Pembatasan Kegiatan Masyarakat Tidak Efektif Kendalikan Pandemi
Pembatasan kegiatan masyarakat dinilai belum efektif memutus rantai penularan Covid-19 yang telanjur tinggi. Butuh penerapan protokol kesehatan lebih ketat disertai peningkatan tes, pelacakan, dan isolasi kasus.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat sejak 11 Januari 2021 telah menurunkan mobilitas dan penambahan kasus, tetapi tidak efektif memutus rantai penularan yang telanjur tinggi. Pembatasan dan penerapan protokol kesehatan lebih ketat dibutuhkan, diikuti pelaksanaan tes, lacak, dan isolasi lebih agresif untuk mengendalikan wabah.
Pembukaan pembatasan yang lebih dini juga berisiko memicu ledakan wabah lebih besar ke depan. Hal ini karena penularan Covid-19 di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, sudah berada di tingkat komunitas terkecil. Tanpa ada pencegahan dini dan pembatasan mobilitas antarwilayah, kasus daerah di luar Jawa dan Bali juga terus membesar.
Demikian rangkuman diskusi dengan sejumlah epidemiolog dari tiga institusi berbeda, yang mengevaluasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), Jumat (5/2/2021) dan Minggu (7/2/2021).
”Data Mahadata UI menunjukkan penurunan pergerakan mobilitas penduduk di Jawa-Bali selama PPKM dan mulai terlihat penurunan jumlah kasus. Namun, penurunan kasus ini lebih kecil dibandingkan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) pada Maret 2020 sehingga sulit jika diharapkan untuk melandaikan kurva,” kata epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Iwan Ariawan.
Iwan menambahkan, tren penurunan kasus selama PPKM ini juga belum sepenuhnya bisa jadi patokan karena kapasitas dan cakupan tes belum stabil. ”Jumlah orang yang diperiksa masih naik-turun. Kalau tesnya kecil, kasusnya bisa turun,” katanya.
Menurut Iwan, sekalipun pasti ada manfaatnya, harus diakui bahwa PPKM lebih kurang efektif menurunkan kasus dibandingkan dengan PSBB. Hal ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya PPKM lebih longgar dengan sanksi yang juga tidak tegas, padahal kasus penularan telanjur tinggi dan terjadi di tingkat komunitas terkecil, termasuk di keluarga.
”Jadi, kalau sekarang hanya membatasi pergerakan di mal, kantor, atau tempat umum, tidak seefektif dulu. Orang keluar rumah saja sekarang bisa tertular,” kata Iwan.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, tingginya penularan Covid-19 di Indonesia saat ini bisa dilihat dari rata-rata rasio tes positif (test positivity rate) sepekan terakhir mencapai 27,9 persen. Dengan angka ini, artinya rata-rata dari 3 sampai 4 orang yang diperiksa, terdapat 1 kasus positif.
Kalau sekarang hanya membatasi pergerakan di mal, kantor, atau tempat umum, tidak seefektif dulu. Orang keluar rumah saja sekarang bisa tertular.
Menurut laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah kasus di Indonesia pada Senin (8/2/2021) bertambah 8.242 kasus sehingga total menjadi 1.166.079 orang. Adapun angka kematian akibat Covid-19 bertambah 207 orang sehingga secara kumulatif mencapai 31.763 orang. Jumlah pasien yang sembuh bertambah 13.038 orang sehingga total ada 963.028 pasien sembuh.
Adapun jumlah orang yang diperiksa mencapai 28.015 orang. Itu berarti rasio kasus positif harian mencapai 29,4 persen atau dari tiga orang yang diperiksa, ditemukan satu orang positif Covid-19.
Mengacu laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 3 Februari 2021, penularan Covid-19 di Indonesia dalam kategori community transmission (CT) 4. ”Ini merupakan tingkat tertinggi dalam penularan Covid-19 di komunitas, yang menunjukkan insiden sangat tinggi,” kata Dicky.
Klasifikasi transmisi komunitas di level tertinggi ini terjadi sejak minggu terakhir Desember 2020, saat rata-rata rasio tes positif di Indonesia melebihi 20 persen. Sebelumnya, sejak Mei 2020, rasio tes positif di Indonesia berada di kisaran 10 persen hingga di bawah 20 persen atau dalam kategori CT 3. Ambang aman rasio tes positif yang disarankan WHO adalah 5 persen.
Laporan WHO ini menunjukkan rasio tes positif di Indonesia meningkat tajam setelah 23 November 2020 dan mencapai 28,6 persen di tingkat nasional pada 31 Januari 2021.
Tingginya risiko penularan juga terlihat dari tingginya angka insiden. Selama periode 25-31 Januari 2021, kejadian Covid-19 di Indonesia mencapai 30,9 per 100.000 penduduk dibandingkan dengan 28,4 per 100.000 pada minggu sebelumnya. Ini merupakan insiden mingguan tertinggi sejak kasus pertama dilaporkan di Indonesia.
Selain rasio tes positif dan insiden yang tinggi, tingginya penularan di Indonesia juga bisa dilihat dari tingkat penghunian rumah sakit, khususnya di ruang isolasi dan unit perawatan intensif (ICU). ”Kalaupun saat ini dikatakan okupansi di rumah sakit menurun, harus dilihat apakah penurunan itu karena kapasitas ruang perawatan ditambah atau pasiennya turun,” ungkap Dicky.
Untuk mengetahui ini, lanjut Dicky, kita bisa melihat dari tren penambahan kasus aktif, yang sampai saat ini terus meningkat. Tingginya kasus aktif ini juga bisa menandakan keterlambatan jumlah tes dibandingkan suspek yang seharusnya diperiksa.
Epidemiolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Yudhi Wibowo, mencontohkan, kasus Covid-19 di Banyumas, Jawa Tengah, cenderung turun dalam sepekan terakhir. Namun, ini terjadi karena jumlah tes yang dilakukan juga turun.
”Jumlah tes dan cakupannya sangat penting. Kalau tes turun, kasus juga akan turun. Selama ini kita sering salah membaca tren karena variabelnya tidak dilihat dengan baik. Termasuk kapasitas rumah sakit, ada instruksi ke daerah agar menambah kapasitas tempat tidur hingga 30 persen,” katanya.
Menurut Yudhi, indikator masih tingginya risiko penularan adalah tingkat kematian yang masih cenderung tinggi. ”Apalagi kalau di daerah, ada kemungkinan pasien meninggal di luar rumah sakit karena terlambat periksa,” ujarnya.
Pembatasan total
Berdasarkan data yang ada, tiga epidemiolog ini menyimpulkan PPKM belum kuat untuk melandaikan kasus penularan sehingga risiko kematian tetap akan tinggi. ”Harus ada pembatasan lebih ketat jika mau menurunkan laju penularan. Jawa dan Bali itu harus lockdown total selama minimal dua minggu sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,” kata Dicky.
Penguncian Jawa dan Bali ini juga berguna untuk mencegah meluasnya kasus penularan ke daerah lain, yang saat ini juga mulai meningkat. ”Karantina per pulau harus segera diberlakukan. Jangan menunggu kasus di daerah di luar Jawa melonjak tinggi karena kapasitas layanan kesehatan di sana lebih lemah,” ujarnya.
Yudhi menjelaskan, pembatasan yang setengah hati hanya akan menyebabkan kelelahan masyarakat, selain merugikan secara ekonomi, tetapi tidak akan membuat wabah teratasi.
”Kalau dilihat dari data tren mobilitas ’Aple’ pergerakan penduduk secara nasional yang semula memang turun, mulai meningkat kembali mulai 5 Februari 2021, walaupun masih di bawah base line sebelum pandemi,” paparnya.
Data tersebut menunjukkan, pergerakan pengendara menjadi - 1 persen untuk pengendara dan - 24 persen untuk pejalan kaki. Padahal, sebelumnya untuk pengendara sudah - 21 persen dan pejalan kaki - 40 persen.
Selain pembatasan secara lebih ketat dan meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, menurut Iwan, perlu dilakukan peningkatan kapasitas tes, pelacakan, dan isolasi, selain juga mempercepat pemberian vaksin untuk masyarakat luas.
”Tes, lacak, dan isolasi untuk memutus rantai penularan, sedangkan vaksin untuk mengurangi risiko keparahan dan kematian, terutama bagi kelompok berisiko dan rentan,” kata Iwan.