Pedoman Penilaian Obat Berbasis Sel Manusia Diterbitkan
Proses hilirisasi hasil riset terkait obat berbasis sel manusia menghadapi sejumlah tantangan, termasuk rumitnya birokrasi. Untuk memudahkan komersialisasi riset, pedoman penilaian obat berbasis sel manusia diterbitkan.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Badan Pengawas Obat dan Makanan telah menerbitkan pedoman penilaian obat berbasis sel manusia sebagai panduan pengembangan obat tersebut. Pedoman ini diharapkan mempermudah hilirisasi hasil riset dan meningkatkan kemandirian obat berbasis sel manusia di Indonesia.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengawasan Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Rita Endang, di Jakarta, Kamis (18/3/2021), menyampaikan, inovasi terkait obat berbasis sel manusia seperti sel punca berkembang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Terapi dengan obat berbasis sel manusia disebut sebagai harapan untuk menjawab pengobatan berbagai penyakit tidak menular yang sulit disembuhkan.
“ Pengembangan obat ini diproyeksi bisa sampai tahap komersialisasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Karena itu, disinilah peran Badan POM untuk mengawal proses penelitian dan pengembangan obat berbasis sel manusia ini. Mulai dari hulu hingga hilir, perlu dilakukan pendampingan agar hasilnya terjamin,” ucapnya.
Rita menambahkan, pedoman penilaian obat berbasis sel manusia yang diatur dalam Peraturan Badan POM Nomor 18 Tahun 2020 disusun dengan merujuk pada pedoman internasional yang sudah dipublikasikan. Pedoman ini disiapkan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat mengakomodasi kondisi terbaru.
Direktur Standardisasi Obat dan Napza Badan POM Togi J Hutadjulu menuturkan, Peraturan Badan POM Nomor 18/2021 meliputi pedoman terkait analis risiko dari obat berbasis sel manusia, aspek mutu dan proses pembuatan obat, pengembangan nonklinik, pengembangan klinik, dan farmakovigilans dan rencana manajemen risiko. Dengan begitu, aturan ini dapat menjadi dasar untuk pelaksanaan evaluasi dan penilaiaan obat berbasis sel manusia.
Pengembangan obat ini diproyeksi bisa sampai tahap komersialisasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Berdasarkan definisinya, obat berbasis sel manusia merupakan obat yang berasal dari sel somatik atau produk rekayasa dari jaringan manusia. Produk ini terdiri dari produk obat terapi sel somatik seperti sel punca dan produk rekayasa jaringan.
“Penyusunan pedoman penilaian obat berbasis sel manusia merupakan salah satu upaya BPOM meningkatkan pengawasan obat berbasis sel manusia. Dengan adanya pedoman ini diharapkan mempermudah hilirisasi hasil riset serta meningkatkan kemandirian obat berbasis sel manusia di Indonesia,” kata Togi.
Kepala Instalasi Pelayanan Terpadu Teknologi Kedokteran Sel Punca RSUPN dr Cipto Mangunkusumo yang juga Ketua Dewan Ilmiah Asosiasi Sel Punca Indonesia, Ismail H Dilogo mengatakan, penelitian terkait sel punca mulai berkembang di Indonesia. Bahkan, terapi berbasis riset dari sel punca sudah dimanfaatkan.
Pengembangan sel punca
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 32/2014 tentang Penetapan Rumah Sakit Pusat Pengembangan Pelayanan Medis, Penelitian, dan Pendidikan Bank Jaringan dan Sel Punca, ada dua rumah sakit sebagai pusat pengembangan sel punca, yakni RS Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RSUD dr Soetomo Surabaya. Selain itu, ada sembilan rumah sakit lain yang ditetapkan sebagai rumah sakit jejaring dalam pengembangan sel punca.
Sejumlah uji klinis pemanfaatan sel punca telah dilakukan di Indonesia selama masa pandemi ini Uji klinis tersebut seperti, aplikasi sel punca sebagai terapi adjuvan pada pasien pneumonia Covid-19 kritis, pasien osteoporosis, pasien nyeri punggung akibat degenerasi diskus intervertebralis, serta pada pasien dengan penyakit otak dan saraf.
Ismail menuturkan, obat berbasis sel manusia harus dikembangkan. Dengan besarnya jumlah penduduk serta banyaknya persoalan kesehatan yang dimiliki, obat berbasis sel manusia menjadi harapan yang bisa dimanfaatkan. Namun sejumlah kendala perlu diatasi antara lain, dana penelitian yang terbatas, birokrasi terlalu panjang, serta perlunya dukungan industri untuk hilirisasi.
“ Optimalisasi pemanfaatan teknologi dalam pembuatan obat berbasis sel punca bisa dilakukan juga melalui dukungan pengadaan fasilitas produksi yang memadai, dana penelitian yang mencukupi, sumber daya manusia yang andal, serta regulasi yang lebih sederhana,” tuturnya.