23 Kabupaten/Kota di Indonesia Masih Endemis Tinggi Malaria
Sejumlah 80 persen dari total kasus malaria di Indonesia berada di Provinsi Papua. Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, ada 196 kabupaten/kota yang belum terbebas dari malaria dengan 23 kabupaten/kota endemis tinggi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia telah menargetkan bisa terbebas dari penularan malaria pada 2030. Meski begitu, berbagai tantangan masih dihadapi untuk mencapai target tersebut, khususnya di wilayah endemis tinggi malaria. Tantangan itu terutama pada kemampuan sosialisasi dan advokasi masyarakat akan bahaya malaria.
Data tren kasus malaria yang dilaporkan Kementerian Kesehatan sejak 2010-2020 mengalami penurunan. Namun, selama tujuh tahun terakhir, jumlah kasus relatif stagnan. Pada 2010, jumlah kasus yang terlaporkan 465.764 kasus dan menurun menjadi 235.780 kasus pada 2020. Namun, mulai 2014 sampai 2020, tidak ada penurunan yang signifikan dari kasus yang dilaporkan.
Dari data yang tercatat, 80 persen dari total kasus di Indonesia berada di Provinsi Papua. Selain itu, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia masih ada 196 kabupanten/kota yang belum terbebas dari malaria dengan 23 kabupaten/kota di antaranya merupakan wilayah endemis tinggi malaria.
Bahkan, tiga provinsi belum ada wilayah kabupaten/kotanya yang mencapai eliminasi atau bebas dari malaria, yakni Maluku, Papua, dan Papua Barat. Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Maluku menjadi provinsi pertama di kawasan timur Indonesia yang wilayahnya mencapai eliminasi malaria pada tahun 2020.
”Di wilayah endemis, masyarakat masih menganggap malaria sebagai penyakit yang biasa sehingga dinilai tidak perlu diwaspadai. Karena itu, kita perlu lebih kuat lagi memberi informasi kepada masyarakat bahwa malaria bisa dicegah dan jika tidak diobati bisa menyebabkan kematian,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan, Didik Budijanto di Jakarta, Jumat (23/4/2021).
Malaria bisa dicegah dan jika tidak diobati bisa menyebabkan kematian.
Ia mengatakan, sejumlah upaya spesifik pun dilakukan untuk menanganai persoalan penularan maria di wilayah endemis tinggi. Itu antara lain, meningkatkan upaya pengendalian vektor, penemuan kasus baru, pembagian kelambu secara masif, dan penyemprotan di sekitar wilayah tempat tinggal warga. Seluruh upaya ini harus tetap dijalankan selama pandemi Covid-19 dengan tetap memerhatikan protokol kesehatan.
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit Plasmodium sp. Gejala yang ditimbulkan seperti demam, mual dan muntah, menggigil, lelah, dan sakit kepala. Pada kasus yang parah, kulit bisa menjadi kekuningan. Diagnosis malaria bisa ditegakkan melalui hasil pemeriksaan mikroskop ataupun tes diagnosis cepat (RDT).
Didik mengatakan, pelayanan malaria harus tetap berjalan di tengah situasi pandemi Covid-19. Manajemen program malaria selama pandemi Covid-19 juga telah disiapkan , tertutama untuk memastikan obat dan logistik malaria di setiap layanan kesehatan tetap tersedia. Selain itu, petugas dinas kesehatan di setiap wilayah wajib memantau dan mengantisipasi layanan malaria saat diberlakukannya pembatasan sosial.
Strategi komunikasi dan promosi kesehatan pun tetap dilakukan untuk mencegah peningkatkan morbiditas danmortalitas dalam situasi pandemi. Pemanfaatan media potensial juga dimanfaatkan agar sosialisasi tetap berjalan.
Kepala Dinas Kesehatan, Kependudukan, dan Pencatatan Sipil Provinsi Nusa Tenggara Timur Messerassi B V Ataupah mengatakan, komitmen pemerintah daerah sangat berpengaruh pada upaya penanganan malaria di NTT. Saat ini, tiga kabupaten/kota di NTT sudah mencapai eliminasi malaria, yaitu Kabupaten Manggarai, Kota Kupang, dan Kabupaten Manggarai Timur. Sementara kabupaten endemis tinggi malaria masih terpusat di wilayah Pulau Sumba.
”Yang paling susah dari semua tantangan yang dihadapi yakni kemampuan sosialisasi dan advokasi terhadap pejabat di daerah lainnya. Karena itu, pendekatan harus dilakukan bersama oleh seluruh pemangku kepentingan agar timbul kesadaran bersama untuk mengatasi persoalan malaria,” katanya.
Menurut Messerassi, apabila setiap kepala daerah di kabupaten/kota memiliki komitmen yang tinggi, penanganan malaria bisa lebih optimal dilakukan. Sejumlah inovasi pun sudah dijalankan, misalnya dengan menyediakan aplikasi pemetaan mandiri basis data mikroskopis malaria di Provinsi NTT. Lewat aplikasi ini, tenaga kesehatan menjadi lebih mudah mendata kasus yang ditemukan.
”Selain terus menurunkan kasus malaria, kita juga harus berupaya untuk mempertahankan wilayah yang sudah terbebas dari malaria. Kondisi pandemi Covid-19 juga adanya bencana menjadi tantangan baru yang kita hadapi. Belum lagi tenaga entomolog yang sangat terbatas. Kita hanya memiliki satu tenaga entomolog, itu pun akan pindah dalam waktu dekat ini,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menambahkan, keterlibatan sektor swasta amat dibutuhkan untuk mendukung upaya penanggulangan malaria. Selain melalui dukungan sumber daya dalam program tanggung jawab sosial (CSR), pengendalian tempat pengembangbiakan nyamuk penyebab malaria juga perlu diperhatikan. Nyamuk penyebab malaria banyak ditemukan di lahan tambang yang terbengkalai ataupun perkebunan yang sering ditemui genangan air.
Pemerintah pun telah menargetkan semakin banyak wilayah yang bisa terbebas dari malaria. ”Pada 2021 ini, ditargetkan 345 kabupaten/kota bisa mencapai eliminasi malaria. Kami harap dukungan penuh dari lintas sektor karena target ini tidak akan tercapai jika dilakukan oleh sektor kesehatan saja,” katanya.