Perusahaan Dituntut Meningkatkan Tanggung Jawab Ekologi dan Sosial
Pelaku usaha berkepentingan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan sosial yang bersentuhan dengan kegiatna bisnisnya. Karena itu, pelaku usaha perlu mengedepankan tanggung jawab sosial dan ekologi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setiap perusahaan dituntut agar tidak hanya mengedepankan sisi ekonomi atau finansial dalam menjalankan usahanya, tetapi juga memiliki tanggung jawab ekologi dan sosial. Melalui skema penciptaan nilai bersama atau creating shared value, pemahaman dunia usaha terhadap pembangunan berkelanjutan diharapkan bisa meningkat.
Anggota dewan pembina Yayasan Kehati, Erna Witoelar, mengemukakan, selema lebih dari 20 tahun, Yayasan Kehati telah mendorong berkembangnya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di Indonesia. Salah satu perkembangan itu adalah agar korporasi menjalin kerja sama kemitraan dengan lembaga nonprovit dalam pelestarian keanekaragaman hayati melalui skema pendanaan CSR.
”Sebelumnya Indonesia Widlife Fund yang diprakarsai Sultan Hamengkubuwono IX dan dana mitra lingkungan yang diprakarsai Emil Salim serta Walhi merupakan pionir bagi keterlibatan dunia usaha dalam upaya konservasi dan pelestarian lingkungan hidup. Kerja sama langsung antara korporasi dengan LSM (lembaga swadaya masyarakat) saat itu masih sangat langka,” ujarnya dalam webinar dan peluncuran buku Creating Shared Value (CSV), Paradigma Baru Penerapan CSR, Rabu (7/4/2021).
Melalui pengembangan kemitraan CSR ini, Erna memandang terjadi peningkatan pemahaman dunia usaha terhadap pembangunan berkelanjutan. Sementara bagi LSM, dirasakan ada manfaat dalam proses dialog dengan korporasi di bidang sosial dan lingkungan hidup untuk memberdayakan masyarakat.
Erna mengatakan, paradigma baru dengan skema penciptaan nilai bersama (CSV) sangat relevan bagi kondisi Indonesia saat ini ataupun beberapa tahun ke depan apabila dilakukan dengan benar dan baik. Sebab, CSV antara korporasi, LSM, dan masyarakat penerima manfaat akan menghasilkan program pembangunan yang mampu mengatasi persoalan di tengah masyarakat.
Menurut Erna, perusahaan dengan mitra-mitranya perlu menjaga adanya tata kelola yang baik dengan proses membangun kepercayaan dan manfaat bersama lebih inklusif, transparan, dan menjaga akuntabilitas. Kemitraan akan lebih realistis jika didasari tujuan pembangunan berkelanjutan sebagai nilai dan tujuan bersama.
”Banyak proses amal dan filantropi yang perlu terus dilakukan untuk mengatasi masalah jangka pendek, seperti bencana alam dan kemiskinan mendadak. Korporasi dan LSM didorong untuk melakukan investasi sosial pascabencana di daerah rawan bencana agar dampaknya tidak semakin membesar pada masa depan,” ucapnya.
Pakar tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) sekaligus penulis buku CSV, Mas Achmad Daniri, mengatakan, CSV merupakan pendekatan strategis untuk memastikan kesinambungan bisnis bersinergi dengan pemangku kepentingan.
”Untuk memastikan tercapainya kinerja yang berkesinambungan, perusahaan berkepentingan meningkatkan kualitas sosial dan lingkungan yang bersentuhan dengan kegiatan bisnisnya. CSV dapat menjadi strategi yang sifatnya di luar aturan dan regulasi perusahaan untuk mendapatkan nilai tambah dari bisnisnya,” ucapnya.
Untuk memastikan tercapainya kinerja yang berkesinambungan, perusahaan berkepentingan meningkatkan kualitas sosial dan lingkungan yang bersentuhan dengan kegiatan bisnisnya.
Selain itu, CSV memberikan manfaat bagi perusahaan dan masyarakat, membangun keunggulan kompetitif, menciptakan inovasi yang menghasilkan efisiensi, dan mewujudkan strategi yang selaras dengan bisnis.
”Membangun CSR dengan pendekatan CSV diharapkan dapat menciptakan multimanfaat untuk multi-stakeholder. Jadi, tinggal dicari bagaimana memaksimalkan keuntungan untuk perusahaan, stakeholder, ataupun masyarakat. Dengan kata lain, CSV berarti menciptakan peluang bersama,” ujarnya.