara dari Laboratorium Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta menunjukkan pencemaran partikulat halus berukuran kurang dari 10 mikron atau PM10 periode 2011-2020 masih tinggi. Perlu upaya lebih serius dari pemerintah pusat dan daerah dalam menerapkan manajemen kualitas udara secara ketat dan konsisten di semua sektor penyumbang pencemaran udara.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengemukakan, merujuk pada standar di dalam negeri, pencemaran PM10 masih dalam batas sedang. Namun, pencemaran ini masuk kategori tidak sehat dan sangat tidak sehat jika menggunakan standar pencemaran udara dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ahmad mengatakan, pencemaran PM2,5 pada 2019 di Jakarta juga jauh melampaui baku mutu rata-rata nasional sebesar 15,5 mikrogram per meter kubik. Bahkan, dari bulan Juni sampai November 2019, sudah pada angka 46 mikrogram per meter kubik.
”Data pencemaran PM2,5 di Jakarta sepanjang 2020 hingga awal 2021 memang relatif mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2019. Akan tetapi, pencemaran PM2,5 pada periode tersebut juga masih melampaui baku mutu nasional,” ujarnya dalam diskusi laporan krisis polusi udara di Jakarta secara daring, Rabu (19/5/2021).
Tidak adanya data monitoring kualitas udara yang baik dan valid akan membuat proses pengambilan keputusan menjadi bias.
Menurut laporan terakhir yang disusun KPBB pada 2019, pencemaran PM2,5 dan PM10 di Jakarta terbanyak berasal dari transportasi (47 persen). Pencemaran juga berasal dari industri (22 persen), domestik (11 persen), debu jalanan (11 persen), pembakaran sampah (5 persen), dan konstruksi bangunan (4 persen).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Peserta aksi dari Koalisi Gerakan Ibu Kota Bersepeda dari Bundaran HI menuju Pengadilan Jakarta Pusat untuk menyerahkan dokumen bukti gugatan, Senin (6/7/2020).
Sementara kajian terbaru dari KPBB pada 2020 menunjukkan, sepeda motor menjadi sumber pencemaran udara tertinggi di Jakarta dan secara nasional karena populasinya yang sangat tinggi. Kendaraan lainnya yang turut menyumbang emisi, di antaranya truk, bus, dan mobil penumpang pribadi.
Ahmad menjelaskan, sejumlah kajian telah menyebutkan bahwa polusi udara sangat berdampak pada kesehatan khususnya pada masa pandemi Covid-19. Masyarakat di area yang terpapar pencemaran udara bahkan telah banyak terserang penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia, penyempitan saluran pernapasan, kanker, dan berbagai penyakit kronis lain.
Di sekitar industri dengan limbah logam berat terdapat korban seperti anak-anak yang mengalami penurunan kecerdasan, kerusakan saraf, dan gangguan pertumbuhan tulang. Bahkan, kajian KPBB pada 2016 menunjukkan 58,3 persen warga Jakarta yang terpapar penyakit pernapasan harus membayar biaya kesehatan Rp 51,2 triliun.
Guna mengatasi pencemaran udara ini, Ahmad mendorong agar pemerintah pusat dapat menerapkan manajemen kualitas udara secara ketat dan konsisten di sektor transportasi, industri, pertambangan, konstruksi, hingga pengelolaan lahan. Pemerintah kota juga perlu segera menghentikan pencemaran udara, di antaranya dengan menerapkan efektivitas pengelolaan lalu lintas, penetapan zona rendah emisi, hingga penetapan pajak progresif yang dikaitkan dengan tingkat emisi kendaraan atau cerobong pembakaran pabrik.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Bus bertenaga listrik bersiap mengikuti Karnaval Jakarta Langit Biru di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Acara yang diadakan oleh Pemprov DKI Jakarta dengan PLN ini bertujuan untuk mewujudkan lingkungan bebas polusi dengan pemakaian kendaraan bertenaga listrik.
Sementara bagi warga kota, diharapkan dapat menggunakan angkutan umum serta mulai menerapkan jalan kaki dan bersepeda. Selain itu, perlu juga menggunakan energi sesuai kebutuhan dan tidak membakar sampah, tetapi memilah dan memanfaatkannya.
Pentingnya data monitoring
Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Puji Lestari menyampaikan, data dan monitoring menjadi bagian yang sangat penting dalam melihat kualitas dan tingkat pencemaran udara di suatu wilayah. Tidak adanya data monitoring kualitas udara yang baik dan valid akan membuat pengambilan keputusan menjadi bias.
”Dari proses monitoring ini akan diketahui jenis polutan apa yang tinggi dan mempunyai konsentrasi berbahaya. Semua dampak pencemaran udara terhadap kesehatan, sosial, dan ekonomi juga bersumber dari data monitoring kualitas udara ini,” katanya.
Sama halnya dengan konsentras PM10, pencemaran PM2,5 di Jakarta, menurut data pemantauan stasiun pengamatan kualitas udara milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga masih tinggi. Konsentrasi PM2,5 tersebut juga telah melampaui batas aman WHO, yakni 25 mikrogram per meter kubik.