BPPT mengembangkan inovasi ventilator di ruang gawat darurat yang sangat dibutuhkan pasien Covid-19. Ini bisa mengurangi ketergantungan pada impor.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 semakin menunjukkan tingginya ketergantungan Indonesia pada impor alat kesehatan. Selama ini, kondisi itu tidak menjadi persoalan karena kebutuhan alat kesehatan, di antaranya ventilator, bisa dengan mudah dipasok dari produsen luar negeri.
Namun, keterbatasan akses serta permintaan yang besar dari seluruh dunia di masa pandemi membuat pasokan alat kesehatan (alkes) tersebut sulit didapatkan. Kemandirian bangsa untuk memproduksi ventilator dalam negeri pun semakin mendesak. Ini tak hanya diperlukan selama pandemi tapi juga untuk jangka panjang.
Data laporan neraca dagang alat kesehatan dari Kementerian Kesehatan 2019, industri alkes meningkat sekitar 12 persen tiap tahun. Namun, 90 persen alkes masih diimpor.
Bahkan, khusus ventilator, tidak ada industri dari dalam negeri yang memproduksinya. Seluruh kebutuhan harus didatangkan dari luar negeri.
Hal ini yang menyebabkan kebutuhan penambahan ventilator di awal masa pandemi sulit dipenuhi. Padahal, alat ini amat diperlukan sebagai pertolongan pertama pada pasien Covid-19 yang mengalami gagal napas.
Kondisi itulah yang mendorong pemerintah melalui Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 menjadikan ventilator sebagai produk prioritas yang harus dihasilkan segera di dalam negeri. Sejumlah lembaga penelitian dan perguruan tinggi pun berlomba untuk bisa menghasilkannya.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) salah satunya. Setelah berhasil menghasilkan ventilator portabel (bergerak), kini telah dikembangkan lagi ventilator untuk kebutuhan di unit layanan intensif (ICU).
Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material BPPT Eniya Listiani Dewi, Sabtu (6/12/2020) mengatakan, ventilator ICU berbeda dengan ventilator darurat. Ventilator ICU dibekali teknologi dan fungsi yang lebih kompleks sehingga bisa digunakan untuk pasien dengan kondisi kedaruratan yang cukup berat.
“Di dalam ICU ventilator ini dilengkapi dengan moda ventilasi yang memiliki fungsi kontrol berdasarkan volume dan tekanan udara. Ini juga dibuat dengan sistem feedback pernapasan yang digunakan untuk membaca pernapasan yang timbul dari pasien,” katanya.
Selain itu, alat ini juga akan disertai dengan modul perhitungan volume oksigen dalam tubuh. Pasien dengan semua level kedaruratan bisa menggunakannya, mulai dari pasien yang membutuhkan oksigen bertekanan rendah sampai dengan pasien yang butuh bantuan oksigen dengan tekanan invasif.
Diharapkan, ventilator ICU ini dapat segera dihasilkan dan diproduksi secara massal untuk memenuhi kebutuhan layanan ICU di seluruh rumah sakit di Indonesia, terutama di rumah sakit tipe C dan rumah sakit tipe D. Saat ini, ketersediaan ventilator ICU masih terbatas. Dan sekali lagi, itu pun harus didapatkan melalui impor.
Selain untuk menggantikan produk ventilator impor, produk yang dikembangkan oleh BPPT ini juga dinilai akan lebih terjangkau. Untuk ventilator ICU impor biasanya membutuhkan biaya pengadaan sekitar Rp 800 juta sampai Rp 1,2 miliar per unit. Namun, ventilator ICU yang diproduksi dari dalam negeri ini diperkirakan tidak lebih dari Rp 300 juta per unit.
Eniya menuturkan, proses pengembangan ventilator ICU dari BPPT kini sedang dalam proses perakitan dan pengujian berulang. Pada akhir Desember 2020 ditargetkan sudah dapat diserahkan ke Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) untuk mendapatkan sertifikasi alat kesehatan.
Libatkan industri
Selain para peneliti dari BPPT, pengembangan ventilator ICU ini juga sudah melibatkan pihak industri yakni dari PT Dharma Precission Tools. Industri ini pula yang nantinya diharapkan bisa memproduksi produk ventilator ini secara massal. Ditargetkan pada Juni 2021, produk ini sudah siap diproduksi.
Dalam pengembangan ini pula, para peneliti telah mengacu pada ISO 80601-2-2012:2020 yang menjadi standar untuk produk ventilator ICU yang digunakan secara umum. Dengan begitu, ventilator yang diproduksi ini nantinya bisa digunakan dalam jangka panjang, tidak hanya untuk kebutuhan pandemi ini saja.
“Sehingga nantinya sertifikasi dari BPFK akan berlaku umum, bukan terbatas pandemi saja. Pada tahapan komersial akan berlaku selamanya dan berkelanjutan,” tutur Eniya.
Kendala
Ia menuturkan, sejumlah kendala dihadapi dalam pengembangan alat ini. Itu terutama pada bahan baku alat pada komponen senssor yang masih harus diimpor. Pada awal pandemi, bahan baku masih sulit didapatkan tetapi kini relatif lebih mudah karena sejumlah akses sudah dibuka kembali.
Adapun tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dari alat ini masih kurang dari 30 persen. Komponen impor yang dibutuhkan masih cukup banyak dan komponen itu harus masuk dalam kategori level kesehatan dan keamanan yang baik.
“Untuk percepatan produksi dari alat ini diperlukan dana uji klinis yang memadai serta kerja sama dari seluruh rumah sakit. Sementara ini kita targetkan bisa segera menghasilkan setidaknya dua unit ventilator untuk mengejar syarat uji klinis,” ujar Eniya.
Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, ventilator ICU merupakan bentuk pengembangan dari tiga model ventilator darurat yang sudah dihasilkan oleh BPPT sebelumnya. Kerja sama pentahelix yang melibatkan pemerintah, akademisi, masyarakat, pengusaha, dan media; juga terus dilakukan untuk mempercepat pencapaian hasil inovasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat.
“Kebutuhan ventilator saat ini menjadi krusial lantaran semakin banyak pasien Covid-19 yang membutuhan bantuan oksigen. Ini juga diperlukan bahkan setelah pandemi selesai sebagai substitusi produk ventilator yang selama ini diimpor,” katanya.