Tunggu Semua Tahapan Uji Klinis Vaksin Covid-19 Tuntas
Semua tahapan uji klinis calon vaksin Covid-19 mesti dilakukan hingga tuntas dan dipublikasikan secara ilmiah. Hal itu bertujuan menjamin keamanan dan efikasi vaksin serta penerimaan publik, termasuk tenaga kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS—Para tenaga kesehatan yang menjadi target pertama menolak menerima vaksin Covid-19 sebelum semua tahapan uji klinisnya selesai dan dipublikasikan secara ilmiah. Keamanan dan efikasi atau kemanjuran vaksin tak bisa ditawar meski dengan alasan penggunaan darurat.
Jika alasannya vaksin telanjur dibeli, sebaiknya vaksin itu diberikan dulu kepada para pejabat dan anggota dewan perwakilan rakyat (DPR). "Organisasi profesi menolak jika vaksin Covid-19 diberikan sebelum uji klinis selesai,"kata Guru Besar dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, di Jakarta, Kamis (22/10/2020).
"Sebagai dokter, saya juga menolak karena vaksin harus berbasis bukti dan kaidah ilmu. Jangan main-main, harus dilihat keamanan dan efikasinya. Tidak bisa ditawar," kata Ari Fahrial.
Terkait hal itu, Ketua Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, Kamis (22/10/2020), menegaskan, pemerintah menjamin keamanan dan efektivitas vaksin Covid-19 yang akan diberikan. Vaksin baru diberikan jika lulus semua tahapan uji klinis.
”Vaksin yang akan diberikan kepada masyarakat harus lulus semua tahapan uji klinis sehingga aman dan efektif digunakan,” ujar Wiku.
Ari Fahrial menegaskan, pemerintah diminta menanti uji klinis selesai dan dievaluasi. Selain keamanan, vaksin yang diberikan harus memiliki efikasi atau kemanjuran yang tinggi. "Saat ini teman-teman dokter di puskesmas sudah didata untuk diberi vaksin. Ini meresahkan. Kenapa vaksin belum selesai uji klinik mau dipaksakan?" ujarnya.
Baca juga Jangan Paksakan Penggunaan Darurat Vaksin Covid-19
Alasan penggunaan darurat (emergency use athorization/EUA) dinilai tidak bisa dibenarkan untuk Indonesia saat ini. "Kita tidak bisa meniru China gunakan EUA. Kasus di sana terkendali karena tes, lacak, dan isolasi kasus, bukan karena vaksinasi Covid-19," ungkapnya.
Penerapan protoko kesehatan
Menurut dia, penularan Covid-19 untuk saat ini bisa dikurangi dengan penerapan protokol kesehatan. "Untuk tenaga kesehatan, sediakan saja alat pelindung diri lengkap dan suplemen, serta kenyamanan kerja. Tetapi, kalau pemerintah memaksa karena vaksin sudah diimpor, silakan diberikan dulu ke dewan, menteri, dan para pejabat lain," tegas Ari.
Dia juga menyarankan agar pemerintah melibatkan para ahli dan akademisi dalam menyusun strategi pemberian vaksin ke masyarakat. "Pertimbangannya harus ilmiah, sesuai prinsip kesehatan, tidak bisa politik atau ekonomi semata," kata dia.
Penolakan terhadap vaksin Covid-19 yang belum teruji juga dikemukakan dokter di lapangan. Tri Maharani, dokter spesialis emegensi dari Kediri, Jawa Timur, misalnya, mengatakan, tidak akan menerima vaksin sampai ada bukti ilmiah soal keamanannya melalui hasil uji kliniknya. "Kami mendukung vaksin yang aman dan terbukti efikasinya. Untuk saat ini, karena belum ada yang teruji klinis, kami sarankan jangan dulu. Jangan jadikan kami percobaan," tuturnya.
Baca juga Warga Khawatir Menjadi Percobaan Vaksin yang Belum Teruji
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Adib Khumaidi mengatakan, lembaganya sudah mengirim surat ke Kementerian Kesehatan agar berhati-hati memilih vaksin ini. Sesuai instruksi Presiden Joko Widodo, vaksin jangan dilakukan dimulai dengan tergesa-gesa.
Dalam surat yang ditandatangani Ketua Umum IDI Daeng M Faqih ini disebutkan, vaksin yang disediakan dan digunakan harus sudah terbukti efektivitas, imunogentias, dan keamanannya. Ini dibuktikan melalui uji klinik fase tiga yang sudah dipublikasikan,
Dari data yang ada, menurut Daeng, saat ini uji coba vaksinasi Sinovac di Brasil sudah dilaksanakan pada 9.000 relawan. Namun, hasil uji klinis belum ada dan baru akan dikeluarkan setelah vaksinasi dilakukan kepada 15.000 relawan.
Selain China dan Rusia, yang telah menyetujui penggunaan darurat enam vaksin buatan mereka, negara-negara lain masih menunggu data lebih banyak dari hasil uji kliis fase 3. Sejauh ini para peneliti sedang menguji 48 vaksin dalam fase uji klinis pada manusia, dan setidaknya 89 vaksin praklinis sedang dalam penyelidikan aktif pada hewan. Belum satu pun yang mendapat persetujuan penggunaan secara luas, berbasis bukti ilmiah.
Menjamin keamanan
Wiku Adisasmito mengatakan, pemerintah menjamin keamanan dan efektivitas vaksin Covid-19 yang diberikan kepada masyarakat. Vaksin diberikan jika lulus semua tahapan uji klinis.
Pengembangan vaksin dimulai dengan riset dasar untuk mengenali virus dan sel-sel yang diinfeksi. Kemudian, uji preklinis diadakan dengan menguji calon vaksin pada sel lalu pada hewan percobaan. Jika uji preklinis tuntas dan aman, baru uji klinis yang terdiri atas tiga fase dilakukan. Apabila uji klinis fase ketiga selesai dengan hasil memuaskan, ada fase persetujuan dari lembaga pengawas obat dan makanan. Produksi massal dilakukan setelahnya.
Baca juga Vaksin Covid-19 Dipastikan Lulus Semua Tahapan Uji
Hingga kini, belum ada negara yang memproduksi vaksin Covid-19 secara massal. Pemerintah RI berupaya menyediakan vaksin dari luar negeri dan dalam negeri. Beberapa produsen vaksin yang bekerja sama adalah Sinovac, Sinopharm, Cansino, Astrazeneca, dan Genexine.
”Pengembangan vaksin perlu berhati-hati, tetapi tanggap terhadap perubahan dinamis di masa pandemi ini,” ujar Wiku.
Vaksinasi akan dilakukan pada kelompok prioritas penerima vaksin, yakni para pekerja di garda terdepan dan berisiko tinggi tertular. Setelah itu, vaksin didistribusikan kepada penduduk lain dengan target 60-80 persen penduduk Indonesia di akhir 2021.
Menurut Wiku, pemerintah masih mengidentifikasi masyarakat yang akan didahulukan untuk mendapatkan vaksinasi wajib dan gratis ini. Keputusan mengenai daerah yang menjadi prioritas untuk mendapatkan vaksin juga masih difinalisasi. Karena itu, Wiku meminta pemerintah daerah tidak mengumumkan secara sepihak.
Secara umum, kata Wiku, pemerintah berusaha mencapai pemerataan vaksin setinggi-tingginya. Dengan demikian, diharapkan bisa tercapai kekebalan komunitas.
Hati-hati
Seperti dilaporkan kantor berita Associated Press, Presiden Brasil Jair Bolsonaro mengatakan pemerintah federal tidak akan membeli vaksin Covid-19 dari Sinovac, China. “Orang-orang Brasil tidak akan menjadi kelinci percobaan siapa pun,” kata Bolsonaro. Menurut dia, vaksin Sinovac belum menyelesaikan pengujian, seperti halnya dengan semua vaksin lain. "Keputusan saya adalah tidak membeli vaksin semacam itu."
Bolsonaro mengatakan tidak ada yang akan dipaksa untuk mendapatkan vaksin Covid-19. ″Vaksin apa pun, sebelum tersedia untuk populasi, harus terbukti secara ilmuah."
Sebelumnya, pada bulan Juni lalu, pemerintah Brasil mengumumkan kesepakatan dengan Universitas Oxford dan perusahaan farmasi AstraZeneca untuk membeli 100 juta dosis potensi vaksin Covid-19 yang saat ini juga tengah diuji klinis di sana. Namun, baru-baru ini seorang sukarelawan dalam uji klinis vaksin ini telah meninggal dunia.
Relawan tersebut merupakan dokter berusia 28 tahun yang meninggal karena komplikasi Covid-19. Mereka mengatakan dokter tersebut menangani pasien yang terinfeksi.
Dalam pernyataan tertulis, Universitas Oxford menyebutkan, "Semua insiden medis yang signifikan, baik peserta dalam kelompok kontrol atau kelompok vaksin Covid-19, ditinjau secara independen. Peninjauan independen, selain regulator Brasil, keduanya merekomendasikan agar uji klinis dilanjutkan."
Sementara itu, di Korea Selatan, 25 orang dilaporkan meninggal dunia setelah divaksinasi influenza musiman. Namun demikian, dokter yang memimpin penyelidikan atas kematian tersebut mengatakan vaksin dan kematian tersebut tidak terkait.
Asosiasi Medis Korea juga menyerukan agar program vaksin influenza dihentikan sampai keamanannya terjamin. Sejauh ini sekitar 13 juta orang di Korea Selatan telah menerima suntikan flu.
Negara ini meluncurkan program vaksinasi influenza gratis untuk 19 juta orang yang memenuhi syarat bulan lalu ketika pemerintah berusaha menghindari wabah flu massal saat menangani Covid-19.