Bencana Dipicu Hujan Ekstrem dan Degradasi Lingkungan
Kombinasi sejumlah faktor cuaca memicu hujan ekstrem di sejumlah wilayah, termasuk di Kalsel. Namun, bencana banjir dan longsor tak terlepas dari penurunan daya dukung lingkungan akibat perubahan alih fungsi lahan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kombinasi sejumlah faktor cuaca telah memicu hujan ekstrem di sejumlah wilayah, termasuk Kalimantan Selatan. Namun, bencana banjir dan longsor tidak bisa dilepaskan dari menurunnya daya dukung lingkungan akibat perubahan tata guna lahan.
”Lokasi banjir di Kalimantan Selatan ini terjadi di sepanjang aliran Sungai Barito di mana dari evaluasi yang ada kondisi infrastruktur ekologisnya, yaitu jasa lingkungan pengatur air, sudah tidak memadai. Oleh karena itu tidak mampu lagi menampung aliran air masuk,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) MR Karliansyah, Selasa (19/1/2021).
Karliansyah mengatakan, Sungai Amandit, Sungai Balangan, dan Sungai Martapura yang saat ini meluap merupakan bagian dari sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito yang melintas di empat provinsi. Total luasan DAS Barito ini mencapai 6,2 juta hektar (ha), meliputi 4,4 juta ha di Kalimantan Tengah, 1,8 juta ha di Kalimantan Selatan (Kalsel), 8.000ha di Kalimantan Timur, dan 590 ha di Kalimantan Barat.
Menurut Karliansyah, proporsi luas areal hutan di DAS Barito ini hanya 18,2 persen dengan 15 persen merupakan hutan alam dan sisanya 3,2 persen hutan tanaman. Proporsi areal tidak berhutan sebesar 81,8 persen didominasi pertanian lahan kering campur semak sebesar 21,4 persen, sawah 17,8 persen, dan perkebunan 13 persen.
Banjir ini karena banyak faktor, tetapi terutama karena kesetimbangan air sudah terganggu akibat ulah manusia.
Penurunan tutupan hutan di Kalsel selama periode 1990-2019 mencapai 62,8 persen. ”Penurunan hutan terbesar terjadi pada tahun 1990-2000, yaitu sebesar 55,5 persen,” katanya.
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Belinda Arunarwati Margono mengatakan, penurunan tutupan hutan di Kalsel paling tinggi terjadi pada tahun 1990-2003 dan 2006-2009. ”Setelahnya relatif landai. Namun, khusus untuk DAS Barito, tutupan hutannya sebenarnya masih cukup tinggi, dengan bagian hulunya terdapat 15,4 persen bukan hutan,” katanya.
Selain bukaan lahan, menurut Karliansyah, di tiga wilayah yang paling terdampak banjir, yaitu Kotabaru, Tanah Laut, dan Tanah Bumbu, juga terdapat pertambangan. Di Kotabaru luasannya 17.564 ha, Tanah Laut 19.598 ha, dan Tanah Bumbu 29.674 ha. ”Kami juga mencatat adanya 30.727 ha bekas tambang telantar,” katanya.
Sekalipun terdapat penurunan tutupan lahan dan pertambangan, menurut Karliansyah, banjir kali ini terutama disebabkan hujan esktrem. ”Hujan ekstrem, mencapai 8-9 kali lipat curah hujan normal. Volume air hujan masuk Sungai Barito sebanyak 2,08 miliar meter kubik, padahal kapasitas sungai dalam kondisi normal 238 juta meter kubik,” katanya.
Faktor lain, menurut dia, daerah banjir berada pada pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander dan tekuk lereng sehingga terjadi akumulasi air dengan volume besar. ”Kami juga melihat beda tinggi hulu-hilir sangat besar sehingga suplai air dari hulu dengan volume besar menyebabkan waktu konsetrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir,” katanya.
Intensitas hujan
Mengacu data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan dengan intensitas tinggi tercatat di Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor Banjarmasin pada 10 Januari 2021 sebesar 125 milimeter, pada 11 Januari 2021 sebesar 30 mm, pada 12 Januari 2021 sebesar 35 mm, pada 13 Januari 2021 sebesar 51 mm, pada 14 Januari 2021 sebesar 249 mm, dan pada 15 Januari 2021 sebesar 131 mm.
Kepala Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor Karmana menyebutkan, akumulasi jumlah curah hujan selama dua hari di Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor mencapai 300 mm, yang jika dibandingkan pada saat normal jumlah curah hujan bulanan Januari sebesar 394 mm, maka kondisi ini tergolong dalam kondisi ekstrem.
Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, intensitas hujan di Kalsel ini merupakan yang tertinggi dalam catatan sejarah. Kondisi ini dipicu oleh fenomena La Nina yang memicu pergerakan suplai uap air dari Pasifik Timur ke Pasifik Barat, mengakibatan pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia di bagian tengah menjadi lebih signifikan.
Pada saat yang sama, terdapat pusaran angin tertutup atau sirkulasi Eddy di sekitar Kalimantan yang mengakibatkan terbentuknya daerah pertemuan angin di wilayah Laut Jawa hingga Kalimantan bagian Selatan dan Timur. Kondisi ini berpotensi menambah massa uap air dari Laut Jawa yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan awan-awan konvektif yang masif di sekitar Kalsel. ”Januari juga merupakan puncak musim hujan di Kalsel,” ucapnya.
Sekalipun curah hujan cenderung ekstrem, menurut Siswanto, eskalasi bencana juga sangat ditentukan oleh kapasitas lingkungan. ”Kalau menurut kami, banjir ini karena banyak faktor, tetapi terutama karena kesetimbangan air sudah terganggu akibat ulah manusia,” katanya.
Siswanto menjelaskan, endapan hujan di permukaan sebagian ada yang diserap ke dalam tanah menjadi air tanah, sebagian mengalir di permukaan. ”Infiltrasi ini terganggu oleh berkurangnya tutupan permukaan berupa hutan dan sejenisnya. Ketika fungsi infiltrasi berkurang, akhirnya sebagian besar air hujan menjadi aliran air. Kalau kami perhatikan, banjir terjadi memang di sekitar aliran sungai,” tutur Siswanto.
Longsor di Sumedang
Sebagaimana di Kalsel, longsor yang melanda di Desa Cihanjuang, Kabupaten Sumedang, juga dipicu kombinasi faktor cuaca dan degradasi lingkungan. Kepala Bidang Pemetaan Kebencanaan dan Perubahan Iklim Badan Informasi Geospasial Ferrari Pinem menyebutkan, survei lapangan yang dilakukan timnya menunjukkan, faktor yang dominan mendukung longsor di Desa Cihanjuang adalah kelerengan, curah hujan tinggi, drainase, kondisi batuan dan tanah, dan tutupan lahan.
”Pada wilayah longsor terdapat banyak permukiman, dan permukiman tersebut dibangun di atas tanah urukan. Tanah urukan ini memiliki ikatan partikel yang lemah sehinga sangat besar berpotensi longsor. Selain itu, di wilayah terjadinya longsor tanahnya relatif terbuka tanpa adanya vegetasi akar tunggang dengan kemiringan lereng lebih dari 30 derajat yang mengakibatkan sangat mudahnya longsor apabila terjadi curah hujan tinggi,” tuturnya.
Pinem menambahkan, observasi menunjukkan bahwa wilayah bencana ini masih memiliki potensi longsor lanjutan. ”Ada kemungkinan longsor terjadi di kemudian hari di tambah lagi banyak ditemukan rekahan tanah dan aliran air di area yang lebih tinggi,” katanya.