Hati-hati, Varian Covid-19 India Terbukti Lebih Menular
Penyebaran varian virus SARS-CoV-2 dari India harus diwaspadai karena terbukti lebih menular dari virus SARS-CoV-2 awal. Kecepatan penularannya mirip dengan varian yang ditemukan pertama kali di Inggris.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Inggris telah menetapkan varian B.1.671.2 virus SARS-CoV-2 yang pertama kali ditemukan di India sebagai ”varian mengkhawatirkan” setelah terdapat bukti bahwa varian itu memiliki kemampuan lebih untuk menular. Sebelumnya, varian ini juga telah ditemukan di Indonesia dan dikhawatirkan sudah mengalami transmisi lokal sehingga kewaspadaan perlu ditingkatkan.
Dalam laporannya, Jumat (7/5/2021), Public Health England (PHE) menyebutkan, varian B.1.617.2 memiliki kecepatan transmisi setidaknya setara dengan varian B.1.1.7 yang pertama kali teridentifikasi di Inggris. Hal ini didasarkan atas peningkatan tajam jumlah kasus varian B.1.617.2 yang teridentifikasi, yaitu dari 202 menjadi 520 dalam sepekan terakhir. Laporan Konsorsium Covid-19 Genomics Inggris sebelumnya menyatakan, varian B.1.1.7 sekitar 70 persen lebih menular daripada versi awal SARS-CoV-2 yang ditemukan di Wuhan, China.
Karakteristik lain dari varian B.1.617.2, terutama menyangkut potensinya meningkatkan keparahan dan menurunkan efikasi vaksin, masih diselidiki. ”Saat ini tidak cukup bukti untuk menunjukkan bahwa salah satu varian yang baru-baru ini terdeteksi di India menyebabkan penyakit yang lebih parah atau membuat vaksin yang saat ini digunakan menjadi kurang efektif,” sebut PHE dalam pernyataan.
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics, Riza Arief Putranto, mengatakan, B.1.617.2 merupakan subvarian dari varian baru B.1.617 yang awalnya ditemukan di India. ”B.1.617 awalnya muncul pada Oktober 2020 di India saat kasusnya masih relatif terkendali di sana. Pada Desember 2020, muncul subvarian B.1.617.1 dan B.1617.2 hampir bersamaan. Bulan Februari muncul subvarian B.1.617.3,” katanya.
Menurut Riza, varian B.1.617.2 ternyata lebih cepat penyebarannya, termasuk juga yang saat ini menyebar luas di Inggris dan juga ditemukan di Indonesia. ”Yang ada di Indonesia B.1.617.2,” kata Riza.
Seharusnya karantina sesuai masa inkubasi sampai 14 hari. Indonesia harus melihat juga negara-negara lain yang karantinanya bisa 15 hari atau lebih. Sekali lagi, alasan ekonomi tidak boleh mengalahkan masalah kesehatan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, varian dari India ini pertama kali ditemukan dari spesimen pasien warga negara Indonesia di Jakarta yang diambil pada 3 April 2021. Pasien merupakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki riwayat perjalanan luar negeri. ”Ini merupakan kluster keluarga. Anak dan suaminya juga positif Covid-19 secara bersamaan,” katanya.
Menurut Nadia, tenaga kesehatan yang tertular varian dari India ini sudah mendapatkan vaksin. ”Walaupun tetap tertular varian dari India ini, gejalanya ringan dan cukup isolasi mandiri. Anak dan suaminya juga isolasi mandiri,” ujarnya.
Selain itu, satu warga negara India yang diambil sampelnya pada 22 April juga dipastikan tertular varian baru. Hingga saat ini pasien tersebut masih dirawat di RSPI Sulianti Saroso dengan kondisi stabil. Warga India ini merupakan bagian dari rombongan warga India yang datang beramai-ramai pada 10, 22, dan 23 April.
Adapun dua kasus varian baru dari India yang dilaporkan Dinas Kesehatan Provinsi Banten di Tangerang Selatan, menurut Nadia, diduga dari pengembangan kasus sebelumnya. ”Tetapi, hasil sekuennya yang di Tangerang Selatan masih belum keluar,” katanya.
Fenomena gunung es
Guru Besar dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam mengkhawatirkan, keberadaan varian baru dari India di Indonesia bisa menjadi fenomena gunung es. ”Jumlah kasus varian baru, termasuk varian dari India, masih rendah karena memang pemeriksaan sekuensing baru 7-8 kasus per 10.000 kasus Covid-19 positif. Hati-hati fenomena gunung es,” katanya.
Ari menyarankan, Indonesia harus memperkuat surveilans genomik untuk mengetahui sebaran varian baru dengan lebih baik. ”Sebelumnya ada nota kesepakatan antara Kemenkes dan Kemenristek tentang kerja sama sekuensing. Namun, setelah Kemenristek bubar, kelanjutan komitmen bersama juga menjadi pertanyaan,” ujarnya.
Menurut Ari, laboratorium di FKUI sebenarnya sudah bisa melakukan analisis sekuensing ini. ”Kapasitas belum optimal karena reagennya mahal. Kami baru dapat dana hibah dan akan meningkatkan kapasitas untuk sekuensing ini,” tambahnya.
Selain menguatkan surveilans genomik, menurut Ari, Indonesia juga harus memperketat pintu masuk dan karantina. Karantina lima hari yang saat ini diterapkan Pemerintah Indonesia terhadap pelaku perjalanan internasional tidak memadai. ”Seharusnya karantina sesuai masa inkubasi sampai 14 hari. Indonesia harus melihat juga negara-negara lain yang karantinanya bisa 15 hari atau lebih. Sekali lagi, alasan ekonomi tidak boleh mengalahkan masalah kesehatan,” katanya.
Menurut Ari, selain meningkatnya mobilitas warga, naiknya kasus Covid-19 di Indonesia kemungkinan juga dipengaruhi penyebaran varian baru ini. Berdasarkan Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, kasus harian Covid-19 di Indonesia bertambah 6.130 orang dan kasus aktif bertambah 457 orang sehingga total menjadi 99.003 orang.
Adapun korban jiwa bertambah 179 orang sehingga total menjadi 46.842 orang. Rasio tes positif atau positivity rate harian mencapai 13,71 persen, lebih tinggi dari rata-rata mingguan sebesar 11,81 persen.