Mengatasi Lelah Fisik dan Mental akibat Pandemi Covid-19 ala Antariksawan
Kelelahan fisik dan mental menghinggapi kita yang selama 11 bulan menjalani pandemi. Kita bisa belajar dari cara antariksawan tetap waras lahir dan batin selama hidup terisolasi di luar angkasa.
Pandemi Covid-19 di Indonesia sudah berjalan hampir 11 bulan. Kelelahan fisik dan mental yang dialami sejumlah orang ditambah keyakinan keliru tentang korona membuat sebagian orang melakukan tindakan yang membuatnya rentan tertular dan menyebarkan Covid-19.
Mulai 11 Januari 2021, pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali. PPKM pertama yang akan berakhir 25 Januari 2021 ini akan diperpanjang pada 26 Januari-8 Februari 2021.
PPKM ini lebih longgar dibandingkan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang berlangsung saat awal pandemi. Padahal, jumlah kasus harian Covid-19 jauh lebih besar dibandingkan semasa PSBB.
Pembatasan kegiatan masyarakat ini memaksa masyarakat untuk kembali bekerja dan belajar di rumah, membatasi aktivitas di luar rumah, serta menghindari kerumunan. Namun, sepertinya sulit mendorong masyarakat untuk kembali berkegiatan di rumah saja. Ada yang acuh, tak percaya korona, hingga lelah dengan pembatasan kegiatan berbulan-bulan hingga abai dengan protokol kesehatan.
Situasi ini sulit bagi semua orang. Karena itu, tidak ada cara lain bagi kita untuk bisa melalui masa suram ini selain dengan bertahan agar tidak terpapar atau menyebarkan SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, ke orang lain, serta beradaptasi dengan semua kebiasaan baru. Pikiran positif dan hati yang gembira harus dijaga, bukan hanya untuk menjaga daya tahan tubuh, tapi juga menjaga jiwa tetap sejahtera.
Jauh sebelum masyarakat dunia dituntut mampu menyesuaikan diri dengan situasi pandemi ini, sejumlah antariksawan yang bekerja di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) maupun awak yang menjalani riset tentang kesehatan fisik dan mental manusia melalui simulasi hidup di Mars dalam program Hawaii Space Exploration Analog and Simulation (Hi-Seas), sudah menjalaninya.
Kondisi itu yang membuat Lindren enggan melakukan hitung mundur selesainya misi yang harus dia jalani di ISS.
Mereka sama-sama tinggal di ruangan sempit yang berfungsi sebagai tempat kerja sekaligus tempat tidur, teman yang terbatas, dan pemandangan di luar yang monoton. Situasi itu mirip dengan yang kita alami kini ketika kita harus tinggal dan bekerja dari rumah selama pandemi.
Hal yang membedakan, selama pandemi ini, kita masih memiliki kesempatan untuk pergi keluar rumah, berbelanja kebutuhan rumah, menikmati aneka makanan segar, atau menyaksikan berbagai jenis tayangan hiburan. Semua itu sulit didapatkan para antariksawan yang berada di ISS maupun menjalani masa isolasi dalam program Hi-Seas.
Lantas, bagaimana antariksawan maupun awak Hi-Seas mampu bertahan dalam lingkungan yang terbatas dan terisolasi sembari mereka dituntut untuk tetap bekerja keras?
Tetap sibukkan diri
Kjell N Lindgren, antariksawan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang telah menghabiskan 141 hari di ISS pada Juli-Desember 2015, kepada BBC, 9 April 2020, mengatakan menjaga ritme hidup yang biasa dilakukan dan membuat tetap sibuk dengan melakukan berbagai hal yang bermakna bisa membantu membuat waktu terasa cepat berlalu.
Karena itu, penting untuk menetapkan target dan tujuan atas setiap hal yang kita lakukan, di luar target pekerjaan dan tugas sekolah, dalam rentang waktu tertentu. Namun, upayakan target tersebut mampu dipenuhi.
Hal senada dingkapkan antariksawan NASA lainnya, Scott Kelly yang telah tinggal di ISS selama 520 hari, dengan 340 hari di antaranya dilakukan secara terus-menerus dalam satu periode. Dalam tulisan Kelly tentang pengalamannya menjalani hidup terisolasi di ISS selama setahun yang dimuat di The New York Times, 21 Maret 2020, patuh pada jadwal yang ada sangat penting dilakukan.
Sejak bangun tidur sampai tidur kembali, antariksawan sudah memiliki jadwal yang padat, baik berolahraga, melakukan berbagai pekerjaan, makan hingga istirahat, semua sudah diatur. Kesibukan dan kepatuhan pada jadwal itu membantu antariksawan untuk cepat beradaptasi dan membedakan antara lingkungan kerja dan lingkungan rumah meski tempatnya terbatas.
Sementara itu, Jocelyn Dunn, perekayasa kinerja manusia yang menghabiskan delapan bulan dalam misi Hi-Seas pada 2014 dan 2015 menambahkan pentingnya membagi secara tegas waktu bekerja dan istirahat melalui kegiatan transisi, seperti olahraga atau sekadar jalan-jalan di sekitar kubah tempat awak Hi-Seas tinggal.
”Saat bekerja di rumah, seseorang akan sangat mudah terdorong untuk bekerja terus-menerus tanpa istirahat,” katanya.
Karena itu, penting mengatur waktu hidup seharian untuk bekerja, tidur, makan, olahraga, hingga waktu santai atau waktu untuk diri sendiri. Semua aktivitas itu harus memiliki alokasi waktu tersendiri.
Berpikir positif
Sering kali seseorang tidak bisa menghindari melakukan kesalahan saat melakukan sesuatu, baik tentang pekerjaan ataupun dalam proses sosial. Namun, sering kali kesalahan itu justru membebani pikiran karena membuat kita merasa buruk, tidak sempurna, atau tidak optimal bekerja. Terlebih, bagi antariksawan di ISS yang bekerja dalam batasan waktu yang ketat akibat besarnya tantangan yang dihadapi.
Menurut Lindgren, dukungan orang di sekitar penting agar kita bisa segera melupakan kesalahan yang terjadi. Pikiran positif ini justru bisa mendorong seseorang berbuat lebih maju dan terus memperbaiki diri. Jika tidak, pikiran negatif justru bisa menghambat kita untuk melakukan pekerjaan lainnya.
Karena itu, selama masa di rumah saja sepanjang pandemi ini, jika suami salah membeli barang di supermarket, masakan istri gosong, atau anak mendapatkan nilai buruk saat mengerjakan pekerjaan rumah atau ujian, tak perlu memendamnya menjadi masalah berkepanjangan. Lupakan kesalahan yang lalu dan fokuslah untuk memperbaiki diri.
Komunikasikan harapanmu
Selama menjalani hidup bersama dalam lingkungan yang terisolasi, penting bagi semua orang untuk bisa mengelola harapan atau ekspektasinya, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain yang tinggal bersama mereka. Harapan itu, lanjut Lindgren, perlu dikomunikasikan secara teratur.
Sementara di Hi-Seas, Dunn beserta lima anggota lainnya memiliki jadwal untuk mengerjakan pekerjaan domestik. Mereka juga memiliki waktu khusus setiap minggu untuk mendiskusikan pekerjaan mereka seminggu sebelumnya.
”Kami biasanya mengambil satu jam untuk membicarakan tentang yang terjadi seminggu lalu, merenungkan hal-hal yang berjalan baik atau tidak berjalan baik, serta memprediksi tantangan apa yang akan dihadapi dalam seminggu mendatang. Ini adalah forum yang baik untuk mengungkapkan rasa frustrasi kami,” tambahnya.
Bersenang-senang
Bagi antariksawan yang bekerja di ISS yang mengorbit Bumi di ketinggian sekitar 400 kilometer, ISS adalah laboratorium tempat bekerja sekaligus rumah bersama mereka. Karena itu, ”Kami harus mencari cara untuk bisa bersenang-senang bersama,” kata Lindgren.
Di ISS, antariksawan yang ada di kompartemen milik Roscosmos, Rusia, memiliki tradisi mengakhiri periode mingguan mereka dengan makan malam bersama. Sementara antariksawan di kompartemen NASA, punya acara nonton film bareng.
”Pada kesempatan itu, kami terkadang memainkan permainan yang bisa dilakukan dalam keadaan tanpa bobot. Kegiatan itu sangat menyenangkan dan menjadi salah satu kenangan terindah bagi saya,” kata Lindgren.
Tidak masalah Anda mengatakan, saya perlu 30 menit untuk menyendiri. (Jocelyn Dunn)
Sementara saat isolasi akibat pandemi di Bumi, Lindgren mengatur kegiatan mingguan yang bisa dilakukan bersama anggota keluarga yang lain, seperti menonton televisi bersama. ”Kegiatan apa pun yang berbeda dengan pekerjaan, seperti berkomunikasi dengan orang yang terkasih melalui konferensi video, akan sangat membantu,” tambahnya.
Sementara itu, Kelly lebih memilih meluangkan waktu santainya untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan. Salah satunya adalah dengan menonton film, seperti Game of Thrones yang ia tonton di ISS hingga dua kali.
Waktu menyendiri
Namun, berkumpul dengan orang yang sama di lingkungan terbatas dengan jadwal padat itu bukan berarti kita bisa melupakan waktu untuk diri sendiri. Menurut Dunn, salah satu masalah penting di Hi-Seas adalah menjadwalkan waktu untuk diri sendiri dalam situasi yang terbatas.
”Tidak masalah Anda mengatakan, saya perlu 30 menit untuk menyendiri. Waktu itu bisa manfaatkan untuk bermeditasi menulis jurnal atau sekadar tidak ingin berbicara dengan orang lain saja,” katanya.
Kondisi serupa bisa dilakukan selama masa pandemi ini dengan bekerja dan belajar dari rumah saja. Kesibukan Anda bekerja, membantu anak sekolah daring, mengerjakan pekerjaan domestik, atau merawat orangtua di rumah, tidak bisa membuat Anda abai dengan kebutuhan diri, menikmati waktu sendiri tanpa terbeban oleh persoalan atau tanggung jawab apa pun.
Anda hanya perlu mengomunikasikan waktu untuk sendiri itu dengan anggota keluarga yang lain. Pengungkapan kebutuhan diri itu juga membantu Anda berbagi tugas dan tanggung jawab serta peduli dengan anggota keluarga yang lain.
Olahraga
Selama di ISS, setiap antariksawan dijadwalkan untuk berolahraga selama 2,5 jam sehari. Olahraga sebanyak itu diwajibkan guna menjaga vitalitas dan kondisi tubuh. Dikutip dari Kompas, 16 Agustus 2015, dalam lingkungan gravitasi mikro di ISS, tulang manusia menjadi mudah keropos dan otot pun melemah. Selain itu, olahraga penting untuk menekan stres dan kejenuhan serta menjadi sarana untuk melepaskan ketegangan fisik dan psikologis.
Olahraga yang dilakukan di ISS itu biasanya berupa berlari di atas
treadmill atau menggunakan sepeda statis. Tentu selama olahraga, tubuh antariksawan harus diikat sehingga tubuhnya tetap berada di atas alat olahraga yang digunakan, tidak melayang-layang.
”Jadwal harian membuat olahraga mudah dilakukan di ISS,” kata Lindgren.
Namun, saat kembali ke Bumi, mengatur jadwal olahraga menjadi tantangan tersendiri. Meski demikian, hal itu bisa diatasi dengan menyiapkan segala hal yang mendukung hingga olahraga bisa dilakukan teratur, mulai mengatur jadwal atau pengingat di telepon pintar kita, menyiapkan baju olahraga, serta menyiapkan alat olahraga yang akan digunakan.
Jenis olahraga yang bisa dilakukan sepanjang tinggal di rumah saja itu bisa berupa senam, yoga, berlari di atas treadmill, menggunakan sepeda statis, hingga angkat beban dengan peralatan sederhana. Kalaupun Anda memaksakan diri berolahraga di luar rumah, pilih tempat dan waktu yang membuat Anda tidak bertemu dengan banyak orang, apalagi berkerumun. Kendalikan hasrat Anda untuk berkumpul bersama dengan orang-orang yang tidak tinggal serumah dengan Anda.
Perhatikan tingkat stres
Dari penelitian Dunn selama di Hi-Seas, para awak Hi-Seas umumnya memiliki pola stres yang sama meski lama mereka tinggal di Hi-Seas berbeda, ada yang delapan bulan atau setahun.
Saat masa isolasi dimulai, para awak Hi-Seas umumnya memiliki tingkat stres yang tinggi, salah satunya diukur dengan kecepatan detak jantung saat bangun tidur, tetapi persepsi mereka terhadap stres rendah. Situasi ini mencerminkan kondisi mereka yang masih bahagia saat awal-awal menjalani program isolasi.
Baca juga : Stres Berlebih Mengganggu Kekebalan Tubuh
Saat memasuki enam bulan isolasi, tingkat stres awak makin tinggi, tetapi persepsi mereka terhadap stres yang dialami pun meningkat pesat. Pola tidur awak pun mulai berubah, sebagian orang akan tidur di awal malam dan bangun saat pagi hari, tapi ada pula yang justru begadang di malam hari dan tidur saat pagi menjelang.
”Perubahan pola tidur itu tidak terlepas dari irama sirkadian atau jam biologis tubuh. Hormon melatonin membuat Anda tertidur dan hormon stres akan membangunkan Anda,” katanya.
Jika hormon stres itu meningkat, hal itu akan ditunjukkan oleh detak jantung yang meningkat. Jika kecepatan detak jantung saat bangun itu terus naik seiring berjalannya waktu, kita perlu memiliki strategi untuk mengatasi stres yang terjadi.
Perubahan pola tidur itu pula yang banyak dialami masyarakat selama pandemi ini. Karena itu, jadwal tidur malam dan waktu tidur malam yang cukup sesuai umur bisa dijadikan mekanisme untuk mendeteksi sekaligus mengelola stres seseorang. Mereka yang memiliki waktu tidur malam kurang dari jumlah waktu tidur ideal, akan menjadi lebih mudah stres hingga depresi.
Cermati konflik
Dari penelitian Dunn diketahui, konflik sesama awak Hi-Seas mulai terjadi pada bulan keenam masa isolasi. Saat itu, mereka juga menjadi lebih suka mengungkapkan rasa frustrasinya. Situasi ini juga dialami antariksawan di ISS. Kondisi yang disebut sebagai ”fenomena kuartal ketiga” itu ditandai dengan penurunan moral terhadap sesama pada orang-orang yang menjalani isolasi.
Selama enam bulan tinggal bersama dalam isolasi itu pula, seseorang umumnya menyimpan kegelisahan terhadap orang lain. Situasi itu membuat awak Hi-Seas cenderung untuk lebih menyendiri hingga justru makin memperburuk suasana hati mereka.
”Fenomena kuartal ketiga itu bisa dimulai pada masa pertengahan studi. Saat itu, mereka mulai merasa tidak ada akhir yang jelas dari isolasi mereka dan hal-hal baru yang mereka rasakan seperti di awal isolasi sudah hilang. Pada situasi itu, Anda harus menemukan motivasi baik dari dalam maupun luar diri yang bisa mendorong Anda untuk tetap berperilaku dan berhubungan baik dengan orang-orang yang menjalani isolasi bersama,” katanya.
Rasa frustrasi orang-orang yang menjalani isolasi itu biasanya akan muncul pada kuartal ketiga atau antara bulan ketujuh hingga kesembilan. Namun, pada sebagian orang, frustrasi itu bisa muncul saat isolasi baru memasuki bulan keenam, bahkan bisa juga baru dua minggu. ”Ini adalah soal ekspektasi,” tambah Dunn.
Karena itu, kondisi mental jangka panjang perlu disiapkan untuk menjalani misi yang panjang pula. Salah satunya caranya adalah dengan tetap menjaga hubungan dengan keluarga dan teman meski kita tidak menginginkannya. Selanjutnya saat konflik muncul, maka kita perlu kembali pada fokus pada kebiasaannya sendiri dengan tetap melakukan hal-hal yang baik.
Baca juga : Hindari Penyebab Stres dengan Membuka Komunikasi
Persoalannya, antariksawan yang ditugaskan di ISS maupun anggota tim isolasi Hi-Seas pasti sudah menyadari dan dilatih untuk menjalani tekanan panjang itu. Akibatnya saat stres datang, mereka bisa mengatasinya dengan cepat. Kondisi inilah yang berbeda dengan yang dialami masyarakat selama pandemi ini karena semua orang secara tiba-tiba harus menjalani semua kegiatan di rumah tanpa persiapan apa pun.
Munculnya harapan-harapan tentang kapan pandemi ini berakhir, baik berdasarkan prediksi berakhirnya kasus seperti yang mulai terjadi pada pertengahan 2020 maupun euforia dimulainya program vaksinasi saat ini, justru makin mudah membuat seseorang kecewa apabila harapannya itu tidak tercapai.
Kondisi itu yang membuat Lindren enggan melakukan hitung mundur selesainya misi yang harus dia jalani di ISS. Dengan demikian, saat ada sesuatu yang berubah, dia tidak terlalu kecewa.
Inilah yang menuntut semua orang yang menjalani pembatasan aktivitas di luar rumah selama pandemi ini untuk cerdas menyiapkan mental mereka dalam jangka panjang. Tujuannya, agar tidak terkejut jika ternyata akhir pandemi nyatanya masih lama.
Baca juga : Mengelola Emosi Kala Pandemi
Dalam situasi ini pula, kebersamaan dan kepedulian kita menjadi penting. Tidak ada yang tidak susah menghadapi pandemi ini. Tidak ada seorang pun maupun negara mana pun yang siap dengan datangnya pandemi. Jika semua cuek hingga berperilaku sesuka hati tanpa mengindahkan protokol kesehatan, pandemi akan semakin sulit berakhir.
Apabila semua bersatu menghadapi krisis ini, baik bersatu dalam lingkup keluarga, masyarakat, negara, maupun komunitas global untuk terus melaksanakan protokol kesehatan dan menjaga satu sama yang lain, pandemi akan lebih mudah dikendalikan dan diatasi.
Namun jika ego terus mengemuka dan berperilaku sesuka hati tanpa menghargai orang lain sepertinya yang terjadi sekarang, sepertinya kita harus bersiap menghadapi pandemi yang lebih panjang.