DPR Minta Pemerintah Pusat Pastikan Pemda Tuntaskan Formasi Guru PPPK
PPPK merupakan jalan keluar bagi masih banyaknya guru honorer yang status dan kesejahteraannya belum terlindungi. Karena itu, DPR meminta pemerintah pusat segera mendorong pemda agar memasukkan usulan formasi guru PPPK.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat diminta memastikan pemerintah daerah menuntaskan usulan formasi guru berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Kementerian Dalam Negeri perlu mendorong daerah-daerah cepat menyerahkan usulan formasi guru PPPK.
Sampai saat ini, usulan formasi guru PPPK dari daerah belum mencapai target yang diharapkan oleh pemerintah, yakni satu juta guru PPPK. Sampai dengan pertengahan Desember 2020, Kemenpan dan RB hanya menerima usulan formasi 174.077 orang dari daerah. Padahal, batas waktu penyerahan usulan itu ialah 31 Desember 2020.
Ketua Komisi X DPR Saiful Huda, saat dihubungi Rabu (30/12/2020), mengatakan, kondisi ini harus menjadi perhatian dari pemerintah pusat ataupun daerah. Selama target itu belum terpenuhi, batas waktu pengajuan usulan formasi yang akan berakhir pada 31 Desember 2020, sebaiknya diperpanjang. Adapun Komisi X, antara lain, menangani isu-isu pendidikan.
Sementara itu, dorongan yang sama juga muncul dari anggota Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin. Zulfikar mengatakan, pemerintah pusat harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait persoalan ini. Kemenpan dan RB selaku kementerian yang membawahi persoalan kepegawaian dapat berkoordinasi dengan Kemendagri sehingga Kemendagri sebagai pembina daerah dapat mendesak setiap daerah untuk segera mengirimkan usulan formasi guru PPPK kepada pemerintah pusat.
Apalagi, menurut Zulfikar, PPPK merupakan program yang bagus dan menjadi jalan keluar bagi masih banyaknya guru honorer yang status dan kesejahteraannya belum terlindungi. ”Kalau memang kendalanya daerah yang belum mengirimkan formasi kepada pemerintah pusat, Kemenpan dan RB harus berkoordinasi dengan Kemendagri sehingga Kemendagri bisa menanyakan atau memberikan instruksi kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota untuk segera mengirimkan usulan formasi tersebut,” katanya.
Di sisi lain, Komisi II DPR juga menginginkan agar syarat pengangkatan guru PPPK itu dipermudah dan lebih memperhatikan pengalaman kerja dari guru honorer bersangkutan. Artinya, kelolosan mereka menjadi guru PPPK tidak hanya didasarkan pada hasil tes, melainkan juga mempertimbangkan masa kerja serta pengalaman mereka sebagai guru.
Sebab, selama ini banyak sekali guru honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi, tetapi karena alasan usia melebihi 36 tahun, mereka tidak dapat diangkat sebagai pegawai negeri. Dengan adanya status PPPK, mereka berkesempatan untuk diangkat menjadi pegawai pemerintah.
”Ini sesuatu yang bagus dan karena itu tidak bisa dilihat hanya hasil ujiannya, tetapi bagaimana mereka selama ini telah membantu Kemendikbud, Kemenkes, dan kementerian lain di daerah sebagai pegawai honorer. Pengabdian mereka selama ini tentu harus diapresiasi. Jangan dipersulit untuk menjadi pegawai pemerintah,” ungkap Zulfikar.
Selain itu, menurut Zulfikar, pemerintah harus mulai memikirkan tentang status pegawai pemerintah yang difokuskan pada dua jenis, yakni pegawai negeri sipil (PNS), dan PPPK. Sebaiknya, kata Zulfikar, tidak ada jenis pegawai pemerintah lainnya di luar dua tersebut.
”Sebagai contoh, ada pendamping PKH (program keluarga harapan), pendamping desa, pendamping disabilitas, dan sebagainya, itu statusnya apa. Nomenklaturnya apa agar lebih jelas. Jangan sampai mereka disebuat pegawai pemerintah lain di luar PNS dan PPPK,” ujarnya.
Huda mengatakan, dari sisi kepentingan isu pendidikan, belum banyaknya usulan formasi guru PPPK ini merugikan. Banyak guru yang akan kehilangan kesempatan untuk menjadi pegawai pemerintah. Harus pula dipikirkan oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah guna mengantisipasi persoalan anggaran daerah dalam menggaji PPPK.
”Pemerintah daerah sepertinya masih ragu untuk mengajukan formasi kebutuhan guru karena dikhawatirkan akan membebani keuangan daerah,” ujarnya.
Huda mengungkapkan, selama ini beban gaji dan tunjangan dari Aparatur Sipil Negara (ASN) daerah baik dari unsur PNS maupun PPPK memang menjadi beban pemerintah daerah. Oleh karena itu, saat ada pembukaan perekrutan sejuta guru honorer menjadi PPPK, pemerintah daerah khawatir hal itu akan memperberat beban APBD.
”Padahal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah menegaskan jika sejuta guru honorer yang direkrut dengan skema PPPK nantinya akan ditanggung oleh pemerintah pusat baik dari segi gaji dan tunjangannya,” katanya.
Menurut Huda, minimnya sosialisasi tentang rencana perekrutan sejuta guru honorer sebagai PPPK menjadi pemicu keengganan pemerintah daerah mengajukan formasi kebutuhan guru ke pemerintah pusat. Pemerintah daerah sepertinya tidak menerima secara utuh informasi perekrutan sejuta guru honorer sebagai PPPK, termasuk siapa pihak yang menanggung beban gaji dan tunjangan mereka.
”Kami menilai ada problem komunikasi sehingga program yang begitu strategis tidak mendapatkan respons semestinya dari pemerintah daerah. Padahal, kita tahu betapa para guru honorer sangat berharap bisa segera diangkat sebagai ASN,” katanya.
Huda mendesak Kemenpan dan RB serta Kemendikbud segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan sejumlah asosiasi guru untuk memastikan kuota sejuta guru honorer terpenuhi. Kemenpan RB dan Kemendikbud harus bisa meyakinkan pemda bahwa pengangkatan sejuta guru honorer sebagai PPPK ini tidak membebani keuangan daerah.
”Asosiasi guru juga harus bisa segera mengonsolidasikan para anggotanya untuk segera melakukan pendaftaran,” ujarnya.
Lebih jauh, Huda berharap agar perekrutan sejuta guru honorer tahun 2021 ini juga mengakomodasi guru Pendidikan Agama. Pasalnya, ada ratusan ribu guru pendidikan agama yang mengajar di sekolah-sekolah negeri masih berstatus sebagai guru honorer. Di sisi lain, mereka ternyata tidak masuk formasi yang bakal direkrut dalam seleksi sejuta guru honorer menjadi PPPK.
”Dalam surat edaran syarat penerimaan PPPK, guru Pendidikan Agama tidak masuk dalam formasi yang dibutuhkan. Padahal, jumlah mereka sangat banyak. Untuk guru Pendidikan Agama Islam saja lebih dari 100.000 belum lagi guru Pendidikan Agama lain. Dan mereka masih berstatus honorer. Jadi, tidak ada salahnya jika mereka diakomodasi,” ucapnya.