Ulah Manusia di Balik Pandemi
Pandemi bakal muncul lebih sering, menyebar lebih cepat, lebih merusak ekonomi dunia, dan membunuh lebih banyak orang dibandingkan Covid-19, kecuali jika manusia mengubah pola interaksinya dengan alam.
Pandemi bakal muncul lebih sering, menyebar lebih cepat, lebih merusak ekonomi dunia, dan membunuh lebih banyak orang dibandingkan Covid-19, kecuali jika manusia mengubah pola interaksinya dengan alam.
Virus korona SARS-CoV-2 baru yang memicu pandemi Covid-19 adalah produk evolusi alami. Namun, evolusi virus korona yang semula berinang di kelelawar hingga menjadi pandemi yang mematikan ini jelas karena ulah manusia dan karena itu bisa dicegah dengan memperbaiki relasi kita dengan alam.
Dengan menganalisis data urutan genom dari SARS-CoV-2, para ahli telah membuktikan virus tersebut tidak dibuat di laboratorium. ”Kami menyimpulkan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses alami,” kata Kristian Andersen, profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research Institute, Amerika Serikat, dalam publikasinya di jurnal Nature Medicine (Maret, 2020).
Kesimpulan ini dibuat setelah Kristian dan tim menemukan bahwa bagian dari domain pengikat reseptor (receptor-binding domain/RBD), semacam kait pengikat yang mencengkeram sel inang, dari protein paku (spike protein) SARS-CoV-2 telah berevolusi secara alami, sebagai hasil seleksi alam, bukan rekayasa genetika. Protein paku SARS-CoV-2 sangat efektif dalam mengikat sel manusia yang disebut ACE2.
Baca juga : Lagi, AS Klaim Virus Korona Baru Berasal dari Laboratorium China
Bukti evolusi alam ini didukung oleh data ”tulang punggung” atau struktur molekul SARS-CoV-2. Jika seseorang berusaha merekayasa virus korona baru sebagai patogen, kata Kristian, mereka akan membuatnya dari ”tulang punggung” virus yang diketahui menyebabkan penyakit.
Namun, struktur molekul SARS-CoV-2 berbeda secara substansial dari yang ada pada virus korona yang sudah dikenal sebelumnya, justru sebagian besar mirip dengan virus terkait yang ditemukan pada kelelawar dan trenggiling.
”Dua ciri virus ini, mutasi di bagian RBD protein paku dan tulang punggungnya yang berbeda, mengesampingkan manipulasi laboratorium sebagai asal potensial untuk SARS-CoV-2,” kata Andersen.
Di dunia virologi, korona sebenarnya merupakan keluarga besar virus dan sebagian besar tidak atau belum menjadi penyakit pada manusia. Namun, beberapa di antaranya menjadi sumber penyakit parah, di antaranya virus korona SARS-CoV yang memicu epidemi infeksi saluran pernapasan akut parah (SARS) tahun 2003 di China. Selain itu, virus korona juga pernah memicu wabah mematikan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) pada 2012.
Peluang menguat
Baik SARS-CoV-2 ataupun pendahulunya sebelumnya berinang pada binatang, terutama kelelawar. Meskipun demikian, lompatan virus dari binatang ke manusia atau dikenal sebagai zoonosis hingga menjadi wabah tidak bisa dilepaskan dari ulah kita sendiri.
Laporan Panel Ilmiah untuk Keanekaragaman Hayati PBB (IPBES), yang dirilis pada Kamis (29/10/2020), menegaskan peran manusia dalam kemunculan setiap pandemi. ”Meskipun berasal dari virus yang dibawa oleh hewan seperti semua pandemi, kemunculan Covid-19 sepenuhnya didorong oleh aktivitas manusia,” sebut Peter Daszak, Presiden Aliansi EcoHealth dan ketua tim penyusun laporan IPBES kali ini.
Covid-19 setidaknya merupakan pandemi kesehatan global keenam sejak Pandemi Influenza Besar atau flu Spanyol tahun 1918, yaitu tiga berasal dari kelompok virus influenza, dua dari virus korona, dan HIV/AIDS. Semua pandemi itu dipicu proses zoonosis, baik ditularkan melalui satwa liar maupun hewan ternak.
Baca juga : Belajar dari Sejarah Pandemi Flu Spanyol
Aktivitas manusia yang memicu terjadinya zoonosis itu, antara lain, pembukaan dan perambahan hutan, perluasan dan intensifikasi pertanian, perburuan dan perdagangan satwa liar, produksi dan konsumsi yang mengganggu alam dan meningkatkan kontak antara satwa liar, dan ternak skala besar.
Sekalipun pandemi telah terjadi sejak awal peradaban manusia, peluangnya menguat ketika alam liar yang menjadi benteng jutaan patogen itu menyusut karena ulah kita. Ancaman kepunahan 1 juta spesies hayati, seperti disebutkan dalam laporan IPBES tahun 2019, ternyata juga menjadi salah satu pemicu risiko pandemi di masa depan.
Kajian Kate Jones, ahli pemodelan ekologi dari University College London, dan tim di jurnal Nature pada 5 Agustus 2020 menemukan kaitan erat hilangnya keragaman hayati dengan wabah penyakit.
Kajian yang menganalisis 6.800 lokasi di enam benua ini menemukan populasi spesies inang penyakit yang dapat menular ke manusia, termasuk 143 mamalia, seperti kelelawar, tikus, dan berbagai primata, justru meningkat seiring dengan perubahan hutan ke perkotaan. Ketika sebagian spesies di alam liar punah akibat ulah manusia, mereka yang bertahan dan berkembang itu cenderung menyimpan lebih banyak patogen dan parasit berbahaya.
Penelitian Jones ini satu dari 700-an kajian ilmiah yang jadi dasar laporan IPBES 2020. Karena itu, jika perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan ini terus berlanjut, hanya soal waktu pandemi berikutnya akan terjadi. Ini karena di alam liar sekitar 1,7 juta virus yang ”belum ditemukan” hidup pada mamalia dan burung, yang 850.000 di antaranya memiliki karakter dapat menginfeksi manusia.
Hampir semua pandemi dimulai dengan kejadian infeksi tunggal. Untuk zoonosis dari satwa liar, bisa dimulai oleh orang, atau sekelompok orang yang melakukan kontak dengan hewan yang terinfeksi patogen. Patogen ini bisa berupa virus atau bakteri kemudian menggandakan diri di sel tubuh penular awal ini dan kemudian menularkannya ke orang lain.
Data menunjukkan bahwa peristiwa limpahan sering terjadi di seluruh dunia, tetapi sebagian besar infeksi tidak dapat menyebabkan penularan lebih lanjut. Ibaratnya korek api yang dilempar ke semak, dalam lemparan pertama belum tentu memicu kebakaran. Semakin sering melempar korek api ke semak, peluang untuk terbakar pasti semakin tinggi.
Ketika patogen ini pada akhirnya berhasil melompat ke komunitas manusia berkepadatan tinggi, seperti terjadi pada Covid-19 yang awalnya menyebar di pasar hewan hidup dan kota Wuhan di China, maka wabah menjadi besar.
Mobilitas yang tinggi membantu meluasnya penyebaran. Seperti kebakaran hutan yang meluas dan melintasi banyak wilayah karena diembus angin kencang, pandemi menjadi global.
Perubahan perilaku
Laporan IPBES ini juga mengkritik upaya mengatasi pandemi dengan mengandalkan obat-obatan dan vaksin. Selain bakal menelan banyak korban jiwa, pandemi yang telanjur membesar juga sangat merugikan. Misalnya, pandemi Covid-19 ini hingga Juli 2020 telah merugikan ekonomi dunia 16 triliun dollar AS atau sekitar Rp 234 triliun.
Karena itu, Daszak menyarankan, langkah terbaik adalah pencegahan timbulnya pandemi, di antaranya mengurangi aktivitas yang mendorong hilangnya keanekaragaman hayati, memperluas konservasi kawasan lindung, hingga mencegah kebakaran hutan. Dalam skala individu, laporan ini juga menyarankan agar kita mengubah perilaku dengan mengurangi konsumsi pada daging, yang menjadi pemicu bagi peternakan skala besar ataupun perburuan.
”Ini akan mengurangi kontak satwa liar-ternak-manusia dan membantu mencegah penyebaran penyakit baru,” sebut Daszak. ”Anda menaruh 1 dollar AS untuk pencegahan, Anda mendapatkan pengembalian 100 dollar AS di masa depan.”
Perubahan sikap yang semakin mendesak untuk dilakukan itu, jelas bukan hanya untuk menyelamatkan spesies lain, tetapi ini juga merupakan untuk menyelamatkan diri kita sendiri. Tak hanya kepunahan dari pandemi, tetapi juga perubahan iklim, karena hampir semua akar penyebab dan pencegah pandemi ini juga beririsan dengan persoalan perubahaan iklim.
Baca juga : Mengatasi Perubahan Iklim Mencegah Pandemi