Milenial Berperan Mengubah Lingkungan Menjadi Lebih Baik
Anak muda zaman sekarang atau generasi milenial berpotensi menjadi agen perubahan dalam perbaikan lingkungan hidup. Gerakan mereka bisa sangat masif sehingga memengaruhi kebijakan maupun perilaku masyarakat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sampai saat ini telah banyak generasi milenial yang memberikan sumbangsih di berbagai bidang tak terkecuali berkiprah di isu lingkungan hidup. Mereka melakukan berbagai gerakan dan inovasi hingga membentuk komunitas untuk menanggulangi permasalahan lingkungan yang ada di masyarakat.
Spesialis Media Digital Yayasan Madani Berkelanjutan Delly Ferdian mengatakan, upaya membangkitkan pembangunan yang ramah lingkungan juga dapat dilakukan oleh generasi milenial dengan berbagai gagasan. Ia pun mengembangkan konsep ekonomi hijau berbasis milenial yang diwujudkan melalui berbagai gerakan dan kegiatan.
“Konsep dari ekonomi hijau milenial ini yaitu mengembangkan dan menciptakan gaya hidup ramah lingkungan seperti penggunaan tumbler untuk minum dan membawa kantong sendiri saat belanja untuk mengurangi pemakaian kantong plastik sekali pakai,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia”, Senin (2/11/2020).
Milenial juga dapat melakukan kampanye lingkungan di media sosial dan mengembangkan komunitas atau perusahaan rintisan berbasis lingkungan. Gerakan dan gagasan tersebut dapat terus digencarkan karena milenial sangat identik dengan media sosial atau gawai serta penciptaan ekonomi kreatif. Mulai dari permasalahan sampah, perubahan iklim, penanaman pohon, hingga pelestarian alam menjadi bidang-bidang yang bisa digeluti anak muda.
Sampah elektronik
Salah satu komunitas berbasis lingkungan yang telah dikembangkan milenial yaitu EwasteRJ. Komunitas EwasteRJ yang mulai diinisiasi sejak 2015 ini bertujuan untuk mengatasi masalah sampah elektronik, memfasilitasi, dan menyosialisasikan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) khususnya elektronik kepada masyarakat.
Komunitas EwasteRJ membuat sebuah program midpoint e-waste dengan fasilitas kotak penampung (drop box) di beberapa titik di ruang publik. Setelah sampah terkumpul di mitra, drop box akan dikirim ke Sekretariat EwasteRJ untuk dipilah berdasarkan kategori. Sampah tersebut kemudian akan diangkut oleh perusahan pengolah dan pendaur ulang sampah elektronik yang telah bekerjasama dengan EwasteRJ.
Lokasi pengumpulan (drop zone) saat ini sudah ada di 11 kota dengan jumlah 18 titik di antaranya di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Palembang, dan Denpasar. Mayoritas titik berada di Jakarta karena EwasteRJ bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
Pendiri Komunitas EwasteRJ Rafa Jafar menjelaskan, komunitas ini didirikan karena sampai saat ini pemahaman masyarakat terhadap pengolahan sampah elektronik masih rendah. Masyarakat masih menganggap pengolahan sampah elektronik sama dengan sampah rumah tangga pada umumnya. Padahal, sampah elektronik masuh ke dalam limbah B3.
Salah satu bahan berbahaya dalam sampah elektronik dari ponsel adalah magnesium karbonat yang dapat mengganggu pernapasan. Layar dalam ponsel juga mengandung aluminium, silikon dioksida, dan timah yang bisa membuat iritasi kulit. Sementara bahan B3 lainnya berasal dari baterai dalam ponsel yang mengandung merkuri, mangan, timbal, kadmium, nikel, dan lithium.
“Kita membuang sampah elektronik ke tempat yang salah dan tidak tahu setelah dibuang mungkin akan bercampur dengan sampah lain dan diambil pemulung. Ini akan membuat banyak sekali pengolahan sampah elektronik yang salah dan racun akan menyebar ke lingkungan kita,” kata Rafa yang masih duduk di bangku SMA ini.
Selain itu, sampah elektronik juga dapat menjadi permasalahan lingkungan yang serius di masa mendatang. Sebab, sampah elektronik tidak hanya dihasilkan oleh individu atau masyarakat pengguna gawai seperti ponsel atau komputer bekas, tetapi juga korporasi dengan jumlah besar.
“Ambil contoh saja rumah sakit yang banyak menggunakan peralatan teknologi dan elektronik. Kalau misalnya peralatan tersebut sudah rusak, pasti akan menjadi sampah elektronik. Jadi sampah elektronik tidak hanya dihasilkan skala rumah tangga tetapi perusahaan besar,” tuturnya.
Selama lima tahun beroperasi, EwasteRJ telah mendaur ulang lebih dari 4 ton sampah elektronik. Namun, angka daur ulang dari EwasteRJ ini dinilai Rafa masih belum cukup untuk mengatasi permasalahan sampah elektronik di Indonesia. Sebab, setiap tahunnya Indonesia menghasilkan lebih dari 1 juta ton sampah elektronik karena perilaku masyarakat yang sangat konsumtif terhadap pemakaian gawai.
“Jadi bukan hanya perubahan dari konsumen yang harus dilakukan tetapi juga dari produsen untuk membuat perangkat elektronik yang bisa didaur ulang 100 persen. Daur ulang menjadi proses yang sangat penting. Sebagai konsumen, kita bisa mulai mengubah perilaku dengan membeli produk yang kita butuhkan, bukan kita inginkan,” ujarnya.