Penanganan kasus pembalakan liar masih belum optimal. Hal itu disebabkan sejumlah tantangan yang dihadapi, terutama waktu penyidikan terbatas dan banyaknya proses peradilan khusus.
Oleh
Pradipta Pandu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembalakan liar menjadi kasus yang paling banyak ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama enam tahun terakhir. Namun, penanganan kasus masih menemui sejumlah kendala, mulai dari terbatasnya waktu penyidikan hingga banyaknya proses peradilan khusus.
Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yazid Nurhuda mengatakan, pembalakan liar merupakan kasus tertinggi yang ditangani Ditjen Penegakan Hukum KLHK selama periode 2015-2021. Kasus pembalakan liar ini lebih tinggi dibandingkan dengan kejahatan lain, seperti kerusakan lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, perambahan hutan, pencemaran, serta tumbuhan dan satwa liar.
Ditjen Gakum mencatat, sejak Januari hingga April 2021 sebanyak 30 kasus pembalakan liar di sejumlah wilayah telah ditangani. Sementara tahun lalu, pembalakan liar yang ditangani mencapai 124 kasus. Adapun total kasus yang ditangani dari 2015-2020 sebanyak 497 kasus.
”Hasil operasi kayu tahun 2018-2020 sudah diamankan 418 kontainer atau 7.239 meter kubik kayu merbau dari Papua dan sebagian kecil Maluku. Sebanyak 13 berkas perkara sudah mendapatkan putusan pengadilan dan dua berkas masih dalam proses,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Mampukah Sistem Peradilan Indonesia Menghukum Para Mafia Kayu?”, di Jakarta, Selasa (27/4/2021).
Yazid menyatakan, KLHK memiliki tim polisi hutan yang ditugaskan untuk melakukan operasi dan penangkapan pelaku pembalakan liar. Operasi tersebut bisa dilakukan di kawasan hutan ataupun saat perjalanan pengiriman kayu melalui darat atau laut.
Tiga aturan
Menurut Yazid, saat ini terdapat tiga aturan sebagai dasar kewenangan penyidikan pembalakan liar yang dilakukan KLHK. Tiga aturan tersebut meliputi Undang Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Secara umum UU Cipta Kerja menerapkan asas ultimum remedium. Artinya, hukum pidana menjadi upaya atau sanksi terakhir sebelum dilakukan sanksi administratif. Khusus untuk kejahatan di bidang kehutanan baik pembalakan liar atau perambahan hutan yang berdampak pada lingkungan bisa langsung ditegakan hukum pidana.
”Jadi, berbeda dengan UU Lingkungan Hidup, UU Cipta Kerja tidak secara spesifik mengubah norma penegakan hukum pidana terkait penyidikan terhadap delik pembalakan liar. Subyek hukum dalam pembalakan liar yang kami tangani ada perseorangan, korporasi, dan kelompok masyarakat,” tuturnya.
Namun, ia mengakui proses penyidikan masih menemui sejumlah kendala, khususnya terkait ketentuan dalam Pasal 39 UU 18/2013. Pasal tersebut menyatakan, penyidik wajib menyelesaikan dan menyampaikan berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 60 hari sejak dimulainya penyididkan serta dapat diperpanjang maksimal 30 hari. Akan tetapi dalam praktiknya, tidak semua perkara bisa dilanjutkan.
”Kendala lainnya ada pada proses pembuktian khususnya lacak balak karena setiap pembalakan liar seringkali jaksa menyampaikan harus ditemukan tonggak kayu yang dipotong di kawasan hutan. Ini juga memerlukan upaya tersendiri, sementara jangka waktu penyidikan dibatasi 90 hari,” ungkapnya.
Kendala peradilan khusus
Asisten Khusus Jaksa Agung Kejaksaan Agung Narendra Jatna memandang, penanganan kasus pembalakan liar perlu diseragamkan dengan kejahatan finansial. Sebab, kayu harus dipandang sebagai komoditas sehingga penanganan kasusnya pun harus dibedakan. Namun, kendala penanganan kasus ini yaitu banyaknya peradilan khusus di Indonesia.
Subyek hukum dalam pembalakan liar yang kami tangani ada perseorangan, korporasi, dan kelompok masyarakat.
”Bisa saja dalam kasus pembalakan liar ada suap kepada pejabat yang bisa digolongkan sebagai tindak pidana korupsi atau menggelapkan pajak. Adanya sifat pengadilan khusus ini membuat seluruh kasus pembalakan liar tidak bisa disidangkan secara bersamaan. Padahal, dalam sudut pandang jaksa dimungkinkan kasus ini dikumulasikan,” tuturnya.
Di sisi lain, kata Jatna, adanya penyidikan yang berbeda dalam satu kasus pembalakan liar juga mempersulit upaya penuntutan. ”Perlu kita pikirkan bersama tentang tidak terintegrasinya para penyidik dalam menangani kasus pembalakan liar,” ucapnya.
Asisten Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung (MA) Edi Wbowo mengatakan, dalam menangani kasus pembalakan liar, MA telah menerbitkan Surat Edaran 1/2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan. Surat tersebut berisi imbauan kepada hakim agar pelaku pembalakan liar yang terbukti bersalah dapat diberikan hukuman berat yang setimpal dengan sifat tindak pidana.
Kemudian, terdapat penegasan bahwa sesuai Pasal 78 Ayat 5 UU Kehutanan, semua hasil hutan dari kejahatan dan pelanggaran atau alat-alat angkutnya dirampas untuk negara. ”Ini menjadi imbauan keras dari Mahkamah Agung kepada para hakim se-Indonesia. Saat ini banyak perkara yang sudah mengikuti imbauan ini,” ujarnya.