Produk Inovasi Perkuat Penanganan Pandemi Covid-19
Berbagai inovasi Covid-19 yang dikembangkan BPPT, seperti laboratorium bergerak Biosafety Level 2, alat tes cepat, dan ventilator darurat, berkontribusi positif pada penanganan pandemi Covid-19.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai inovasi yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi berkontribusi positif dalam memenuhi kelangkaan alat kesehatan selama pandemi Covid-19. Kinerja signifikan yang didukung oleh ekosistem riset yang telah terbangun ini diharapkan terus berkelanjutan dan menjadi otak dari pemulihan ekonomi.
Deputi Pusat Teknologi Kawasan Spesifik dan Sistem Inovasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Iwan Sudrajat mengemukakan, setelah pandemi Covid-19 terjadi, BPPT dengan arahan Presiden mulai membentuk Gugus Tugas Riset dan Inovasi Teknologi untuk Penanganan Covid-19 (TFRIC-19). Selama lebih dari satu tahun dibentuk, TFRIC-19 berhasil mengembangkan berbagai produk inovasi untuk penanganan Covid-19.
Beberapa inovasi yang berhasil dikembangkan, antara lain, laboratorium bergerak (mobile laboratory) Biosafety Level 2 (BSL-2) untuk akses uji spesimen, alat tes cepat atau rapid diagnostic test (RDT) RI-GHA, ventilator darurat, alat tes usap reaksi berantai polimerase (PCR), dan kecerdasan buatan untuk deteksi Covid-19.
”Kami melakukan kajian yang masih terus berjalan, temuan sementara menunjukkan bahwa tiga produk, yakni MBSL-2, RDT RI-GHA, dan ventilator darurat berkontribusi positif dalam memenuhi kelangkaan alkes serta telah menerapkan kolaborasi berbagai pihak,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Ekosistem Inovasi Teknologi Penanganan Covid-19: Peta dan Upaya Penguatannya”, Rabu (19/5/2021).
Dari kajian yang dilakukan, kata Iwan, ketiga produk TFRIC-19 tersebut juga memiliki keunggulan. MBSL-2 dinilai telah menjadi acuan baru dalam menghadirkan laboratorium bergerak sekaligus melahirkan regulasi baru di Kementerian Kesehatan yang selama ini belum ada. Namun, MBSL-2 masih memiliki kekurangan, yakni harga yang masih relatif mahal.
Terbangunnya ekosistem inovasi tidak hanya menjadi teori. Namun, konsep ini benar-benar bisa diimplementasikan dalam setiap riset agar bisa menghasilkan inovasi.
Selain itu, RDT RI-GHA juga memiliki keunggulan sebagai pilihan lain alat tes Covid-19 dan mampu menurunkan harga pasar dari Rp 200.000-Rp 300.000 menjadi Rp 75.000. Adapun keunggulan ventilator darurat, yakni mampu menjadi produk pertama sebagai alat bantu pernapasan yang murah dan mudah perawatannya.
”Manajemen BPPT juga sangat berperan dalam mendukung keberhasilan produk inovasi tersebut sehingga mampu hadir dalam waktu singkat, memiliki kemampuan yang baik, dan melewati serangkaian uji klinis serta sertifikasi. Jadi, TFRIC-19 berhasil melakukan invensi dan menciptakan kondisi ideal pada proses inovasi,” ucapnya.
Kepala BPPT Hammam Riza menuturkan, tahun ini, TFRIC-19 kembali menjalankan aksi utama tahap kedua untuk membangun ekosistem riset. Beberapa aksi tersebut, yaitu penguatan kajian ekonomi dan teknologi, meningkatkan inovasi teknologi alat dan suplemen kesehatan, penguatan data sains dan aplikasi kecerdasan buatan, serta penguatan kerja sama, komersialisasi, dan media.
”Terbangunnya ekosistem inovasi tidak hanya menjadi teori. Namun, konsep ini benar-benar bisa diimplementasikan dalam setiap riset agar bisa menghasilkan inovasi. Model ekosistem yang dijalankan melalui konsorsium riset dan inovasi serta TFRIC-19 diharapkan akan terus menjadi bagian yang berkelanjutan dan menjadi otak dari pemulihan ekonomi,” katanya.
TFRIC-19 beranggotakan 8 institusi penelitian dan pengembangan pemerintah, 18 perguruan tinggi, 4 kalangan industri, 6 perusahaan rintisan, 3 rumah sakit, dan 15 komunitas. Semua pihak dilibatkan dalam TFRIC-19 untuk membangun ekosistem inovasi Covid-19 dan meningkatkan upaya pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment).
Tingkat keberhasilan
Direktur Pusat Pengkajian Industri Manufaktur, Telematika, dan Elektronika BPPT Andhika Prastawa mengatakan, tingkat keberhasilan inovasi di pasar tidak hanya ditentukan oleh aspek teknologi, tetapi juga nonteknologi. Langkah awal memulai keberhasilan itu dimulai dari proses penciptaan teknologi hingga berujung pada pengenalan ke pasar.
”Jika inovasi dalam negeri mengalami kesulitan dalam hilirisasi, terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab seperti kelangkaan sumber daya manusia, infrastruktur pengembangan produk, atau pendanaan. Adanya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dapat menjadi katalisator untuk mengungkit produk inovasi menjadi lebih komersial,” katanya.
Menurut Andhika, proses mencapai difusi inovasi atau penyebar serapan ide-ide baru harus ada pendekatan kepada pengguna produk. Pendekatan itu dapat melalui berbagai sarana, seperti informasi berbasis ilmiah, pemberian sampel, uji coba multipihak, pelatihan sumber daya manusia, seminar ilmiah, ataupun penjualan resmi.
”Hasil produk inovasi yang menawarkan keunggulan relatif, kompatibilitas, kesederhanaan, trialability, dan observability akan diadopsi lebih cepat daripada inovasi lainnya. Namun, berbagai sarana pendekatan yang dilakukan juga membutuhkan usaha besar. Tetapi, di sisi lain, ini sangat bernilai untuk keberlanjutan dan perkembangan produk tersebut,” tuturnya.