Cuaca Bergejolak, Waspada Penerbangan dan Pelayaran
Potensi hujan meningkat hingga kategori ekstrem. Hal itu meningkatkan peluang terbentuknya awan kumulonimbus yang bisa berbahaya bagi penerbangan, serta pelayaran.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Terbentuknya daerah pertemuan massa udara antartropis di atas wilayah udara Indonesia, khususnya di atas Pulau Jawa, memicu gejolak cuaca di musim hujan ini. Selain meningkatkan potensi hujan hingga kategori ekstrem, hal ini juga meningkatkan peluang terbentuknya awan kumulonimbus yang bisa berbahaya bagi penerbangan, serta gelmbang tinggi.
Kondisi cuaca dan iklim di Indonesia ini disampaikan sejumlah pejabat Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dalam pertemuan daring, Minggu (31/1). Pertemuan dipimpin oleh Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
"La Nina masih berlangsung dan monsun menguat. Saat ini juga ada daerah konvergen antar tropik dan aliran gelombang ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) yang berada di atas Pulau Jawa. Diperkirakan ITCZ ini baru mulai bergeser ke selatan pada awal Februari 2021 nanti," kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto.
Menurut dia, ITCZ merupakan garis atau zona berkaitan dengan pusat sirkulasi siklonik yang memiliki tekanan udara sangat rendah dari daerah sekitarnya. Zona ini juga menjadi area pertemuan angin yang membentuk awan penghasil hujan hingga tingkat ekstrem dan berkesinambungan.
Daerah perlambatan kecepatan angin ini terpantau memanjang di sepanjang perairan barat Aceh, diJawa Tengah hingga Bali, di Kalimantan Utara hingga Kalimantan Selatan dan di Papua Barat hingga Teluk Cendrawasih bagian timur. Kondisi ini dapat meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sepanjang daerah konvergensi tersebut
"Terjadinya hujan cukup persisten di Jawa dan sekitarnya beberapa hari terakhir dipicu fenomena ini. Untuk Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) mulai 1 Februari sampai 4 Februari, terutama akan ada peningkatan hujan pada tanggal 3 Februari," tuturnya.
Awan kumulonimbus
Kepala Pusat Meteorologi Penerbangan, Edison Kurniawan, memaparkan, pengaruh awan konvektif dan keberadaan ITCZ juga memicu potensi munculnya awan kumulonimbus yang bisa mengganggu penerbangan.
Baca juga Banjir Besar Kalsel, Potret Suram Kerusakan Alam
"Pengguna penerbangan harus memantau ini, karena dari pantauan kami ada pelung pembentukan awan ini di sejumlah wilayah Indonesia. Awan kumulonimbus ini saat matang, berpotensi memicu turbulence bagi pesawat yang melintas di sana.," ujarnya.
Menurut Edison, awan kumulonimbus bisa terbentuk di atas daratan Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Selain itu, awan ini berpeluang terbentuk di atas wilayah perairan Selat Karimata, Samudera Pasifik, Papua Barat, dan Papua.
Awan kumulonimbus ini saat matang, berpotensi memicu turbulence bagi pesawat yang melintas di sana.
Potensi gangguan juga bisa terjadi di lalu lintas perairan."Cuaca ekstrem sejak tanggal 28 Januari lalu telah memicu banyak kec1elakaan transportasi laut, karena itu gelombang laut tinggi harus diantisipasi. Selain itu, beberapa daerah perlu mewaspadai ancaman banjir pesisir, terutama saat pasang air laut tertinggi," katanya.
Menurut perhitungan BMKG, gelombang tinggi 4 - 6 meter (m) berpeluang terjadi di perairan selatan Pulau Jawa hingga Pulau Sumba, Selat Bali, Lombok, dan Alas bagian selatan. Selain itu, hal ini berpeluang terjadi di perairan selatan Pulau Sawu hingga Pulau Rote dan Samudera Hindia Selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Timur.
Di sejumlah perairan lain di Indonesia, gelombang laut rata-rata 1,25 - 2,5 meter, seperti Selat Malaka bagian utara dan Laut Jawa. Adapun gelombang 2,5- 4 m berpeluang terjadi di utara Sabang, barat Kepulauan Simeulue, hingga Kepulauan Selayar dan Laut Natuna Utara.
Semakin sering
Deputi Klimatologi BMKG Herizal mengatakan, peluang terjadinya cuaca ekstrem saat ini makin tinggi seiring terjadinya perubahan iklim. "Trennya saat ini, hujan sehari-dua hari bisa merepresentasikan hujan dalam sebulan," ungkapnya.
Sebagai contoh, di Jakarta tahun lalu terjadi hujan hingga 370 milimeter per hari, yang merupakan tertinggi dalam catatan sejarah. Demikian juga hujan di Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu mencapai 257 mm per hari, merupakan yang tertinggi. Ke depan ini akan semakin sering terjadi.
Herizal mengingatkan, indikasi terjadinya perubahan iklim semakin nyata. Misalnya, luasan salju dan ketebalan di Puncak Jayawijaya, Papua terus menurun. Tebal es berkurang sekitar 5,26 meter selama 2010 - 2016, dengan rata-rata penyusutan 1,05 per tahun.
"Perubahan iklim ini akan memicu cuaca ekstrem dan meningkatkan potensi bencana hidrometerologi seperti banjir, kekeringan ekstrem, longsor, dan angin kencang," kata dia.
Menurut Herizal, selain harus beradaptasi dengan kondisi ini, Indonesia juga mesti berkontribusi mencegah laju perubahan iklim makin cepat. "Kita merupakan salah satu negara yang meratifikasi perjanjian Paris. Sesuai perjanjian ini, kita harus berperan membatasi pemanasan global agar di bawah 1,5 derajat celcius di tahun 2030-an," ujarnya.
Untuk memenuhi target ini, menurut Herizal, maksimal penambahan emisi pada tahun 2030 adalah 450 ppm (bagian per juta) setara karbon dioksida (CO2). "Saat kita mulai mengukur emisi CO2 pada 2004, konsentrasinya di Indonesia saat itu 373 PPM. Sekarang emisi sudah mencapai 410 PPM, artinya sudah semakin mendekati ambang maksimal," kata dia.