Literasi Gizi pada Pendidikan Usia Dini Masih Minim
Literasi mengenai gizi pada anak di satuan pendidikan usia dini masih minim. Hal itu mengakibatkan berbagai masalah gizi yang menghambat tumbuh kembang anak dan bisa memicu berbagai penyakit di masa depan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Literasi yang minim menyebabkan pemenuhan gizi masyarakat kurang. Berbagai masalah gizi pun muncul mulai dari tengkes, gizi buruk, sampai obesitas. Untuk itu, literasi gizi perlu ditanamkan di satuan pendidikan anak usia dini disertai sosialisasi yang masif pada orangtua.
Ketua Umum Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) Netty Herawati, di Jakarta, Rabu (19/5/2021), mengatakan, sistem pendidikan anak usia dini (PAUD) perlu diperkuat dengan edukasi mengenai kesehatan dan gizi seimbang. Hal itu bisa diimplementasikan ke dalam rencana pembelajaran di satuan PAUD.
”Peningkatan kompetensi guru menjadi langkah yang harus dilakukan lebih dulu. Guru PAUD diharapkan memahami konsep sehat serta mengetahui cara untuk meningkatkan derajat kesehatan dan memantau tumbuh kembang anak. Jika sudah paham, guru harus bisa mengimplementasikannya,” ucapnya.
Dalam pembelajaran di satuan PAUD, guru diharapkan mampu mengintegrasikan kesehatan dan gizi ke dalam kurikulum pemelajaran. Sinergi dengan orangtua pun perlu dilakukan dalam upaya peningkatan derajat kesehatan, pemantauan tumbuh kembang, dan pemenuhan gizi seimbang pada anak di rumah.
Menurut Netty, kesehatan menjadi kebutuhan esensial bagi anak usia dini yang menentukan mutu tumbuh kembang di usia selanjutnya. Saat ini, kondisi kesehatan anak usia dini di Indonesia memprihatinkan. Dari data Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi anak yang mengalami tengkes (stunting)30,8 persen dan anak dengan gizi kurang 17,7 persen. Di lain sisi, prevalensi anak obesitas juga tinggi, yakni 9,2 persen.
Guru PAUD diharapkan memahami konsep sehat serta mengetahui cara untuk meningkatkan kesehatan dan memantau tumbuh kembang anak.
Secara teknis, praktik pendidikan kesehatan dan gizi di PAUD bisa dilakukan dengan menjalankan kegiatan rutin saat cuci tangan dan makan. Sejumlah materi bisa diberikan, antara lain terkait fungsi tubuh dan cara merawat tubuh agar bersih dan sehat, pendidikan gizi seimbang, kebersihan lingkungan sekolah dan rumah, serta mengetahui dan menjalankan protokol kesehatan.
”Sinergi dengan orangtua juga penting. Itu bisa dilakukan melalui kelas orangtua dan keluarga, melibatkan orangtua di kelas, dan menyelenggarakan hari konsultasi. Pihak PAUD pun perlu menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, seperti dinas kesehatan setempat, dokter, posyandu, dan tokoh masyarakat,” kata Netty.
Asupan gizi berbeda
Dokter spesialis anak nutrisi pediatri dan penyakit metabolik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya, Nur Aisiyah Widjaja, menuturkan, setiap anak membutuhkan asupan gizi berbeda di setiap usianya. Khusus bagi anak usia PAUD usia 2-5 tahun, gizi seimbang yang diberikan harus memenuhi kandungan karbohidrat, buah dan sayur, protein hewani, serta gula, garam, dan minyak.
Dalam sehari, karbohidrat yang dibutuhkan berkisar 450-600 mililiter. Dalam satu mangkuk diperkirakan mengandung 250-350 mililiter. Sementara kebutuhan sayur dan buah sekitar 200 mililiter per hari atau 20 gram per hari. Protein hewani yang didapatkan dari berbagai jenis ikan, telur, ayam, daging, dan susu perlu diberikan berkisar 20-40 gram sehari atau 1-2 sendok makan. Adapun konsumsi gula, garam, dan minyak harus dibatasi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyarankan asupan gula dalam bentuk gula tambahan dibatasi kurang dari 10 peren dari total asupan kalori harian untuk anak usia 2-18 tahun atau sekitar 50 gram per hari. Bahkan, anak usia dua tahun disarankan mengonsumsi gula kurang dari 5 persen dari total kalori yang dibutuhkan. Untuk konsumsi garam pada anak usia 1-3 tahun kurang dari 2 gram per hari.
”Proses pertumbuhan serta perkembangan otak dan pertumbuhan fisik yang cepat dimulai sejak anak dalam kandungan sampai usia dua tahun. Konsumsi gula, garam, dan lemak harus dibatasi untuk mencegah obesitas. Sebab, obesitas atau kegemukan bisa memicu berbagai komplikasi dan penyakit tidak menular di masa depan,” kata Nur.
Proses pertumbuhan dan perkembangan otak serta pertumbuhan fisik dimulai sejak anak dalam kandungan sampai usia dua tahun. Konsumsi gula, garam, dan lemak dibatasi untuk mencegah obesitas.
Ketua Harian Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (Yaici) Arif Hidayat menambahkan, edukasi mengenai gizi seimbang yang tepat harus disampaikan terus-menerus. Literasi gizi yang kurang dapat dilihat dari banyaknya warga yang salah memahami produk kental manis sebagai susu.
Dari hasil riset mengenai persepsi masyarakat terhadap produk kental manis dan konsumsi kental manis pada anak balita ditemukan, 28,96 persen responden menganggap kental manis merupakan susu pertumbuhan. Sebanyak 16,97 persen responden yang juga seorang ibu bahkan memberikan kental manis untuk anaknya setiap hari.
Penelitian itu juga menemukan sekitar 13,4 persen anak yang mengonsumsi produk kental manis mengalami gizi buruk. Selain itu, 26,7 persen anak mengalami gizi kurang dan 35,2 persen anak mengalami gizi lebih yang ditandai dengan berat badan berlebih.
”Kondisi ini merupakan dampak dari rendahnya literasi gizi di masyarakat. Semua pihak perlu bekerja sama untuk meningkatkan pemahaman masyarakat guna memberikan makanan sesuai dengan kebutuhan gizi anak dan tidak memberikan makanan ataupun minuman yang berbahaya bagi tumbuh kembang anak,” ucap Arif.