Kemitraan Konservasi Jaga Kelestarian Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Model kemitraan konservasi sebagai bentuk perhutanan sosial bisa memberikan dobel manfaat yaitu masyarakat menerima hasil dan sekaligus terberdayakan untuk turut menjaga kelestarian hutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kemitraan konservasi antara masyarakat dan pengelola yang diterapkan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat, membuat kawasan tersebut terjaga dari kegiatan yang mengganggu kelestarian hutan. Di sisi lain, masyarakat juga mendapatkan manfaat ekonomi, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun bagi pengembangan yang lebih luas.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Ahmad Munawir mengemukakan, sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi, area hutan TNGHS yang mencakup wilayah Sukabumi dan Bogor (Jawa Barat) serta Lebak (Banten) memiliki sejumlah pemanfaatan yang dilakukan masyarakat lokal. Pemanfaatan itu di antaranya dari ladang, sawah, kebun sayuran dan kopi, hingga kayu afrika.
“Data BPS (Badan Pusat Statistik) 2017-2018, kurang lebih hampir 2,2 juta penduduk yang ada di sekitar kawasan ini baik langsung ataupun tidak langsung terdampak kepada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk “Mendorong Penyelesaian Konflik Tenurial dan Kesejahteraan Masyarakat di TNGHS Lewat Perhutanan Sosial”, Rabu (9/12/2020) yang diselenggarakan Sawit Watch.
Munawir menjelaskan, keberadaan aktivitas penduduk di dalam kawasan TNGHS menjadi dasar dilakukannya kemitraan konservasi. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Aturan tersebut menyatakan bahwa kemitraan konservasi dimungkinkan dilaksanakan di kawasan konservasi yang telah dimanfaatkan di zona pemanfaatan, rehabilitasi, dan tradisional.
Selain itu, aturan tersebut juga ditegaskan dengan Peraturan Direktorat Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Menurut Munawir, kemitraan konservasi dilakukan dalam rangka pemberdayaan dan pemberian akses bagi masyarakat yang sudah turun temurun untuk secara legal memanfaatkan kawasan konservasi. Melalui kemitraan ini, masyarakat dapat memungut hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, perburuan tradisional untuk satwa tidak dilindungi, maupun wisata alam terbatas.
“Selain pemberian akses, diatur juga kemitraan dalam rangka pemulihan ekosistem. Inilah yang kami lakukan khususnya di Desa Malasari (Bogor). Ini juga sama dapat memberikan legalitas kepada masyarakat yang telah memanfaatkan kawasan dan memiliki ketergantungan pada lahan garapan,” katanya.
Sejak 2019 sampai saat ini, terdapat tujuh kelompok tani hutan (KTH) di kawasan TNGHS yang melakukan kemitraan konservasi. Tujuh KTH tersebut terdiri dari empat kelompok di Sukabumi, dua kelompok di Lebak, dan satu kelompok di Bogor. Namun, dari tujuh KTH, baru satu kelompok yakni Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) Malasari Lestari yang melakukan kerjasama pemulihan ekosistem di wilayah zona rehabilitasi.
Terjaga
Selama satu tahun dilakukan kemitraan konservasi, kata Munawir, areal yang dikerjasamakan menjadi terjaga dari gangguan atau kegiatan perburuan, pembalakan liar, dan kebakaran. Ini terwujud karena masyarakat lokal ikut menjaga kawasan tersebut. Mereka juga melakukan pemulihan atau pengkayaan jenis tanaman secara mandiri.
Selain itu, masyarakat juga mendapat manfaat ekonomi untuk kehidupan sehari-hari. Bahkan, beberapa KTH mengembangkan sumber ekonomi lainnya di luar kawasan melalui usaha ternak.
“Dengan kemitraan ini, masyarakat bisa nyaman, tenang, dan tidak merasa terganggu dalam melakukan aktivitasnya sehingga terjadi komunikasi yang kooperatif dengan petugas,” ungkapnya.
Anggota KTHK Malasari Lestari, Endang Sukendar mengatakan, perjanjian kerjasama kemitraan konservasi dengan pengelola TNGHS ditetapkan pada 27 November 2020 dengan luas area 40,59 hektar. Area tersebut nantinya akan digunakan sebagai pertanian terpadu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bermacam-macam.
“Masyarakat perlu hutan tetapi di sisi lain tetap memperhatikan ekosistem yang ada di sekitar kawasan. Konsep pertanian terpadu ini di antaranya ada ternak, pertanian, dan agroforestri. Untuk pengayaan hutan, kami akan mengembangkan tanaman sulibra atau kina untuk di batas garapan masyarakat dan akan digunakan sebagai produksi non-kayu,” tuturnya.
Menangani konflik tenurial
Tenaga Ahli KLHK Bidang Konflik Agraria dan Mediasi, Rivani Noor Machdjoeri mengatakan, akses pemanfaatan hutan bagi masyarakat lokal menjadi salah satu cara pemerintah dalam menangani dan mencegah terjadi konflik pengelolaan lahan hutan atau tenurial. Sebab, selama ini konflik tenurial terjadi akibat tingginya ketimpangan pemanfaatan hutan antara korporasi dengan masyarakat.
Berdasarkan data KLHK, hingga 2017, pemanfaatan hutan dari korporasi tercatat seluas 40,6 juta hektar, sedangkan masyarakat hanya 1,7 juta hektar. Ini membuat persentase pemanfaatan hutan dari korporasi sebesar 95,76 persen dan masyarakat hanya 4,14 persen.
Dalam penanganan konflik tenurial ini, kata Rivani, diperlukan kejelasan subyek, obyek, data dan dokumen, serta tawaran atau tuntutan. Kejelasan tersebut sangat penting agar setiap kasus dapat terverifikasi dengan baik sebelum dilakukan fasilitasi, mediasi, dan negosiasi.
“Yang dibutuhkan dalam penanganan konflik tenurial agar terjadi proses percepatan yaitu sinkronisasi kebijakan dan kolaborasi baik dari personel, kelembagaan, kapasitas, maupun sumber pendanaan. Selain itu juga harus ada sinergi di semua level pemerintah baik pusat, daerah, lintas sektor, dan lintas keahlian,” tuturnya.
Menurut Rivani, pemerintah saat ini juga sudah mencanangkan transformasi konflik tenurial. Tranformasi ini ditujukan untuk mengubah konflik tenurial menjadi relasi harmonis antarpara pihak termasuk mereka yang pernah berkonflik. Tranformasi juga harus memuat kelestarian ekologis dan peningkatan ekonomi mikro.
Transformasi ini dilakukan dengan sejumlah upaya, salah satunya melalui peningkatan perhutanan sosial. Hingga 11 September 2020, capaian perhutanan sosial telah mencapai 4,2 juta hektar dengan penerbitan surat keputusan izin sebanyak 6.673 unit. Selain itu, realisasi hutan adat juga telah mencapai 44.630 hektar di 66 lokasi yang tersebar di 25 kabupaten/kota.