Banjir telah melanda sejumlah daerah di Pulau Jawa meski musim hujan diperkirakan belum mencapai puncaknya. Ini diduga terkait penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan, di antaranya berkurangnya tutupan hutan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Musim hujan belum mencapai puncaknya, tetapi bencana banjir melanda sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Selain sebaran hujan yang cenderung merata sejak sepekan terakhir, bencana hidrometerologis yang terjadi lebih awal ini juga dipicu rendahnya daya dukung lingkungan.
Analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika berdasarkan pantauan citra satelit menunjukkan, distribusi awan konvektif selama 24 jam terakhir menutupi sebagian besar wilayah Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua. Hujan juga terjadi di sejumlah daerah dengan intensitas tertinggi tercatat di Stasiun Meteorologi Sangia Ni Bandera, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, dengan 113 milimeter (mm) per hari. Curah hujan tertinggi berikutnya terjadi di Sleman (DI Yogyakarta), yaitu 85 mm per hari; Denpasar (Bali) 83 mm per hari; dan Lombok Barat (NTB) 77 mm per hari.
”Saat ini fenomena La Nina kategori lemah-sedang terjadi bersamaan dengan puncak musim hujan di Indonesia pada Desember ini yang mengalirkan massa udara dingin dari belahan bumi utara dan mengangkat massa udara hangat di Indonesia bagian selatan,” kata Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fahcri Radjab, di Jakarta, Minggu (13/12/2020).
Menurut dia, fenomena ini terjadi bersamaan dengan Madden-Julian Oscillation (MJO) di atas wilayah udara Jawa. ”Selain itu, terjadi anomali suhu muka laut dengan muka laut yang hangat di perairan utara Jawa Tengah, menambah penguapan,” katanya.
Berbagai faktor ini memicu terbentuknya daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin di atas Pulau Jawa. Data BMKG, curah hujan tertinggi di Jawa Tengah terjadi di Demak sebesar 25 mm per hari. ”Untuk intensitas hujan di Jawa Tengah sebenarnya tidak dalam kategori lebat, sekalipun cukup merata,” katanya.
Berdasarkan analisis BMKG, wilayah yang diprakirakan mengalami hujan kategori tinggi atau lebih dari 150 mm per dasarian pada dasarian kedua Desember ini berpeluang terjadi di Sulawesi Selatan bagian selatan dan Papua bagian tengah. Pada Desember dasarian ketiga, intensitas hujan tinggi diprediksi di Banten bagian selatan, Sulawesi Selatan bagian selatan, Sulawesi Tenggara bagian timur, Papua Barat bagian utara, dan Papua bagian tengah.
Sekalipun belum terekam intensitas hujan ekstrem, hujan relatif merata terjadi di Pulau Jawa sehingga menyebabkan banjir di sejumlah daerah, seperti Pati, Demak, dan Purworejo di Jawa Tengah. Banjir juga terjadi di Magetan dan Malang, Jawa Timur.
Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati mengatakan, banjir juga terjadi di Kabupaten Bangkalan, Madura, sejak sepekan terakhir, menyebabkan satu warga meninggal dunia.
Dengan kondisi cuaca saat ini, diperkirakan banjir tahun ini bakal meningkat dibandingkan dengan sebelumnya. Data BNPB dari 1 Januari hingga 11 Desember 2020 mencatat, bencana banjir mengakibatkan 795.563 rumah terendam serta 7.224 rumah rusak berat, 3.479 rusak sedang, dan 12.735 rusak ringan. Bencana hidrometeorologis juga berdampak pada jatuhnya korban meninggal 224 jiwa, 26 orang hilang, 271 orang luka-luka, dan 4,19 juta orang mengungsi atau terdampak.
Lebih dini
Gunretono, petani yang juga koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, mengatakan, banjir melanda areal persawahan dan tambak di 20 desa di Kecamatan Sukolilo, Katen, dan Margorejo, Kabupaten Pati. Banjir juga melanda 12 wilayah di Kabupaten Kudus.
”Kami perkirakan kerugian gagal panen musim tanam pertama ini mencapai 5.000 hektar dengan potensi produksi yang hilang 40.000 ton gabah dan kerugian Rp 45 miliar,” kata Gunretno.
Menurut dia, banjir kali ini terjadi lebih dini dibandingkan dengan sebelumnya. ”Biasanya puncak musim hujan dan banjir terjadi pada Januari atau Februari sehingga tanaman padi yang baru sebulan ditanam tidak bisa bertahan,” katanya.
Menurut dia, banjir kali ini bukan diakibatkan karena curah hujan tinggi. Namun, kata dia, disebabkan terjadinya alih fungsi lahan dan peruntukan lahan yang tidak sesuai.
”Di wilayah hulu, misalnya Pegunungan Kendeng dan Gunung Muria, marak terjadi penambangan dan penggundulan hutan. Kami berharap perusakan lingkungan di kawasan hulu dihentikan karena sangat merugikan petani,” katanya.