Investasi Rendah Karbon Perkotaan Dapat Turunkan 96 Persen Emisi pada 2050
Sejalan dengan kecenderungan migrasi penduduk dunia ke perkotaan, negara bisa melakukan investasi rendah karbon di perkotaan untuk mengatasi krisis iklim sekaligus mendapatkan keuntungan ekonomi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mengatasi krisis iklim sekaligus meningkatkan ekonomi dapat dilakukan sejumlah negara, termasuk Indonesia, dengan menerapkan investasi rendah karbon perkotaan. Dengan langkah ini, Indonesia berpeluang menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 96 persen dan memperoleh keuntungan ekonomi sebesar 2,7 triliun dollar Amerika Serikat pada 2050.
Hal tersebut terangkum dalam laporan ”Memanfaatkan Peluang Perkotaan” dari Koalisi untuk Transisi Perkotaan (Coalition for Urban Transition/ CUT) yang terbit pada pertengahan Maret 2021. Laporan ini dapat mengubah cara hidup masyarakat di perkotaan dan menekankan pentingnya berinvestasi untuk pemulihan ekonomi.
Kajian laporan ini berfokus pada enam negara, yakni China, India, Indonesia, Brasil, Meksiko, dan Afrika Selatan. Enam negara ini menjadi fokus kajian karena diproyeksikan akan menghasilkan sepertiga dari produk domestik bruto (PDB) global dan 41 persen emisi karbon dari penggunaan bahan bakar fosil. Keenam negara tersebut juga merupakan rumah bagi 42 persen populasi perkotaan dunia.
Laporan tersebut menyoroti berbagai peluang Indonesia untuk mengatasi krisis iklim sekaligus meningkatkan nilai ekonomi. Upaya yang dapat menjadi peluang Indonesia, antara lain, dengan berinvestasi pada mobilitas perkotaan yang berkelanjutan, seperti angkutan umum; meningkatkan infrastruktur untuk pejalan kaki dan pesepeda; serta melakukan pembangunan berorientasi transit.
Dalam membangun ketahanan iklim, kota-kota di Indonesia juga dapat meningkatkan restorasi ekosistem di dalam dan sekitar perkotaan, termasuk mangrove dan lahan gambut. Memperbaiki kualitas ekosistem pesisir juga bisa menjadi sumber mata pencarian, khususnya bagi masyarakat miskin.
Selain itu, upaya lain yang dapat dilakukan adalah mempercepat transisi menuju listrik bersih. Transisi energi sangat penting dilakukan karena lebih dari separuh potensi pengurangan emisi perkotaan yang diidentifikasi dalam analisis ini akan mengandalkan transisi tersebut.
Hasil kajian CUT menunjukkan bahwa Indonesia dapat mengurangi emisi GRK perkotaan sebesar 50 persen atau 253 megaton setara karbon dioksida (MtCO2e) pada 2030 dan 96 persen atau 790 MtCO2e pada 2050.
Terakhir, kota-kota di Indonesia dapat memanfaatkan gerakan kota cerdas (smart cities) untuk mendorong keberlanjutan, pembangunan ketahanan, dan inklusivitas. Gerakan ini akan lebih berpengaruh dengan partisipasi penuh dari semua pihak, tak terkecuali masyarakat berpenghasilan rendah. Pelibatan masyarakat dibutuhkan karena kota dengan jumlah penduduk kurang dari satu juta menyumbang 76 persen potensi pengurangan emisi.
Jika semua upaya tersebut dapat diterapkan, hasil kajian CUT menunjukkan bahwa Indonesia dapat mengurangi emisi gas rumah kaca perkotaan sebesar 50 persen atau 253 megaton setara karbon dioksida (MtCO2e) pada 2030 dan 96 persen atau 790 MtCO2e pada 2050. Jumlah ini akan lebih besar dibandingkan hanya mengacu pada skenario yang ditetapkan.
Pemodelan juga menunjukkan bahwa menerapkan skema ini akan memberikan imbal hasil bagi Indonesia dengan nilai bersih saat ini sebesar 2,7 triliun dollar AS. Selain itu, pendekatan ini dapat membuka 2,3 juta lapangan pekerjaan baru yang berkaitan dengan efisiensi energi dan instalasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap pada 2030.
Mempercepat transisi
Nirarta Samadhi, Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia, sebagai salah satu mitra utama CUT, mengungkapkan, laporan dari CUT memberikan beberapa rekomendasi penting bagi para pemerintah kota dalam mempercepat transisi menuju emisi bersih nol. Hal ini juga bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dan melindungi 60 juta penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir dataran rendah.
”Indonesia adalah negara kepulauan yang mengalami peningkatan urbanisasi yang pesat, sekitar 55 persen penduduknya tinggal di perkotaan dan memberikan kontribusi sebesar 60 persen dari PDB,” ujarnya, Senin (10/5/2021).
Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, mengatakan, laporan dari CUT akan mendukung visi Indonesia dalam jalur pertumbuhan ekonomi baru yang menjaga keseimbangan antara masyarakat, ekonomi, dan planet Bumi.
Ketua Kelompok Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Amina Mohammed menyatakan, laporan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah pusat dapat bekerja sama dengan pemerintah kota dalam memanfaatkan potensi besar perkotaan dan proses urbanisasi. Dukungan nasional yang lebih besar bagi aksi perkotaan sangat dibutuhkan untuk mengurangi polusi karbon dari sektor-sektor utama, seperti energi, transportasi, konstruksi, dan tata guna lahan.