Komputer dan Kecerdasan Buatan Bantu Rancang Vaksin dan Obat Covid-19
Dibantu komputer dan kecerdasan buatan, para peneliti merancang calon vaksin ultrapoten hingga rancangan obat yang dapat menyerang protein utama virus SARS-CoV-2.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun sejumlah calon vaksin Covid-19 telah mencapai fase akhir uji klinis, para peneliti tetap terus mencari vaksin dan obat yang dipercaya memiliki kemampuan lebih tinggi. Dibantu komputer dan kecerdasan buatan, para peneliti merancang calon vaksin ultrapoten hingga rancangan obat yang dapat menyerang protein utama virus SARS-CoV-2.
Para peneliti dari Department of Biochemistry dan Institute for Protein Design University of Washington AS telah merancang calon vaksin Covid-19 yang dinilai dapat memicu reaksi kekebalan yang jauh lebih kuat dibandingkan imunitas alami yang dimiliki penyintas.
Temuan yang diumumkan pada Senin (2/11/2020) tersebut diraih dengan cara mendesain sendiri struktur nanopartikel vaksin tersebut melalui bantuan komputer.
”Jadi, kami mengambil sedikit bagian kecil protein dari (SARS-CoV-2) dan kami kemudian memasangkan protein ini ke struktur nanopartikel yang kami rancang,” kata Brooke Fiala, peneliti yang menjadi salah satu pemimpin riset ini.
Fiala meneliti di laboratorium yang dipimpin oleh Neil King, asisten profesor bidang biokimia University of Washington, inventor teknik pembuatan vaksin melalui komputer (computational vaccine design).
Hasilnya, ketika diujicobakan kepada hewan, calon vaksin ini menghasilkan antibodi 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan calon vaksin konvensional lainnya. Menariknya, capaian ini dapat diraih dengan dosis yang jauh lebih sedikit.
Fiala mengatakan, hal ini diperkirakan karena bentuk struktur vaksin yang mirip dengan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tersebut. Temuan ini telah dipublikasikan di jurnal ilmiah terkemuka Cell” pada 26 Oktober 2020.
Calon vaksin ini juga memicu reaksi imunitas terhadap lebih dari satu jenis protein spike pada virus korona. Spike adalah struktur pada virus yang membukakan jalan bagi virus untuk menginfeksi sel manusia. Oleh karena itu, diperkirakan vaksin ini juga akan dapat mempertahankan imunitas meski melawan virus korona yang mengalami mutasi.
Kolega Fiala sesama pemimpin riset ini, Alexandra Walls, mengatakan, dengan kemampuan memicu kekebalan yang tinggi tersebut, ia berharap dapat melakukan apa yang disebut dengan dose sparing.
”Artinya, dengan dosis yang sama, jumlah orang yang bisa divaksinasi lebih banyak sehingga dapat menjangkau lebih banyak orang,” kata Walls.
Calon vaksin ini juga memiliki keunggulan, yakni dapat disimpan stabil tanpa bantuan lemari pendingin khusus, seperti sejumlah calon vaksin Covid-19 lainnya yang ada dalam pengembangan saat ini.
Calon vaksin yang dikembangkan oleh Moderna harus disimpan dalam ruangan minus 20 derajat celsius. Sementara yang dikembangkan oleh Pfizer harus dijaga temperaturnya tetap pada minus 80 derajat celsius.
Vaksin yang dikembangkan oleh AstraZeneca dan University of Oxford Inggris pun diperkirakan harus disimpan di lemari es, seperti yang dilaporkan oleh Wall Street Journal.
”Kami berharap vaksin nanopartikel kami dapat melawan pandemi yang telah mengacaukan dunia saat ini,” kata King.
University of Washington telah membuka jalur bagi perusahaan bioteknologi untuk melisensi kandidat vaksin tersebut tanpa royalti di masa pandemi. Salah satu perusahaan adalah Icosavax yang berbasis di Seattle, AS, dan SK Bioscience yang berbasis di Korea Selatan.
Kecerdasan buatan
Pemanfaatan teknologi komputer untuk merancang ”senjata” melawan Covid-19 juga hadir dalam bentuk penggunaan model kecerdasan buatan. Para peneliti di Michigan State University (MSU) berhasil membuat sebuah model machine learning yang memungkinkan simulasi reaksi kimia terhadap sebuah protein penting pada virus SARS-CoV-2.
Tim yang dipimpin oleh Guo Wei Wei, profesor dari Departemen Matematika MSU, telah menemukan karakteristik molekuler yang harus dilakukan untuk ”menonaktifkan” protease utama atau main protease pada virus tersebut.
Main protease ini memegang peranan penting bagi virus untuk melakukan replikasi. Jika main protease ini dapat dihentikan aktivitasnya, virus tidak akan bereplikasi dalam tubuh manusia. Idealnya, sebuah obat untuk Covid-19 berhasil melakukan ini.
Pada pembuatan obat yang konvensional, Wei mengatakan, peneliti akan mengujicobakan seribu jenis bahan kimia ke hewan untuk menemukan bahan yang tepat. Namun, dengan model kecerdasan buatan yang dikembangkannya, proses ini dapat menyaring dan menemukan kandidat obat yang lebih kuat peluang keberhasilannya.
Wei mengatakan, model kecerdasan buatan ini dapat menghemat dana dan waktu. Menurut dia, ini adalah sebuah cara untuk membantu para pengembang obat melakukan prioritas dalam penelitiannya sehingga mereka tidak perlu membuang-buang sumber daya untuk memeriksa satu per satu.
Sederhananya, dengan bantuan kecerdasan buatan, Wei dan timnya telah menemukan semacam ”rumus” untuk membuat obat yang dapat menonaktifkan protease utama virus korona.
”Pada dasarnya, jika para pengembang obat tertarik untuk membuat obat baru, kami telah menunjukkan apa saja yang harus dilakukan,” kata Wei.
Namun, Wei mengingatkan bahwa model yang ia ciptakan tersebut tidak dapat menggantikan, baik uji preklinis pada hewan maupun uji klinis pada manusia.