Kekerasan seksual di dunia kampus merupakan puncak gunung es. Sebagian besar kasusnya tidak terungkap dan tidak dilaporkan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual semakin marak di dunia kampus Indonesia. Pada saat yang sama, pers mahasiswa yang menjadi media kritis mengawal kegiatan sivitas akademika banyak yang mengalami tekanan dan pemberangusan.
Kekerasan seksual dan tekanan terhadap pers mahasiswa ini menjadi sorotan utama dalam pertemuan tahunan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) hari kedua, Kamis (5/11/2020).
”Pelaku kekerasan seksual, terutama yang dari kalangan dosen, umumnya tidak mendapatkan sanksi. Akibatnya, pelaku bisa terus menjalankan aksinya. Ada satu kampus di Malang yang melakukan kekerasan seksual kepada mahasiswi hingga ke beberapa angkatan dengan modus yang sama dan diulang-ulang,” kata pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jawa Timur, Dhia Al Uyun.
Menurut Dhia, yang juga peneliti pada Woman’s Crisis Center (WCC) Dian Mutiara, kekerasan seksual di dunia kampus merupakan puncak gunung es. Sebagian besar kasusnya tidak terungkap dan tidak dilaporkan. ”Ada laporan kasus kekerasan seksual di 79 perguruan tinggi di Indonesia. Budaya patron klien di kampus menyebabkan dosen dianggap sebagai orang yang harus dihormati dan tidak pernah berbuat salah,” katanya.
Sebaliknya, menurut Dhia, korban dan pihak yang mendampingi justru mendapat tekanan dan ancaman. ”Mahasiswa yang jadi korban dan pers mahasiswa yang mendampingi justru mendapatkan tekanan dan dianggap melakukan pencemaran nama baik dan merugikan kampus. Kekerasan seksual dipertentangkan dengan pencemaran nama baik institusi. Ini terjadi di Yogyakarta dan Malang,” tuturnya.
Berdasar kajian yang dilakukan Dhia dan tim, sebanyak 80-90 persen pelaku kekerasan seksual di kampus adalah orang terdekat. Ketika kemudian terungkap, pelaku kerap selamat dari jerat pidana. ”Bahkan, ada kasus yang pelaku dosen kekerasan seksual yang diminta menikahi mahasiswi yang jadi korbannya. Padahal, korbannya mengalami trauma seumur hidup,” katanya.
Dengan kondisi ini, kekerasan seksual di kampus cenderung meningkat. ”Selama pandemi 2020 ini, kekerasan seksual ternyata justru meningkat walaupun modusnya mengalami perubahan,” katanya.
Menurut Dhia, selama pandemi ini, banyak kekerasan seksual dilakukan secara digital. Misalnya, pelaku mengirim gambar dan video porno kepada korban. ”Data WCC kasus kekerasan seksual selama pandemi ini meningkat tiga sampai delapan kali. Banyak kasus yang melibatkan mantan pacar,” katanya.
Dhia mengatakan, kampus harus menjamin agar penyintas dapat jaminan kasusnya terselesaikan, memberikan hukuman setimpal kepada pelaku, dan melindungi korban. ”Kampus harus menjadi preseden yang baik atas persoalan kekerasan sosial yang telah menjadi masalah nasional,” katanya.
Tekanan ke mahasiswa
Masayu yang mewakili Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia menyampaikan berbagai kasus kekerasan dan tekanan yang dialami pers kampus. Kekerasan dialami saat peliputan hingga setelah penulisan.
Misalnya, pada 20 Maret 2020, anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Progress, Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta, mendapat kekerasan fisik dan ancaman pembunuhan dari salah satu organisasi mahasiswa karena tulisannya.
Kasus lainnya, pada Agustus 2020 anggota LPM Cakrawala Ide dari Universitas Muslim Indonesia, Makassar, mendapat intimidasi dari salah satu dekan di kampusnya karena meliput demonstrasi terkait biaya pendidikan gratis. Intimidasi tersebut berupa ancaman tindak pidana pencemaran nama baik hingga skorsing dan dikeluarkan dari kampus.
Kekerasan juga dilakukan oleh aparat dan pihak luar kampus, seperti dialami LPM Siar Universitas Negeri Malang. Pada Minggu 19 April 2020, Polres Malang menangkap dan menahan anggota LPM Siar karena aktivitasnya mengkritik penambangan dan kerusakan lingkungan. Pada 12 September 2020, tiga anggota Persma Makassar ditangkap Polairud karena melakukan peliputan aksi nelayan yang bersengketa dengan perusahaan.
Koordinator KIKA Herlambang P Wiratraman mengatakan, bentuk-bentuk tekanan terhadap dunia akademis, baik dialami dosen maupun mahasiswa, ini bukan hal yang baru. Namun, fenomena ini cenderung menguat di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sementara itu, dunia kampus sendiri juga sarat masalah, di antaranya maraknya kekerasan seksual. ”Tekanan terhadap dunia akademik ini menandai menguatnya otoritarianisme dan juga rezim antisains,” katanya.