Hujan Ekstrem Meningkat, Perkuat Daya Dukung Lingkungan
Indonesia memiliki tren peningkatan intensitas hujan meski di beberapa wilayah justru turun dengan besaran bervariasi. Perubahan iklim turut memicu peningkatan peluang hujan ekstrem.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim telah meningkatkan peluang terjadinya hujan ekstrem, seperti terjadi di beberapa daerah di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Situasi ini seharusnya mendorong perbaikan daya dukung lingkungan dan meningkatkan kapasitas dalam memitigasi bencana.
”Salah satu konsekuensi perubahan iklim adalah meningkatnya peluang hujan ekstrem meski secara rerata tahunan relatif sama, bahkan untuk beberapa wilayah cenderung berkurang,” kata Siswanto, peneliti perubahan iklim yang juga Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), di Jakarta, Senin (8/2/2021).
Hujan ekstrem, misalnya, terjadi di Jakarta pada awal 1 Januari 2020 sebesar 377 mm per hari, merupakan curah hujan tertinggi di kota ini sejak pengukuran pertama pada zaman kolonial Belanda pada 1866. Sebelumnya, rekor curah tertinggi terjadi di Sunter, Februari 2015, tercatat 367 mm per hari.
Salah satu konsekuensi perubahan iklim adalah meningkatnya peluang hujan ekstrem meski secara rerata tahunan relatif sama.
Hujan ekstrem juga melanda Kalimantan Selatan pada 10-15 Januari 2021, dengan akumulasi jumlah curah hujan selama dua hari di Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor mencapai 300 mm.
Jika dibandingkan pada normal jumlah curah hujan bulanan Januari sebesar 394 mm, kondisi ini tergolong dalam kondisi ekstrem dan sebelumnya tidak pernah tercatat di sana.
Berikutnya, hujan ekstrem dengan intensitas 171 mm juga terekam di Stasiun Meteorologi Ahmad Yani, Semarang, pada 6 Januari 2021, termasuk yang tertinggi dalam puluhan tahun. Hujan di Semarang ini juga terjadi secara merata.
Siswanto mengatakan, berdasarkan data observasi BMKG mulai tahun 1981 hingga 2018, secara umum hujan di Indonesia memiliki tren peningkatan intensitas meski di beberapa wilayah justru turun dengan besaran bervariasi.
Sebagai contoh jika kita lihat lokasi di Stasiun Meteorologi Hasanuddin Makassar yang memiliki tren peningkatan pada semua besaran intensitas hujan. Misalnya, untuk intensitas hujan 20 mm per hari cenderung meningkat sebesar 0,624 persen setiap dekade.
Studi Siswanto yang dimuat di jurnal Royal Meteorological Society (2015) menyebutkan, pada 1866-2010, jumlah hari hujan di Jakarta berkurang, tetapi proporsi curah hujan lebat melebihi 50 mm per hari dan 100 mm per hari pada total hujan tahunan naik signifikan. Jadi, meskipun akumulasi curah hujan tahunan menurun, frekuensi hujan ekstrem skala jam atau harian meningkat.
”Di Indonesia pada tahun 2020-2021 ini intensitas hujan rata-rata lebih tinggi karena ada La Nina yang pengaruhnya cukup kuat, terutama pada Oktober-November. Walaupun untuk Jakarta, fenomena La Nina justru mengurangi intensitas hujan ekstremnya,” katanya.
Manajemen bencana
Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim BMKG Supari menambahkan, selain pengaruh iklim, setiap curah hujan ekstrem dilatarbelakangi mekanisme yang berbeda.
”Kalau berdasarkan studi iklim jangka panjang yang pernah saya lakukan, seharusnya perubahan iklim akan membuat wilayah Indonesia di selatan ekuator, termasuk Jawa, cenderung lebih kering. Demikian sebaliknya wilayah di utara ekuator lebih basah,” tuturnya.
Namun, kajian ini belum memasukkan variabel intensitas hujan dalam skala musiman atau harian, yang bisa lebih ekstrem. ”Jadi, setiap hujan ekstrem selalu ada latar belakang meteorologi yang berbeda,” katanya.
Ia mencontohkan, untuk tahun ini sejumlah hujan ekstrem yang terjadi di Kalimantan Selatan dan sekarang utara Jawa dipicu oleh adanya zona konvergensi antartropis (inter tropical convergence zone), berbarengan dengan menguatnya puncak musim hujan.
Zona konvergensi ini bergeser perlahan, sebelumnya ada di atas wilayah Kalsel sekarang di atas Jawa bagian utara dan berikutnya akan semakin ke selatan sampai akhir Februari 2021.
”Jadi, untuk beberapa hari ke depan, hujan ekstrem berpeluang terjadi di Jawa bagian selatan, sehingga kalau bicara risiko bencana ke depan, kita perlu antisipasi di sana,” katanya.
Baik Siswanto maupun Supari mengatakan, perubahan pola hujan ini seharusnya menjadi panduan dalam mitigasi sehingga hujan ekstrem tidak lagi disalahkan sebagai penyebab terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir atau longsor.
”Ketika bicara risiko bencana, ini kaitannya dengan ancaman dan kapasitas. Bahkan, seandainya ancamannya tidak meningkat, tetapi kapasitas atau daya dukung lingkungan menurun, risiko bencana meningkat,” kata Supari.
Siswanto menambahkan, dengan tren meningkatnya hujan ekstrem ini, daya dukung lingkungan seharusnya diperbaiki. ”Hujan akan menjadi banjir tergantung bagaimana kondisi permukaannya. Misalnya, kalau resapan air kurang dan terjadi penurunan muka daratan seperti terjadi di Jakarta dan Semarang, risiko banjir menjadi tinggi,” tuturnya.