Indonesia merupakan negara dengan frekuensi tsunami terbanyak, selain juga jumlah korban jiwanya. Tragedi Aceh pada 2004 merupakan tsunami paling mematikan sepanjang sejarah modern.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Minggu, 26 Desember 2004, gempa berkekuatan M 9,1 memicu tsunami dahsyat menghancurkan Aceh, menewaskan sekitar 200.000 orang di pesisir Sumatera. Salah satu tsunami terbesar pada era modern ini telah melahirkan pemahaman baru mengenai kerentanan bencana di Indonesia, termasuk di antaranya melahirkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
Akan tetapi, sebelum tsunami Aceh 2004, tsunami dahsyat sebenarnya pernah terjadi pada bulan Desember. Pada Sabtu, 12 Desember 1992, gempa berkekuatan M 7,5 memicu longsor bawah laut dan tsunami dahsyat di Flores. Ketinggian tsunami hingga lebih dari 25 meter dan melanda 300 meter ke daratan itu menewaskan 2.500 orang. Kerusakan terparah terutama dialami Kota Maumere dan Pulau Babi, pulau berdiameter 2,5 kilometer di utara Flores.
Kita tentu ingat, pada Sabtu, 22 Desember 2018, tsunami juga terjadi di Selat Sunda. Sebanyak 437 orang meninggal dan 10 orang hilang akibat tsunami yang dibangkitkan oleh erupsi dan ambruknya tubuh Gunung Anak Krakatau ini.
Selain tiga kejadian ini, bulan Desember sebenarnya memiliki sejarah panjang tsunami di Indonesia. Dalam katalog tsunami Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) serta WinITB yang disusun para ahli Rusia, terdapat 27 tsunami yang melanda wilayah Indonesia pada bulan Desember.
Bulan Desember sebenarnya memiliki sejarah panjang tsunami di Indonesia.
Sebagian besar tsunami ini terjadi di Indonesia bagian timur. Misalnya, pada Desember 1657, terjadi tsunami di Pulau Buru, Maluku. Lalu, pada 24 Desember 1852, terjadi tsunami di Laut Banda, Maluku, dan 13 Desember 1858 terjadi tsunami yang melanda Maluku Utara. Kemudian, pada 18 Desember 1928 terjadi tsunami yang terjadi di Laut Utara Sulawesi.
Sebagian besar data tsunami ini bersumber dari catatan kolonial. Namun, keberulangan gempa bumi dan tsunami pada masa lalu juga terekam dalam sumber-sumber lokal.
Beberapa naskah yang menyebut tentang tsunami di antaranya Kitab Rajapurwa yang ditulis Ronggowarsito pada 1869. Naskah yang menggambarkan letusan Gunung Kapi atau Krakatau pada masa lalu ini menyebutkan, ”... Gunung Kapi dengan suara dahsyat meledak berkeping-keping dan tenggelam ke bagian terdalam Bumi. Air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di timur Gunung Batuwara sampai Gunung Raja Basa (Lampung) dibanjiri air laut....”
Babad Ing Sangkala, kronogram sejarah Jawa yang ditulis pada 1738 juga menyebutkan, ”...(setelah) lenyap, laut raksasa (menjadi) daratan. lenyap, (menjadi) satu lautan raksasa....” Jadi, setelah laut surut, berikutnya berubah menjadi lautan.
Sementara naskah Takbir Gempa dari abad ke-18 yang ditemukan di Aceh dan Sumatera Barat menyebutkan, ”... Jika gempa pada bulan Rajab, pada waktu subuh, alamatnya segala isi negeri bersusah hati dengan kekurangan makanan. Jika pada waktu duha gempa itu, alamatnya air laut keras akan datang ke dalam negeri itu....”
Tsunami memang merupakan kata serapan dari Jepang, yaitu tsu yang berarti pelabuhan dan nami yang berarti ombak. Kata ini pertama kali digunakan untuk menyebut gelombang dahsyat setelah gempa bumi yang menghancurkan pelabuhan dan permukiman di kawasan Sendai, Jepang bagian timur, pada Jumat, 2 Desember 1611.
Dibandingkan dengan Jepang, frekuensi tsunami di Indonesia juga lebih banyak. Menurut data NOAA atau National Oceanic and Atmospheric Administration, selama kurun 1800-2020 telah terjadi 223 tsunami di wilayah Indonesia, sedangkan di Jepang terjadi 222 kali tsunami.
Indonesia merupakan negara dengan frekuensi tsunami terbanyak, selain juga jumlah korban jiwanya. Tragedi Aceh pada 2004 merupakan tsunami paling mematikan sepanjang sejarah modern, disusul tsunami Lisabon, Portugal, pada 1 November 1775 yang menewaskan sekitar 60.000 orang, dan tsunami Krakatau pada 1883 yang menewaskan sekitar 38.000 orang.
Keberulangan bencana tsunami pada masa lalu sebenarnya terekam dari banyaknya istilah lokal tentang peristiwa ini, di antaranya smong yang terbukti menyelamatkan warga di Pulau Simeulue saat tsunami 2004. Sesaat setelah gempa, warga Simeulue segera menjauh dari pantai karena mengetahui bahwa smong akan datang sehingga korban saat itu hanya tiga orang sekalipun ribuan rumah mereka hancur.
Akan tetapi, sebagian besar istilah lokal di sejumlah daerah ini telah kehilangan konteks sehingga tidak operasional saat bencana. Misalnya, ie beuna di Banda Aceh, galoro di Singkil, air turun naik di Ambon, bombatalu di Donggala, dan lembongtalu di Mandar.
Selain itu, banyak geomitologi yang mengisahkan tsunami masa lalu, di antaranya hilangnya Negeri Nuaria di Ende, gergasi dari laut di Barus, bahaya seram di Pulau Seram, dan Ratu Kidul di selatan Jawa, yang hanya dianggap sebagai legenda.
Pascatsunami Aceh 2004, literasi tentang tsunami sebenarnya sudah berkembang jauh lebih baik. Hal ini, misalnya, tecermin dari pemberitaan di harian Kompas yang menggunakan kata tsunami sebanyak 1.2070 artikel dalam periode 2004-2020. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah artikel di Kompas terkait tsunami yang hanya 138 pada periode 1998-2004.
Meski demikian, persepsi publik dan pemerintah terhadap risiko tsunami ternyata belum terbangun dengan baik. Ini tecermin dengan kembali dihuninya kawasan terdampak tsunami, mulai dari Aceh hingga Pangandaran, selain tumbuhnya bangkitan ekonomi baru di kawasan yang telah diidentifikasi memiliki ancaman gempa dan tsunami, seperti Bandara Internasional Yogyakarta di pesisir Kulon Progo.
Persepsi risiko memang tidak semata-mata dipengaruhi oleh pengetahuan tentang ancaman bahaya. Namun, hal ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor budaya hingga kepentingan ekonomi politik.
Menjadi pekerjaan rumah kita ke depan adalah memperkuat budaya aman ini, yaitu menempatkan keselamatan warga sebagai prioritas pembangunan, dan belajar dari tragedi Aceh 16 tahun silam, tata ruang, jalur evakuasi, sistem peringatan dini, selain kesiapan warga merupakan kunci untuk selamat dari tsunami....