Membangun Literasi Gizi Masyarakat
JAKARTA, KOMPAS – Literasi gizi yang minim menyebabkan kualitas gizi yang buruk di Indonesia. Masalah gizi yang dihadapi menjadi kompleks, mulai dari stunting atau kondisi kurang gizi kronis, obesitas, dan rendahnya pemberian ASI eksklusif. Untuk itu, literasi gizi yang utuh dibutuhkan agar masyarakat paham dengan kandungan nilai gizi yang dikonsumsi.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang menegaskan, konsumsi makanan dan perilaku sehat harus memperhatikan prinsip empat pilar, yaitu keberagaman pangan, perilaku hidup bersih, aktivitas fisik, dan memantau berat badan secara teratur untuk mempertahankan berat badan normal.
“Dari konsep gizi seimbang, prinsip empat sehat lima sempurna menjadi tidak relevan.Konsumsi makan sehari-hari harus mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan setiap orang. Asupan gizi ini, terdiri dari kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, serat dan air, serta vitamin dan mineral,” ujar Guru Besar Bidang Keamanan Pangan dan Gizi Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Ahmad Sulaeman di Jakarta, Jumat (12/10/2018).
Persoalan gizi di Indonesia, tambah Ahmad, merupakan suatu ironi karena Indonesia merupakan negara terkaya kedua di dunia dalam keanekaragaman hayati. Secara rinci, 77 jenis pangan sumber karbohidrat bisa ditemui di Indonesia, selain itu ada pula 75 jenis pangan sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan, 228 jenis sayuran, serta 389 jenis buah-buahan.
Menurutnya, permasalahan gizi masyarakat bukan disebabkan karena tidak mampu mendapatkan sumber pangan yang bergizi, tetapi karena tidak dapat memilih sumber pangan yang baik, serta mengolah dan menyajikannya dengan benar. “Masyarakat perlu disadarkan mengenai kekayaan pangan lokal kita yang kaya akan gizi,” kata Ahmad.
Ahli nutrisi Alvin Hartanto menambahkan, masyarakat juga perlu paham bahwa tidak ada jenis pangan yang mengandung semua jenis zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Untuk itu, memilih dan mengombinasikan aneka ragam sangat dibutuhkan.
Misalnya, nasi, singkong, dan sagu merupakan sumber utama energi, namun minim kandungan vitamin dan mineral. Sayuran dan buah-buahan umumnya kaya akan vitamin, mineral dan serat, tetapi sedikit mengandung energi dan protein. Ikan merupakan sumber protein yang baik, namun tidak dapat dijadikan sumber makanan utama.
“Jadi, prinsip variasi pangan menjadi penting,” ucap Alvin.
Ia menuturkan, setiap orang membutuhkan jumlah dan takaran asupan gizi yang berbeda. Dalam mengatur pola makan seimbang, seseorang perlu mengetahui batas kebutuhan kalori yang dibutuhkan. Secara mudah, batas kebutuhan kalori seseorang dengan barat badan normal per hari rata-rata 33 kali berat badan. Contoh, seseorang dengan berat badan 70 kilogram berarti membutuhkan kalori 2.300 kalori per hari.
Sinergis
Ahmad menilai, membangun literasi gizi yang baik pada masyarakat perlu upaya sinergis dari berbagai pihak. Utamanya, literasi gizi ini perlu dibangun di tingkat keluarga. Pengetahuan terkait gizi saja tidak cukup, tetapi memastikan pengetahuan tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sisi pendidikan, pemerintah telah mengintervensi melalui program gizi anak sekolah (Progas) yang sudah dimulai sejak 2015. Program ini meliputi bantuan sarapan, pendidikan gizi, dan pendidikan karakter di sekolah.
“Program ini harus dilakukan secara masif. Sejauh ini, Progas baru berjalan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Padahal masalah gizi tidak melihat letak geografis, tetapi lebih pada persepsi masyarakat. Buktinya, di perkotaan pun masih dijumpai gizi buruk,” kata Ahmad.
Menurutnya, peran PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) pun perlu ditingkatkan lagi. Peran ibu dinilai cukup besar untuk mengatur dan memengaruhi pola makan keluarga. Untuk itu, pendidikan dan penyuluhan terkait gizi seimbang dalam PKK bisa jadi salah satu cara untuk meningkatkan literasi gizi di masyarakat.