Keterjangkauan Informasi terhadap Layanan Pemerintah Masih Bermasalah
Keterjangkauan masyarakat terhadap informasi terkait layanan kesehatan dan bantuan sosial masih perlu ditingkatkan. Warga umumnya menggantungkan harapan tertinggi terkait informasi terhadap RT/RW setempat.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbukaan dan keterjangkauan informasi masyarakat terhadap layanan kesehatan dan bantuan sosial menjadi masalah besar dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, selain persoalan tes, lacak, dan isolasi. Pemerintah diminta meningkatkan partisipasi warga dengan memperkuat suara dari bawah yang dilembagakan.
Evaluasi layanan penanganan Covid-19 itu terungkap dalam kajian International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang disampaikan secara daring pada Kamis (4/2/2021) di Jakarta.
”Dari kajian itu, dihasilkan masukan mengenai perbaikan layanan informasi, kesehatan, dan bantuan sosial di tengah euforia vaksinasi. Survei dilakukan selama bulan Agustus-November 2020 untuk melihat seberapa jauh kualitas inklusi dan akses warga terhadap layanan pemerintah selama pandemi,” kata Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagija.
Program Officer SDGs INFID Bona Tua menjelaskan, survei melibatkan 2.201 responden di 34 provinsi. Sementara kajian terhadap organisasi masyarakat sipil dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 146 perwakilan lembaga.
Dalam survei ditemukan, mayoritas warga mengatakan pemberian informasi Covid-19 relatif baik, dalam arti masyarakat memahami cara penularan, pencegahan, dan bahaya. Namun, responden mengatakan kurangnya dukungan tes bagi mereka yang merasa tertular Covid-19.
”Sebanyak 71 persen responden juga tidak mengetahui kontak untuk pengaduan layanan kesehatan. Di sisi lain, warga menggantungkan harapan tertinggi informasi dan pengaduan kepada RT/RW, yakni 48 persen, di atas dinas kesehatan dan gugus tugas. Pelibatan RT/RW ini bisa jadi alternatif peningkatan pelibatan warga dari bawah,” kata Bona.
Sebanyak 81 persen responden tidak mengetahui nomor kontak pengaduan bansos. ”Seperti layanan kesehatan, mayoritas warga, yaitu 65 persen, merasa RT/RW sebagai pihak terdekat untuk melakukan pengaduan bansos,” ujar Bona.
Sebanyak 71 persen responden tidak mengetahui kontak untuk pengaduan layanan kesehatan. Di sisi lain, warga menggantungkan harapan tertinggi informasi dan pengaduan kepada RT/RW.
Sebanyak 74 persen responden mengatakan bansos tunai paling dibutuhkan dalam situasi saat ini dan 29 persen menyatakan bansos tunai itu dapat diberikan langsung via transfer rekening. Sementara yang meminta agar memaksimalkan peran RT/RW sebanyak 26 persen.
Dalam kajian terhadap organisasi masyarakat sipil ditemukan, lebih dari setengah responden organisasi masyarakat sipil atau 54 persen dalam kondisi tertekan. Sebanyak 31 di antaranya berisiko dan 23 persen kritis. Mereka kebanyakan bergerak di bidang lingkungan dan toleransi.
Hal ini terjadi karena volume program berkurang, penggunaan teknologi tidak maksimal, dana dari donor berkurang, kerja sama dibatalkan, dan unit bisnis tidak menopang biaya operasional. Dampaknya dilakukan rasionalisasi gaji hingga pengurangan karyawan.
”Organisasi yang terdampak negatif terutama di luar Jawa, sedangkan di Jawa, mayoritas masih aman,” katanya.
Bahan evaluasi
Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Slamet Soedarsono mengatakan, temuan ini akan menjadi evaluasi dan pembenahan ke depan.
”Temuan penting yang kami garisbawahi di sini adalah soal keterbukaan dan keterjangkauan pelayanan yang masih menjadi masalah utama, selain soal testing, tracing, dan treatment (3T) masih perlu ditingkatkan,” tuturnya.
Slamet menambahkan, data penerimaan bansos perlu perbaikan dan di sisi lain perlu mencari solusi terhadap dampak sosial ekonomi yang dihadapi organisasi masyarakat sipil.
”Intervensi kebijakan ke depan berupa pemulihan ekonomi dan reformasi sosial. Survei ini akan jadi reorientasi, terutama memperbaiki akses kelompok rentan. Untuk bansos, dari yang sebelumnya dalam bentuk nontunai akan menjadi tunai,” ungkapnya.
Terkait layanan kesehatan, upaya 3T perlu jadi prioritas selain pelibatan masyarakat, terutama pasien dan tenaga kesehatan. Sementara untuk organisasi masyarakat sipil, terbuka opsi pembentukan komisi masyarakat sipil yang independen.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengapresiasi temuan ini dan berguna dalam pemantauan dan evaluasi guna membenahi program pemulihan ekonomi ke depan. ”Sebagian hasil survei dikomunikasikan ke kementerian teknis, seperti Kementerian Sosial yang ada korupsi bansos,” katanya.
Prastowo mengakui, integrasi data dan koordinasi pusat dengan daerah masih dilakukan. Insentif yang paling dirasakan adalah diskon listrik, sedangkan insentif lain belum memuaskan. Untuk bansos, tahun ini diharapkan lebih mudah dijangkau, diawasi, dan akurat dari sisi penerima dengan dana Rp 148 triliun.