Menjaga Ketangguhan Warga Terdampak Bencana
Menyadari hidup di daerah rawan bencana serta bersiap, beradaptasi, dan memitigasi dampak yang bisa ditimbulkan menjadi keniscayaan bagi kita yang tinggal di Indonesia. Terlebih pandemi menggandakan potensi dampaknya.
Saat seluruh dunia menghadapi pandemi Covid-19 yang hingga kini belum jelas kapan akan berakhir, Indonesia harus menghadapi sejumlah bencana alam tahunan. Akibatnya, masyarakat di sejumlah daerah yang terdampak bencana serta petugas yang mendampingi dan membantu pemulihan mereka harus menghadapi beban bencana ganda.
Sebulan terakhir, ada erupsi Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Yogya, longsor di Sumedang, Jawa Barat, serta gempa di Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat. Ada pula banjir di sejumlah daerah, di antaranya sejumlah kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, Manado di Sulawesi Utara, dan Aceh, serta banjir bandang di Puncak, Bogor, Jawa Barat.
Bencana itu tak hanya membuat hilangnya nyawa, tetapi juga memaksa mereka yang selamat untuk terus bertahan di tengah berbagai keterbatasan. Mereka juga harus berjuang menjaga kesehatan fisik dan mental mereka, memulihkan ketangguhan hidup mereka sebagai manusia, dan bangkit untuk menata hidup baru.
Yang dibutuhkan warga terdampak bencana di masa tanggap darurat ini adalah didengarkan.
Dalam masa tanggap darurat berbagai bencana saat ini, munculnya stres, trauma, khawatir, dan cemas pada warga yang terdampak bencana adalah hal wajar di tengah situasi yang tidak normal. Ledakan emosi itu bukanlah trauma, apalagi gangguan jiwa. Situasi itu setidaknya masih akan berlangsung hingga tiga bulan setelah bencana terjadi.
”Wajar jika mereka melamun atau menangis, baik karena berduka atas hilangnya keluarga, rumah yang roboh, maupun hilangnya harapan saat menghadapi ketidakpastian hidup ke depan,” kata Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19 Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Annelia Sari Sani, Senin (25/1/2021).
Pada situasi kedaruratan itu, pemenuhan kebutuhan dasar warga terdampak mutlak diperlukan. Bantuan berupa pangan, sandang, dan papan itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga untuk mendukung dan menjaga psikologis warga terdampak hingga menimbulkan rasa aman dan tidak sendirian menghadapi bencana.
Di masa pandemi Covid-19 ini, bantuan masker, sabun atau antiseptik untuk cuci tangan, air bersih mengalir, serta tempat pengungsian yang bersekat untuk setiap keluarga dan dilengkapi ventilasi udara yang baik sangat dibutuhkan. Pemberian bantuan pun tetap harus mengindahkan jaga jarak dan menghindari kerumunan.
Baca juga: Memitigasi Bahaya Merapi di Kala Pandemi Covid-19
”Warga terdampak serta petugas dan sukarelawan yang memberi bantuan harus dimampukan untuk bisa menjalankan protokol kesehatan guna mencegah penyebaran Covid-19,” tambah Ketua Kelompok Kerja Kebencanaan Ikatan Psikologi Sosial yang juga Ketua Laboratorium Intervensi Sosial dan Krisis, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Dicky Pelupessy.
Dukungan kejiwaan
Warga terdampak bencana, di mana pun mereka berada dan apa pun jenis bencananya, bukanlah orang lemah yang tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tetap punya ketangguhan yang harus dijaga dan dipulihkan hingga mereka bisa bangkit dan menata hidup kembali. Simpati pada korban bencana bukan berarti memandang mereka sebagai orang yang lemah dan harus dikasihani.
”Warga terdampak bencana perlu didukung hingga mereka melakukan penyembuhan sendiri (self healing) hingga jiwanya baik-baik saja dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi,” kata Annelia.
Di masa tanggap darurat ini, dukungan kesehatan jiwa dan psikososial (mental health and psychosocial support/MHPSS) itu bisa dilakukan oleh para sukarelawan yang sudah dilatih. Mereka bisa menjadi pendengar dan sandaran warga untuk mengungkapkan segala keluh kesahnya hingga korban bencana tidak merasa sendirian, apalagi sampai kehilangan harapan.
Dukungan psikologis itu, tambah Dicky, bisa diberikan kepada orang yang punya pengalaman membekas terhadap bencana yang dialami. Selain bisa dideteksi dari kecemasan dan ketakutan yang muncul, kondisi ini juga bisa dilihat dari waktu tidur malam yang kurang dari delapan jam per hari atau justru berlebihan. Kerentanan psikologis ini justru lebih banyak dialami orang dewasa yang geraknya di pengungsian terbatas, tidak seperti anak-anak yang bisa melepas ketegangannya dengan bermain.
”Mendengarkan curahan hati itu merupakan pertolongan psikologi pertama pada warga terdampak bencana,” katanya. Sukarelawan yang diajak berbicara pun tak perlu menceramahi, menasihati, apalagi memberikan konseling warga terdampak karena yang dibutuhkan warga terdampak bencana di masa tanggap darurat ini adalah didengarkan.
Jika fase tanggap darurat sudah dilalui, lanjut Annelia, dukungan psikososial bisa dilakukan dengan berbasis komunitas. Apabila masyarakat berdaya dalam menghadapi masa-masa sulit dalam hidup mereka, ketergantungan mereka terhadap petugas dan relawan bisa dikurangi.
Situasi itu akan sangat membantu penanganan bencana. Terlebih di masa pandemi dan sejumlah bencana yang terjadi bersamaan saat ini, kehadiran petugas dan sukarelawan dibutuhkan di banyak tempat.
Baca juga: Lindungi Perempuan, Jangan Lagi Ada ”Bencana” Baru
Keberhasilan dalam memberdayakan komunitas warga terdampak bencana itu akan membuat semakin banyak korban bencana yang siap menghadapi dan beradaptasi dengan kenyataan apa pun serta siap melanjutkan hidup meski tidak ideal. Fase ini umumnya berlangsung 6-12 bulan setelah bencana saat sukarelawan dan petugas yang membantu pemulihan makin sedikit karena harus kembali ke tempat asal atau berpindah tugas ke daerah bencana lain.
Sebagian besar warga terdampak bencana umumnya mampu beradaptasi secara mandiri dan hanya sebagian kecil yang memerlukan bantuan tenaga kesehatan jiwa. ”Jika proses pemulihan psikologis berjalan baik, diharapkan maksimal hanya 25 persen warga terdampak bencana yang butuh layanan spesialis kesehatan jiwa. Bahkan, bisa lebih kecil lagi,"” tambahnya.
Kecepatan bantuan
Besarnya warga terdampak bencana yang mengalami trauma atau gangguan jiwa sebenarnya dapat ditekan jika bantuan fisik dan dukungan psikologis datang lebih awal. Bahkan, jika masyarakat sejak awal disiapkan menghadapi bencana yang diprediksikan bakal terjadi, mereka akan lebih memiliki ketangguhan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Namun, kecepatan bantuan masih menjadi persoalan besar di Indonesia. Meski data potensi bencana dan prediksi kemungkinan terjadinya bencana tersedia, nyatanya kesiapsiagaan masyarakat menghadapai bencana masih jauh. ”Kesiapsiagaan masyarakat sangat bergantung pada kesadaran pemerintahnya,"” kata Dicky.
Nyatanya, banyak pemerintah daerah masih abai dengan potensi bencana di wilayahnya. Pemerintah daerah juga masih enggan berinvestasi guna membangun kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat di daerahnya menghadapi bencana. Masih sedikit pemerintah daerah yang mau melakukan pendidikan kebencanaan yang berkelanjutan, pembangunan sistem peringatan dini bencana, hingga terbangun sistem penanganan bencana yang cepat.
Akibatnya, setiap terjadi bencana yang selalu terlihat adalah kegagapan pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi risiko bencana. Rusaknya infrastruktur sering kali membuat bantuan datang terlambat. Masyarakat yang tak sabar menunggu datangnya bantuan pun akhirnya menjarah bantuan yang membuat situasi semakin tak terkendali dan bisa memperburuk penanganan bencana.
Baca juga: Memulihkan Psikososial Penyintas Bencana
Annelia menambahkan, menyiapkan masyarakat di daerah rawan bencana sebelum bencana terjadi masih menjadi persoalan. Jika kesiapsiagaan terbangun, kepanikan yang muncul saat bencana dapat ditekan. Kesehatan jiwa masyarakat pascabencana pun dapat dijaga.
”Jika masyarakat tangguh, kemungkinan warga terdampak bencana mengalami masalah kesehatan jiwa makin kecil,” katanya.
Dalam situasi itu, maka perhatian terhadap penanggulangan bencana di Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat, perlu mendapat perhatian serius. Sebagai provinsi termuda kedua, banyak sistem penanggulangan bencana belum ada di wilayah itu. Di luas persoalan sistem, Sulawesi Barat juga hanya memiliki satu psikiater, satu psikolog klinis, dan beberapa perawat jiwa saja.
Selain kesiapsiagaan individu, membangun kesiapan komunitas masyarakat menghadapi bencana juga penting dilakukan. Jika komunitas masyarakat tangguh menghadapi bencana terbentuk, mereka bisa saling membantu, mendukung, dan menguatkan saat bencana benar-benar terjadi, tanpa perlu banyak bergantung pada bantuan dari pihak luar.
Namun, semua akhirnya kembali ke pemerintah daerah. Investasi membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana memang sulit dibanggakan sebagai prestasi daerah.
Hasilnya pun bisa jadi tidak akan pernah terlihat karena bencananya tidak pernah terjadi. Meski demikian, ini adalah ikhtiar untuk memampukan masyarakat menghadapi situasi terburuk hingga harkat dan martabat mereka tetap terlindungi.