Penurunan Kasus Kematian Jadi Tantangan Terbesar Penanganan Pandemi
Angka kasus kematian akibat Covid-19 di Indonesia masih tinggi. Untuk menekan angka kasus kematian, selain penerapan protokol kesehatan, pemeriksaan dan pelacakan kasus terkait penyakit itu juga mesti diperkuat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satu tahun penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia memberikan pelajaran besar akan pentingnya memiliki sumber daya kesehatan yang mumpuni, dari sisi kualitas dan kuantitas. Meski berbagai perbaikan berhasil dilakukan, sejumlah tantangan masih dihadapi, terutama tingginya kasus kematian akibat Covid-19.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 sekaligus Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menuturkan, tantangan terbesar penanganan pandemi saat ini yaitu kasus kematian tinggi. Angka kematian di Indonesia lebih tinggi 0,48 persen daripada angka rata-rata kematian global. Secara akumulatif, tingkat kematian di Indonesia 2,7 persen.
”Setelah pembatasan kegiatan masyarakat, khususnya dengan skala mikro, kasus aktif kita mulai menurun. Namun, masalah tersisa adalah pada angka kematian. Beberapa provinsi menjadi penyumbang kematian tertinggi di Indonesia, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta,” tuturnya dalam Rapat Koordinasi Nasional BNPB, di Jakarta, Selasa (9/3/2021).
Menurut Doni, setiap orang harus lebih sadar akan faktor risiko yang dimiliki. Apabila seseorang mengetahui dirinya termasuk kelompok rentan, kewaspadaan akan penularan Covid-19 akan meningkat. Jika melihat kasus kematian di Jawa Timur, kasus terbanyak ditemukan pada orang dengan komorbid, seperti gangguan ginjal, jantung, hipertensi, dan diabetes.
Laporan harian Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat, per 9 Maret 2021 terdapat 6.389 kasus baru terkonfirmasi positif Covid-19 dengan 210 orang meninggal. Dengan penambahan ini, total kasus positif menjadi 1.392.945 orang dengan 37.757 kematian.
Pelacakan kasus
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyampaikan, upaya untuk meningkatkan pelacakan pada kontak erat serta pemeriksaan kasus terkait Covid-19 menjadi salah satu cara menekan angka kematian akibat penyakit yang disebabkan SARS-CoV-2 itu.
Setelah pembatasan kegiatan masyarakat, khususnya dengan skala mikro, kasus aktif kita mulai menurun. Namun, masalah tersisa adalah pada angka kematian.
Melalui pemeriksaan secara masif, kasus positif diharapkan lebih cepat ditemukan. Dengan begitu, perawatan juga bisa segera diberikan sehingga mencegah terjadinya perburukan.
”Kita harus melakukan pemeriksaan lebih masif lagi. Begitu pula dengan pelacakan. Kita saat ini belum bisa mencapai rasio yang direkomendasikan WHO sekitar 30 orang. Itu lebih bagus karena nanti kasus yang datang ke rumah sakit dalam stadium dini yang bisa diobati dan mencegah kematian,” katanya.
Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, rasio kontak erat yang dilacak dari setiap kasus aktif di Indonesia justru menurun. Pada Minggu ketiga Februari 2021, rata-rata orang yang dilacak 5,2 orang. Rasio itu menurun pada minggu keempat Februari menjadi 4,8 orang dan minggu pertama Maret menjadi 4,1 orang.
Dante menuturkan, intervensi untuk meningkatkan pelacakan kasus melalui pemberdayaan tenaga babinsa dan babinkamtibmas. Ditargetkan, ada sekitar 80.000 tenaga pelacak yang berasal dari babinsa dan babinkamtibmas tersebut.
Saat ini, jumlah tenaga kesehatan di puskesmas yang bertugas menjadi tenaga pelacak hanya sekitar 6.000 orang. Jumlah itu amat jauh dari total tenaga pelacak yang dibutuhkan. Upaya memasifkan tes usap antigen untuk mendeteksi penularan Covid-19 diharapkan mengoptimalkan pemeriksaan di masyarakat.
”Pengelolaan dan pengobatan Covid-19 semakin lama makin lebih baik. Kita sudah memberikan buku petunjuk penatalaksanaan Covid-19 ke seluruh dokter sehingga mereka punya standar prosedur penanganan sama. Selain itu, distribusi obat lebih merata. Perbaikan ini juga untuk menekan kasus kematian,” ucap Dante.
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, strategi yang terus digunakan dalam pengendalian pandemi adalah penerapan disiplin masyarakat dalam 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak).
Hal itu diiringi dengan penguatan 3T (testing, tracing, dan treatment) atau pemeriksaan, pelacakan, dan penanganan, serta vaksinasi. Khusus untuk vaksinasi, pemerintah juga berupaya menjangkau lebih banyak masyarakat yang mendapatkan vaksinasi Covid-19.
Sebanyak 181,5 juta penduduk di Indonesia ditagetkan sebagai sasaran penerima vaksinasi Covid-19. Pada gelombang pertama vaksinasi, prioritas diberikan kepada petugas kesehatan, petugas layanan publik, dan warga lanjut usia (lansia).
Per 8 Maret 2021, jumlah petugas kesehatan yang mendapatkan vaksinasi dengan dosis pertama 2,1 juta orang, petugas publik 715.767 orang, dan warga lansia 267.603 orang. Sementara untuk dosis kedua telah diberikan kepada 1,1 juta petugas kesehatan, 8.880 petugas layanan publik, dan 5 warga lansia.
”Rata-rata jumlah orang yang divaksinasi per hari masih sekitar 160.000 orang. Target berikutnya dinaikkan menjadi 500.000 orang dan berikutnya sampai 1 juta per orang per hari. Tentu itu harus seimbang antara kesiapan vaksinator dan ketersediaan vaksin,” kata Airlangga.
Doni menambahkan, penanganan pandemi perlu disiapkan dalam waktu panjang. Pandemi bisa saja kembali terjadi pada 5-30 tahun mendatang. Koordinasi antar-kelembagaan selama ini menjadi tantangan dalam pengelolaan pandemi. Ego sektoral di setiap lembaga pun masih tinggi.
”Saya kira kita perlu memikirkan Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan bisa disempurnakan. Mari kita semua memberikan masukan kepada pihak yang berwenang untuk merevisi Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan tersebut. Jangan sampai di masa datang kita masih gagap,” tuturnya.