Di tengah keterbatasan pasokan vaksin Covid-19, rencana pengadaan vaksin secara mandiri dikhawatirkan menghambat pelaksanaan vaksinasi program pemerintah. Sebab, infrastruktur kesehatan di Indonesia terbatas.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Upaya memenuhi target cakupan vaksinasi dalam waktu satu tahun bakal terhambat soal ketersediaan pasokan dan pengirimannya ke Indonesia. Di tengah keterbatasan pasokan ini, keberadaan vaksin mandiri dikhawatirkan bakal mengacaukan program vaksinasi gratis untuk masyarakat.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, dalam diskusi daring, di Jakarta, pada Kamis (18/2/2021) mengatakan, sudah ada 1.161.088 orang yang menjalani vaksinasi tahap pertama atau 79 persen cakupan dan 613.646 orang yang mendapatkan suntikan kedua atau 41,7 persen target cakupan.
Terkait order pengadaan vaksin Covid-19 untuk 122.504.000 dosis dari Sinovac yang semula dijadwalkan akan tersedia pada Januari 2022 bisa dipercepat pada Desember 2021. Untuk 50 juta vaksin Novavax baru bisa diterima pada bulan Juni 2021.
Sementara vaksin Covid-19 dari skema multilateral Covax semula diperkirakan akan tiba sekitar bulan April 2021. Fasilitas Covax merupakan program bersama untuk mendukung akses penanggulangan Covid-19 melibatkan Aliansi Global untuk Vaksin (GAVI), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Koalisi Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI).
Menurut informasi terbaru, pasokan vaksin dari Covax dapat diterima di akhir Februari atau Maret 2021. "Dengan jumlah dosis antara 2,5 juta sampai 5 juta dosis masih proses negosiasi untuk pengiriman tahap pertama ini," jelasnya.
Adapun vaksin Covid-19 buatan Astrazeneca, walaupun sudah ada kepastian pasokan, tetapi baru akan dikirim Juli 2021. "Sesuai ketersediaan vaksin, ada dua periode pemberian vaksinasi yang pertama yakni untuk tenaga kesehatan bersama lansia serta petugas pelayanan publik dan masyarakat umum," tuturnya.
Nadia menjelaskan, kita masih memiliki pekerjaan rumah karena ada 81 juta dosis vaksin yang dijadwalkan baru akan tiba di Indonesia pada trimester kedua tahun 2022. "Kita masih punya pekerjaan rumah ini, namun sebisa mungkin kita geser (kedatangannya) sampai dengan Desember 2021," katanya.
Kita masih memiliki pekerjaan rumah karena ada 81 juta dosis vaksin yang dijadwalkan baru akan tiba di Indonesia pada trimester kedua tahun 2022.
Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/12758/ 2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19, terdapat tujuh jenis vaksin Covid-19 yang digunakan di Indonesia, yakni vaksin produksi Bio Farma, AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, Novavax Inc, Pfizer Inc and BioNtech, dan Sinovac Biotech.
Ketidakadilan akses
Dengan ketersediaan vaksin yang terbatas ini, sosiolog bencana Indonesia yang mengajar di Nanyang Technological University, Singapura, Sulfikar Amir mengatakan, rencana vaksin mandiri atau sekarang dinamakan vaksin gotong-royong dikhawatirkan mengganggu program vaksinasi gratis untuk masyarakat.
Bersama dengan peneliti kesehatan publik dari LaporCovid-19 Irma Hidayana dan epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono, Sulfikar mengeluarkan petisi "Vaksin untuk Semua" yang menggalang penolakan terhadap vaksin mandiri ini.
" Walaupun pemerintah mengatakan vaksin mandiri tidak akan mengganggu vaksin gratis yang diadakan pemerintah karena yang akan dipesan mungkin merek lain, tapi secara infrastruktur, itu akan mengacaukan. Belum lagi soal pendataannya," ujar Sulfikar.
Menurut Sulfikar, semua sumber daya vaksinasi di Indonesia seharusnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan vaksinasi kelompok prioritas sesegera mungkin. Apalagi, jika program vaksinasi mandiri itu ternyata mengambil jatah vaksin yang dipesan pemerintah, yakni AstraZeneca dan Covax.
Irma mengatakan, selain berpotensi menimbulkan ketidakadilan akses terhadap kesehatan publik, penunjukan langsung badan usaha dalam pengadaan vaksin dikhawatirkan memicu bias kepentingan, bahkan korupsi.
" Ada amandemen Peraturan Presiden, persyaratan badan usaha yang boleh memasok vaksin tidak perlu memiliki jejak rekam pengadaan obat dan vaksin. Ini sarat dengan penyalahgunaan wewenang. Di China vaksin mandiri memunculkan vaksin palsu," ujarnya.
Nadia mengatakan, vaksin gotong royong (mandiri) jenisnya harus berbeda dari alokasi yang sudah ditentukan pemerintah. Dia menambahkan, teknis pelaksanaan vaksinasi mandiri tak akan mengganggu program vaksinasi pemerintah.
Dari sekitar 12.000 fasilitas klinik, hanya 4.000 unit yang saat ini tercatat difungsikan sebagai tempat vaksinasi pemerintah."Masih ada peluang untuk dilakukan di luar yang dipakai pemerintah," ujarnya.
Menurut Nadia, vaksin gotong-royong ini dialokasikan sekitar 2 juta dengan prioritas pekerja sektor padat karya. "Saya rasa jumlahnya juga tidak akan sebesar target pemerintah 181,5 juta. Swasta (mandiri) itu cakupannya kemungkinan tidak akan lebih dua juta orang," katanya.
Sementara itu, Koordinator Penilaian Uji Klinik Obat Badan Pengawas Obat dan Makanan Siti Asfijah mengatakan, vaksin gotong-royong yang akan didatangkan perusahaan juga harus mengikuti prosedur yang sama sebelum mendapatkan izin penggunaan darurat.
"Kalau badan usaha yang ditunjuk pemerintah untuk penyaluran vaksin, harus tetap menggandeng industri farmasi, sudah jelas yang ditunjuk adalah Biofarma," ungkapnya.