Dua Alat Baru Deteksi Covid-19 Memiliki Akurasi Tinggi
Pengembangan riset dan inovasi di dalam negeri untuk mengatasi pandemi Covid-19 mulai membuahkan hasil. Dua hasil inovasi berupa alat deteksi cepat penyakit itu telah mengantongi izin edar dari Kementerian Kesehatan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua hasil inovasi dalam negeri, yakni GeNose dan CePAD, bisa mendeteksi Covid-19 dengan akurasi tinggi dan hasil lebih cepat. Dua alat tersebut telah mengantongi izin edar dari Kementerian Kesehatan dan akan digunakan untuk penyaringan atau deteksi cepat Covid-19, bukan menjadi pengganti diagnosis dengan tes usap reaksi rantai polimerase atau PCR.
GeNose merupakan alat pendeteksi Covid-19 melalui embusan napas dan dukungan sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang dikembangkan peneliti Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sementara CePAD mendeteksi Covid-19 dari tes antigen yang dikembangkan peneliti Universitas Padjajaran, Bandung.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang PS Brodjonegoro, dalam jumpa pers secara virtual, Senin (28/12/2020), di Jakarta, mengatakan, inovasi kedua alat tersebut dapat mempercepat proses deteksi orang yang terinfeksi Covid-19. Guna membantu mitigasi risiko penyebaran Covid-19, kapasitas produksi GeNose pada Februari 2021 ditargetkan lebih dari 5.000 unit. Sementara kapasitas produksi per bulan CePAD mencapai 500.000 unit.
”GeNose ataupun rapid test CePAD ini bisa membantu menekan kasus penularan dengan kegiatan surveilans, mulai dari testing (pemeriksaan). Karena alat ini sudah terkoneksi dengan sistem digital, tracing (pelacakan kontak) juga bisa dilakukan,” ungkapnya.
Meski memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi, Bambang menegaskan, tujuan dua alat ini adalah untuk penyaringan atau deteksi cepat Covid-19. Dua alat ini tidak digunakan sebagai pengganti diagnosis dengan tes usap PCR yang sudah menjadi standar emas deteksi Covid-19.
GeNose ataupun rapid test CePAD ini bisa membantu menekan kasus penularan dengan kegiatan surveilans, mulai dari testing (pemeriksaan).
Hal senada juga disampaikan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono. Meski izin edar sudah dikeluarkan Kemenkes, aspek legal dua alat ini berfungsi untuk penyaringan Covid-19 sehingga tetap membutuhkan tes PCR untuk melengkapi hasil yang dikeluarkan kedua alat tersebut.
”Apa pun hasilnya, harus ada complementary test (tes pelengkap) yang menjawab hasil-hasil tersebut. Semakin banyak complementary test dan kian banyak data yang dihasilkan, tentu artificial intelligence datanya makin baik,” ucapnya.
Mempercepat deteksi
Anggota Tim Peneliti GeNose dari UGM, Dian Kesumapramudya Nurputra, menjelaskan, GeNose bekerja dengan cara mendeteksi partikel volatile organic compounds (voc) atau senyawa organik mudah menguap yang dikeluarkan spesifik pengidap Covid-19. Orang akan terdeteksi positif Covid-19 karena voc yang dikeluarkan berbeda dengan orang sehat.
GeNose telah melalui serangkaian uji validasi dan uji klinis. Uji validasi yang dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara dan RS khusus Covid-19 di Bantul bertujuan memetakan pola embusan napas penderita Covid-19 dan non-penderita. Uji validasi itu mendapatkan 615 sampel napas dan 382 di antaranya berpola positif Covid-19 yang nantinya menjadi otak dari GeNose untuk uji klinis.
”Dari hasil uji klinis didapatkan sensitivitas 89-92 persen dan spesifitas 95-96 persen dengan positive likelihood ratio 20,32. Jadi apabila seseorang menjalani pemeriksaan Covid-19 tanpa GeNose, positivity rate-nya 24 persen, tetapi jika memakai GeNose bisa terdeteksi lebih tinggi mencapai 87 persen,” ujarnya.
Selain sensitivitas dan akurasi yang tinggi, hasil tes dari GeNose lebih cepat hanya memerlukan waktu sekitar 5 menit. Kelebihan lain adalah tak memerlukan reagen atau bahan kimia lain, biaya terjangkau, realibilitas tinggi, dan data terhubung ke sistem komputasi awan sehingga bisa diakses secara daring.
”Kemampuan GeNose akan terus meningkat karena berbasis AI seiring dengan data yang dimasukkan. Setiap pembeli dari GeNose kami harapkan bantuan untuk selalu menyimpan datanya dengan baik dan dari data itu, software (peranti lunak) dari GeNose akan selalu di-upgrade, termasuk apabila terdeteksi virus Covid-19 varian baru. Dengan semakin banyak GeNose mendeteksi pasien, GeNose akan makin akurat,” tuturnya.
Sementara alat CePAD dari Unpad berbasis antigen ini mendeteksi protein virus dengan viral load tinggi di awal infeksi sebelum terbentuk antibodi. Dari serangkaian hasil uji klinis, alat deteksi Covid-19 ini memiliki sensivitas sebesar 85 persen, spesifitas 83-84 persen, dan akurasi mencapai 84 persen.
Tim peneliti CePAD Muhammad Yusuf mengatakan, CePAD mendeteksi virus ketika sampel yang diteteskan pada alat tersebut mengalir dan berinteraksi dengan antibodi spesifik anti SARS-CoV-2. Dua garis warna merah di alat tersebut akan terbentuk apabila terdeteksi virus dan satu garis apabila negatif.
Prosedur penggunaan CePAD sama dengan tes PCR, yaitu memasukkan swab stick ke dalam nostril pasien hingga mencapai permukaan posterior nasofaring. Swab stick dapat diputar sebanyak lima kali untuk memperoleh lebih banyak spesimen. Selanjutnya, sampel dicampurkan dengan cairan ekstraksi dan hasil bisa didapat setelah lebih kurang 15 menit.
”CePAD sudah bisa digunakan secara luas karena memiliki izin edar. Namun saat ini penggunaannya masih terbatas di lingkungan Bandung dan Jawa Barat. Mudah-mudahan pada 2021 sudah bisa dimanfaatkan masyarakat lebih luas. Terkait rencana ekspor, tentunya yang perlu diupayakan adalah memenuhi persyaratan WHO dan kemarin akurasi sudah di atas ketetapan WHO,” kata Yusuf.
Warga mengikuti tes usap untuk mendeteksi virus Covid-19 yang diselenggarakan oleh CSR Bank BNI di halaman Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Banten, Minggu (30/8/2020). Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengatakan, metode embusan napas untuk mendeteksi Covid-19 pada alat GeNose saat ini memang belum menjadi standar WHO. Namun, alat tersebut tetap dapat membantu penyaringan atau skrining deteksi Covid-19.
Di sisi lain, Agus juga memandang kemampuan GeNose dengan metode embusan napas belum bisa dikatakan lebih baik dibandingkan alat lainnya yang berbasis antigen atau PCR. Untuk mengetahui kemampuan ini, perlu adanya uji klinis untuk membandingkan dengan alat deteksi Covid-19 lainnya dengan metode yang berbeda.