Pembenahan sistem pangan yang menuju kemandirian dan kesejahteraan petani bisa dilakukan melalui sejumlah terobosan yang kreatif. Ini bisa dilakukan jika semua pihak memiliki keberpihakan dan menjalankan dengan serius.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para buruh penggarap melewati tanaman ubi yang digarap bersama-sama di salah satu lahan di wilayah Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (24/9/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah melemahkan ketahanan pangan nasional, terutama sisi hilir dari rantai pasok pangan. Selain menyelesaikan tantangan jangka pendek, dibutuhkan reorientasi kebijakan pangan nasional guna mengendalikan impor.
Tantangan dan peluang pangan di tengah pandemi ini menjadi topik diskusi daring Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Senin (26/10/2020). Diskusi mengundang dua profesor riset, yaitu Ketua Majelis Profesor Riset Kementerian Pertanian Tahlim Sudaryanto dan ahli bioteknologi LIPI, Endang Tri Wargawati.
Tahlim mengatakan, sejauh ini belum ada dampak langsung Covid-19 kepada petani. Ini karena belum adanya kluster di sektor pertanian. Aktivitas pertanian dinilai relatif aman karena bekerja di luar ruangan di bawah sinar matahari.
Namun, petani tetap menghadapi risiko saat berinteraksi dengan pemasok sarana roduksi dan pelaku usaha di segmen hilir. Petani juga tetap berisiko dalam kapasitas sebagai masyarakat secara umum, saat di lingkungan rumah atau melakukan aktivitas lain.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA.
Beras Perum Bulog dijual di pasar murah oleh Perum Bulog NTT, untuk mengatasi harga beras yang terus menanjak. Beras ini dijual dengan harga relatif lebih murah dibanding beras di tangan pedagang.
Menurut Tahlim, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan saat ini juga menjadi penyangga ekonomi nasional dengan tetap tumbuh sekitar 2,19 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. ”Sektor tanaman pangan tumbuh paling tinggi, yaitu 9,23 persen. Ini menunjukkan masih tingginya pertumbuhan produksi pangan,” ujarnya.
Meski demikian, saat ini sektor pertanian menghadapi sejumlah tantangan berat, sebagian di antaranya merupakan persoalan yang telah terjadi sejak sebelum pandemi. Selain alih fungsi lahan, sektor pertanian juga menghadapi arus balik tenaga kerja dari kota ke desa selama pandemi ini.
Tahlim menambahkan, persoalan serius juga terjadi karena adanya gangguan rantai pasok dan pemasaran komoditas pangan. Data Badan Pusat Statistik 2020 menyebutkan, 41,9 persen penduduk mengalami penurunan pendapatan. Ini juga diikuti penurunan permintaan pangan dari rumah tangga dan industri restoran, hotel, dan pengolahan.
Penurunan permintaan dan pembelian ini menyebabkan penurunan harga di tingkat petani. ”Terutama produk yang mudah busuk, seperti sayuran,” ujarnya.
Di sektor peternakan, penjualan daging ayam juga turun 30-50 persen, sedangkan daging sapi turun 40 persen. Pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga membatasi wisata dan hajatan yang menyebabkan penururan permintaan daging domba dan kambing 60-70 persen.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Sejumlah sapi dari beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat dipamerkan dalam Kontes Ternak Jabar di GOR Singalodra, Kabupaten Indramayu, Jabar, Selasa (23/7/2019). Saat ini peternak lokal baru mampu memenuhi 20 persen kebutuhan daging sapi di Jabar.
Di sisi lain, menurut Tahlim, terjadi perubahan perilaku konsumen. Mengacu pada kajian Ariani (2020), sekitar 56 persen responden justru meningkat pengeluarannya untuk pangan, 62,5 persen mengubah kebiasaan makan, di mana 59 persen di antaranya menambah keragaman konsumsi pangan.
Selain itu, banyak orang juga beralih dengan membeli makanan jadi atau siap konsumsi. Daging cenderung diganti dengan ikan dan tahu atau tempe yang harganya lebih murah. ”Ada juga tren konsumsi rempah, seperti jahe dan temulawak, meningkat 50 persen,” katanya.
Tahlim mengatakan, pandemi Covid-19 jelas melemahkan ketahanan pangan, terutama di sisi hilir dari rantai pasok pangan. Karena itu, selain kebijakan jangka pendek, dibutuhkan reorientasi kebijakan ketahanan pangan ke depan sehingga lebih tahan terhadap berbagai gangguan yang akan selalu terjadi ke depan.
Menurut dia, reorientasi itu meliputi pengendalian impor pangan untuk melindungai petani dan pasar domestik yang rentan terganggu jika tergantung pasokan dari luar. Untuk mencapai kemandirian itu, penting didorong penguatan riset dan inovasi untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, dan biaya produksi.
Selain itu, menurut Tahlim, perlu dilakukan pula peningkatan sistem informasi peringatan dini untuk petani, penyusunan sosialisasi dan protokol kesehatan untuk petani, serta diversifikasi kegiatan usaha tani.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Para petani di Desa Belanti Siam menyiapkan benih sebelum ditanam di lokasi food estate pada Sabtu (10/10/2020). Mereka semua adalah transmigran yang datang sejak 1982-1997 dari pulau Jawa.
Optimalkan lahan
Endang mengatakan, selain menghadirkan berbagai masalah, pandemi ini juga memicu peluang dan kreasi baru di sektor pangan. Beberapa peluang itu, di antaranya mengoptimalkan lahan perkotaan untuk pertanian, termasuk dengan menanam padi nonsawah, bertani secara terintegrasi dengan penekanan pada diversifikasi tanaman, dan pengolahan produk pascapanen.
”Ke depan perlu juga mengoptimalkan plasma nutfah sebagai lapis kedua sumber pangan walaupun tetap harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan,” tuturnya.
Endang menyebutkan beberapa praktik kreasi pengembangan pertanian yang bisa dikembangkan guna meningkatkan ketahanan pangan. Sebagian inovasi ini sudah ada sebelum pandemi dan sekarang bisa jadi momentum pengembangannya.
Kalau dulu hanya menanam sayur mayur dan buah-buahan semusim, ke depan bisa menanam padi dengan konsep hidroponik. (Endang Tri Wargawati)
”Kalau dulu hanya menanam sayur mayur dan buah-buahan semusim, ke depan bisa menanam padi dengan konsep hidroponik. Ini sudah ada di Magelang dan Malang. Selain itu, juga bisa mengembangkan padi organik, dengan paduan ikan,” tuturnya.
Untuk sektor peternakan, lesunya permintaan daging, menurut Endang, bisa dimanfaatkan dengan beriovasi menyiapkan bakalan atau bibit ternak, meningkatkan populasi, serta inovasi pakan ternak. Inovasi juga bisa dilakukan dengan melakukan rekayasa kelahiran kembar dan sejumlah kreasi lain.