Sejumlah komunitas masyarakat di sekitar Gunung Merapi membangun kesadaran dan upaya mitigasi untuk hidup di gunung api tersebut, termasuk saat ini ketika Merapi erupsi di kala pandemi Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Merapi tidak hanya gunung api yang sangat aktif, tetapi juga paling padat dihuni sejak ratusan tahun lalu hingga kini. Maka, memahami krisis Gunung Merapi di kala pandemi ini tidak hanya melihat tremor dan arah awan panasnya, tetapi juga harus memahami sikap masyarakatnya.
Setelah erupsi besar pada 2010, Gunung Merapi mengalami erupsi magmatis kembali pada 11 Agustus 2018 hingga September 2019. Setelah itu, gunung api ini kembali memasuki fase pengisian magma baru, ditandai dengan peningkatan gempa vulkanik dalam dan rangkaian letusan eksplosif sampai dengan 21 Juni 2020.
Aktivitas vulkanik kembali meningkat sehingga statusnya dari Waspada (level II) menjadi Siaga (level III) sejak tanggal 5 November 2020. Potensi ancaman bahaya berupa guguran lava, lontaran material, dan awan panas sejauh maksimal 5 kilometer (km). Sebanyak 12 desa di kawasan rawan bencana (KRB) III dianggap berada dalam jangkauan bahaya itu.
Kami mengungsi karena mau selamat, dan karena sekarang pandemi, jadi paling aman mengungsinya ke keluarga. (Sukiman Mochtar Pratomo)
Hingga 4 Januari 2021, Gunung Merapi memasuki fase erupsi yang bersifat efusif yang dikenal juga sebagai tipe Merapi. Erupsi tipe ini ditandai dengan pertumbuhan kubah lava yang disertai guguran lava dan awan panas guguran.
Menurut Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Hanik Humaida, pada hari Rabu (27/1/2021), sejak pukul 00.00-14.00, Gunung Merapi telah meluncurkan 36 kali awan panas guguran dengan jarak luncur 500-3.000 meter ke arah barat daya atau hulu Kali Krasak dan Boyong.
Awan panas guguran tersebut memicu terjadinya hujan abu dengan intensitas tipis hingga tebal di Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali dan beberapa lokasi di Klaten. Hanik menyatakan, jarak luncur awan panas masih dalam radius bahaya yang direkomendasikan oleh BPPTKG, yaitu sejauh 5 km dari Puncak Merapi pada alur Kali Boyong, Bedog, Krasak, Bebeng, dan Putih.
”Ini efusif Merapi. Kenapa ada awan panas yang cukup jauh, karena pengaruh kemiringan lereng. Selain juga komposisi magma basaltik andesit, jadi agak kental,” kata Hanik.
Sekalipun erupsi kali ini cukup besar, Hanik memperkirakan tidak akan sebesar 2010 yang merupakan letusan terkuat dalam seabad terakhir. Namun, dia tetap mengingatkan warga di KRB III, khususnya sekitar permukiman di Dusun Turgo, yang berada di dekat aliran Sungai Boyong untuk lebih waspada.
Selain itu, karena erupsi terjadi bersamaan dengan musim hujan, dia mengimbau masyarakat juga mewaspadai bahaya lahar terutama saat terjadi hujan di puncak Gunung Merapi.
Bencana ganda
Sukiman Mochtar Pratomo, petani dari Dusun Deles, Desa Sidorejo, Klaten, Jawa Tengah, yang berada di KRB III, mengatakan, sejak status Merapi meningkat, warga sudah mulai waspada. ”Kami sudah koordinasi dengan BPPTKG, arah letusan kali ini lebih ke barat daya, sesuai arah bukaan kawah Merapi. Sekalipun belum ada pengungsian, warga sudah melakukan persiapan,” kata Sukiman yang juga koordinator Radio Lintas Merapi, penggerak mitigasi warga.
Beberapa persiapan di antaranya menyiapkan seluruh kendaraan ke jalur evakuasi dan mengisi penuh dengan bahan bakar. Warga juga sudah menyiapkan kandang ternak di luar KRB III. Belajar dari letusan Merapi 2010, warga yang enggan mengungsi saat itu karena menunggui ternaknya.
”Bagi warga Merapi, ternak adalah anak kedua. Sumber ekonomi utama yang akan dijaga, karena itu kami harus amankan ternak juga saat mengungsi nanti,” tuturnya.
Langkah antisipasi lain, setiap warga yang bekerja ke ladang atau mencari rumput untuk pakan ternak harus menitipkan anak-anak mereka kepada tetangga. ”Jadi, kalau sewaktu-waktu gunung meletus, anaknya sudah dibawa tetangganya sehingga tidak perlu saling mencari. Setiap keluarga di sini sudah didata, ke mana akan mengungsi,” tuturnya.
Warga Deles merupakan pelopor paseduluran deso atau persaudaraan desa. Sebelum erupsi 2010, warga dusun ini telah menjalin perjanjian dengan warga Desa Manjung yang berada di zona aman sehingga begitu terjadi letusan, mereka menumpang di sana. Sistem ini yang kemudian ditiru sejumlah desa lain di Merapi saat ini.
Nah, karena saat ini ada pandemi Covid-19, mereka mengubah konsep pengungsian menjadi paseduluran (persaudaraan) keluarga. ”Jadi, nanti mengungsinya tidak lagi rombongan besar, tetapi menyebar ke keluarga masing-masing. Ada yang ke mertua, ke saudara, teman dekat. Semua sudah terdaftar,” kata Sukiman.
Sukiman mengatakan, aparat kecamatan sebenarnya meminta mereka mengungsi di tempat yang telah disiapkan pemerintah. ”Katanya kalau tetap mengungsi ke keluarga tidak dicatat sebagai pengungsi dan tidak dapat bantuan logistik. Kami ikhlas saja. Jangan sampai juga ada yang mengungsi karena mau cari logistik. Kami mengungsi karena mau selamat, dan karena sekarang pandemi, jadi paling aman mengungsinya ke keluarga,” tuturnya.
Kesadaran terhadap risiko Covid-19 juga telah ditunjukkan warga Dusun Turgo, Kelurahan Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, yang saat ini mulai mengungsi.
”Kami sudah punya rencana kontijensi desa mengantisipasi erupsi Merapi dalam situasi pandemi,” kata Indra Baskoro Adi, warga Turgo, yang juga anggota Paguyuban Siaga (Pasag) Merapi.
Salah satu strategi yang dilakukan, menurut Indra, membuat sekat-sekat di barak, masing-masing untuk satu keluarga. Warga juga memisahkan antara kelompok rentan, terdiri atas orang-orang lanjut usia, dengan barak utama. ”Semua sukarelawan juga sudah menjalani rapid antigen,” ujarnya.
Menurut Indra, saat ini belum semua warga Turgo mengungsi. Namun, dia yakin jika krisis Merapi semakin meningkat, warga akan segera mengungsi. ”Semua sudah siap. Pengungsian ternak juga sudah disiapkan. Kami tidak ingin mengulang tragedi tahun 1994,” katanya.
Erupsi Merapi tahun 1994 menewaskan 64 warga Turgo. Saat itu awan panas melanda, saat warga tengah melangsungkan pesta pernikahan. Sementara letusan besar Merapi pada 2010 menewaskan 353 orang, termasuk juru kunci Merapi, Mbah Marijan.
”Kami yang tinggal di Merapi memang harus terus bersiaga dan belajar dari kejadian sebelumnya. Semoga erupsi ke depan tidak ada korban, kita harus bersama-sama mengusahakannya,” tuturnya.
Sebagai gunung api yang sangat rutin meletus, Merapi terus memberi pelajaran. Dengan kemauan untuk terus belajar, warga Merapi menunjukkan ketangguhan untuk menghadapi ancaman bencana ganda kali ini.